JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menguatkan Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta ketika telah berstatus sebagai terdakwa dalam kasus penistaan agama. Saat ini Ahok telah  menjalani kehidupan barunya di dalam tahanan Mako Brimob Depok Jawa Barat setelah hakim menyatakan dia bersalah.

Sebelumnya Usamah Hisyam dari Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) menggugat keputusan Jokowi ke PTUN Jakarta pada 12 April 2017. Selain Parmusi, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) juga melayangkan gugatan yang sama ke PTUN. Para penggugat menilai Ahok seharusnya mundur dari kursi gubernur karena menjadi terdakwa kasus penistaan agama dengan ancaman hukuman 5 tahun sesuai Pasal 156 a KUHP.

Mereka berargumen bahwa Ahok harus diberhentikan sementara berdasarkan Pasal 83 Ayat 1 pada Undang-Undang 24 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut berbunyi: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Parmusi menilai Ahok layak diberhentikan lantaran sudah memenuhi ketentuan didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun. Salah satu pasal yang didakwakan kepada Ahok yakni Pasal 156 a KUHP mengenai penodaan agama mengatur ancaman hukuman paling lama 5 tahun penjara.

Namun kemudian argumen Parmusi tersebut ditolak oleh hakim. Hakim menilai argumen yang diajukan oleh Parmusi tidak bisa. Setelah melalui persidangan lebih dari 2 bulan, PTUN Jakarta menolak gugatan tersebut. "Mengadili, menyatakan eksepsi termohon tidak diterima untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon," kata majelis hakim yang dikutip gresnews.com dari website Mahkamah Agung (MA), Jumat (19/5/2017).

Duduk sebagai ketua majelis Roni Erry Saputro dengan anggota Oenoen Pratiwi dan Tri Cahya Indra Permana. Pembacaan vonis itu dilakukan pada Kamis (18/5) kemarin.

Untuk diketahui, polemik status Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta mencuat karena kasus penistaan Agama Islam. Terdakwa penistaan Agama Islam itu kembali aktif sebagai gubernur setelah menjalani masa cuti kampanye Pilgub DKI 2017.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya belum bisa menonaktifkan Ahok dari Gubernur DKI karena belum mendapat keputusan hukum tetap. Dalam kasus penistaan Agama Islam, Ahok terancam dua pasal, yakni 156 KUHP atau 156 a KUHP.

Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.

Karena itu, Kemendagri masih menunggu pasal mana yang akan digunakan jaksa dalam tuntutan. Sembari menunggu keputusan hukum tetap, Kemendagri mengajukan permohonan fatwa status hukum Ahok ke Mahkamah Agung (MA).

Pada sore hari ini, Tjahjo Kumolo mengaku sudah mendapat fatwa dari MA. Namun, fatwa itu bersifat rahasia dan tidak bermuatan pendapat MA. Menurutnya MA belum bisa memberikan pendapat karena kasus penistaan Agama Islam masih berjalan.

SESUAI ARGUMEN REFLY HARUN - Putusan itu menguatkan argumen pakar hukum tata negara Refly Harun. Refly mengacu pada Pasal 83 Ayat 1 UU Tentang Pemerintahan Daerah, di mana pasal tersebut menyatakan seorang kepala daerah yang diancam paling singkat 5 tahun wajib diberhentikan sementara. Menurut Refly, Ahok diancam paling lama 5 tahun, bukan paling singkat.

Dakwaan Ahok dinilai tidak memenuhi unsur Pasal 83 Ayat 1 UU Pemerintahan Daerah, yang berbunyi: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Refly menjelaskan mantan Bupati Belitung Timur itu didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara. Selain itu, Ahok juga didakwa dengan Pasal 156 a soal Penodaan Agama yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.

"Berdasarkan ´5 tahun´ tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda pendapat. Di dalam Pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk. Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan," jelasnya.

Meski demikian, lanjut Refly, ada juga tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun, terdakwanya bisa langsung dinonaktifkan dari jabatan gubernur. Namun, hal itu juga tidak bisa dikenakan kepada Ahok.

"Pasal tersebut sudah menyatakan secara spesifik untuk hal-hal tersebut, bahwa korupsi berapapun ancaman hukumannya akan diberhentikan sementara. Sama juga dengan tindak pidana terorisme, makar dan kejahatan terhadap NKRI," kata Refly.

Untuk itu, Refly menegaskan dirinya tidak sependapat jika Pasal 83 UU Pemda itu diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI. "Yang jelas dia bukan (melakukan) korupsi, makar dan terorisme," katanya.

"Kalau memakai pendekatan hukum, saya mengatakan tidak ada alasan untuk menonaktifkan atau memberhentikan sementara (Ahok,-red). Tapi, kita tahu, soal Ahok ini adalah soal yang sangat politis dan tidak hanya soal hukum, antara yang pro dan kontra sama kuatnya. Tapi marilah kita melihat Pasal 83 ayat 1 (UU Pemda) itu secara jernih. Pendapat saya tidak ada alasan kalau berpatokan pada pasal itu. Tapi memang tentu Presiden Jokowi berada pada titik dilema, yang paling populer adalah menonaktifkan, karena dianggap akan netral. Kalau tidak menonatifkan dianggap tidak netral," tambah Refly. (mfb/dtc)

BACA JUGA: