JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses pemilihan calon hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar dinilai tak optimal menggali rekam jejak calon. Pasalnya waktu yang dimiliki Panitia Seleksi (Pansel) sangat singkat. Proses seleksi yang berlangsung pada 27 dan 29 Maret, hanya memberikan durasi 1 jam untuk wawancara terhadap masing-masing calon hakim konstitusi.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai proses yang ada tak bisa mencapai hasil yang optimal karena keterbatasan waktu yang ada. "Masing-masing orang (pansel) hanya dapat delapan menit menggali pengetahuan peserta. Waktu yang pendek ini tidak menggambarkan apa yang diinginkan publik terhadap calon," kata Erwin, Minggu (3/4).

Seperti diketahui Tim Pansel telah berhasil menyisihkan tiga nama dari 11 calon peserta hakim konstitusi. Tiga nama itu rencananya hari ini (Senin 3/4) akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, untuk ditentukan satu nama dari tiga calon yang ada.

Menurut Erwin, setidaknya ada tiga persoalan pokok yang mesti ditanyakan kepada para calon hakim MK.  Pertama, teori-teori konstitusi. Kedua, masalah internal MK—para calon harus paham dan punya solusi terkait berbagai permasalahan di MK. Terakhir, komitmen para calon terkait perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Erwin menegaskan, hal terakhir penting untuk ditanyakan agar calon terpilih nanti paham bahwa produk putusan yang mesti dia keluarkan tidak hanya harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, namun juga dengan prinsip-prinsip HAM.

"Ini tantangan serius. Waktu satu jam sangat formal dan publik tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan dan apa yang dipahami oleh calon," kata Erwin.

Direktur Imparsial Al Araf menambahkan calon hakim MK juga harus berani jadi sosok pendobrak yang memiliki pengetahuan mendalam soal penegakan hukum pidana dalam konteks kasus penodaan agama. Menurutnya, saat ini tidak ada tolak ukur yang jelas untuk memutus seseorang telah melakukan penistaan agama. Sementara  banyak negara sudah menghapuskan jenis hukuman pidana atas kasus tersebut.

Lantaran itulah Al-Araf juga berharap, hakim MK terpilih nanti harus jadi sosok pendobrak yang sekaligus paham betul perkembangan teori pidana di ranah internasional.

"Kalau dulu MK mengabulkan gugatan penghapusan hukuman pidana untuk penodaan agama, Pilkada DKI enggak akan seramai sekarang," kata Al Araf, Minggu (3/4).
 

TIDAK BEKERJA SENDIRI - Sementara itu sebelumnya, anggota pansel Todung Mulya Lubis menjelaskan, lepas dari pendeknya durasi wawancara, dalam proses seleksi, tim pansel tidak bekerja sendiri. Sejumlah lembaga negara dan lembaga masyarakat turut diminta bantuannya dengan cara memberikan keterangan mengenai rekam-jejak para calon.

"Kita sekali ini meminta laporan, tracking, dari PPATK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Kita tidak mau kecolongan. Mappi, ICW, dan koalisi masyarakat juga sudah kita minta laporannya. Jadi kita relatif cukup banyak menerima laporan. Dari KY juga ada," beber Todung, Kamis (30/3).

Todung menambahkan, pansel sendiri sempat dibuat terkaget-kaget dengan banyaknya laporan yang masuk. Pasalnya, sejumlah peserta seleksi tercatat memiliki rekam jejak yang "mengejutkan". "Kita kadang-kadang juga melihat, lho yang bersangkutan ini kok seperti ini, ada transaksi seperti ini, ada isu seperti ini—tapi kita sudah klarifikasi," sambungnya.

Meski sudah meminta bantuan banyak pihak juga menyeleksi calon secara wawancara langsung. Todung menegaskan pansel tidak memberi garansi bahwa sosok yang terpilih nanti akan membuat marwah MK terjaga. Alasannya, persoalan marwah bukan hanya tanggungjawab 9 hakim semata. Marwah MK adalah tanggungjawab semua komponen di dalamnya.

"Kita berharap dapat yang terbaik. Dan itu yang kita usahakan," tambah Todung. Namun menurutnya, jangan berilusi bahwa MK akan menjadi baik hanya dengan mengganti hakim-hakimnya, tanpa membenahi bawahnya, paniteranya, semua stafnya.

"Jadi tidak hanya mengganti hakim MK. Publik harus menyadari bahwa permainan itu mungkin ada di bawah," papar Todung.

Senada dengan Todung, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyampaikan, pembenahan MK dan lembaga peradilan umum lainnya, setidaknya mesti dilakukan dengan membenahi hakim dan birokrasi seiring sejalan.

Menurut dia, pembenahan peradilan harus dimulai dari hakim dan birokrasi. Tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak. "Kalau hakimnya bobrok, stafnya yang jadi bulan-bulanan. Demikian juga sebaliknya. Kalau hakimnya sudah benar, tapi birokrasinya rusak, bisa jadi nanti malah stafnya yang bikin ulah," kata Donal, Jumat (31/3).

Donal pun menyebut kasus kongkalikong advokat kantor Firma Hukum Hotma Sitompul,  Mario Carmelio Bernardo  dengan mantan satpam MA Djodi Supratman dapat dijadikan contoh soal buruknya sistem birokrasi lembaga peradilan di Indonesia.

"Ditangkapnya Djodi Supratman membuktikan bahwa jual beli putusan atau menjual informasi bisa dilakukan oleh siapa pun. Ini yang mesti dibenahi, kalau tidak kita semua bakalan repot," tambahnya.

Ketua MK Arief Hidayat pernah menyampaikan akan berbenah dan mengembalikan marwah MK pasca ditangkapnya Patrialis Akbar oleh KPK dan terungkapnya kasus pencurian dokumen sengketa Pilkada milik Kabupaten Dogiyai.

Adapun mengenai kasus hilangnya dokumen Dogiyai, Arief menjelaskan bahwa kesalahan tidak terletak pada sistem atau mekanisme prosedual penanganan perkara di MK. Melainkan ada pada persoalan personal karyawannya. Untuk itulah demi meningkatkan nilai-nilai profesionalitas dan integritas dalam diri para pegawai, Arief menyebut ke depannya MK akan menggelar pertemuan rutin antara para pimpinan dengan seluruh karyawan.

"Sistem kita sudah bagus sebetulnya. Tapi masalahnya, orang yang ditugasi menjaga sistem ini yang justru melakukan pelanggaran. Ini kan pagar makan tanaman," kata Arief, Rabu (22/3) lalu.

Lepas dari tantangan institusional mengembalikan dan menjaga marwah MK di atas, disinggung soal kriteria utama calon hakim konstitusi, Todung Mulya Lubis menyebut persoalan integritas merupakan syarat paling penting yang dikehendaki tim pansel.

"Yang menjadi perhatian utama kita adalah integritas. Kalau kita tidak bisa membenahi integritas calon hakim MK, kita akan mengulangi pengalaman pahit kita bersama Akil Mochtar dan Patrialis Akbar," ujar Todung.

Disinggung soal kesulitan utama melakukan seleksi calon hakim MK, Todung menyebut persoalan jumlah peserta merupakan salah satu kendalanya. Minimnya jumlah peserta membuat pilihan jadi terbatas.

"Peminatnya sedikit. Kita harus jemput bola lebih aktif," kata Todung.

Todung menegaskan sistem jemput bola penting dilakukan mengingat dalam kurun waktu dekat setidaknya akan ada dua jabatan hakim konstitusi yang kosong. Untuk diketahui, masa jabatan ketua MK Arief Hidayat akan berakhir pada 18 April 2018, sedang hakim Maria Farida Indarti yang sudah dua periode menjadi hakim MK tugasnya akan selesai pada 13 Agustus 2018.

"Jadi kita harus betul-betul mulai mencari calon hakim MK yang bisa mengembalikan marwah MK. Karena persoalan kita persoalan trust, kepercayaan. Kepercayaan publik ke MK semakin merosot. Terakhir kan ada berkas yang hilang. Masa sih bisa berkas hilang di MK? Sementara MK sedang disorot habis-habisan," kata Todung.

Terakhir, Todung menjelaskan, setelah menerima tiga nama hasil diseleksi pansel, presiden Jokowi punya kewenangan untuk menentukan sosok pengganti Patrialis Akbar dalam kurun waktu 7 hari.

"Kita sudah pilih tiga. Saya kira setelah diserahkan presiden tinggal pilih satu nama dan paling lambat dalam waktu satu minggu sudah ada pelantikan," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: