JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung tengah menyisir kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain pada kasus dugaan korupsi pemberian kredit dari PT Bank Mandiri (Tbk) kepada PT Central Stell Indonesia yang merugikan negara sebesar Rp350 miliar. Kredit bank Mandiri ke PT CSI tersebut diduga digunakan pihak lain, salah satunya oleh PT Megatama Eletrik.

Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan alat-alat elektronik. Tim penyidik Kejagung telah memeriksa Novita selaku Komisaris (Pemegang Saham) PT Megatama Elektrik. "Ya, ini proses penyidikan untuk mengungkap kasus ini," terang Kapuspenkum Kejagung Moh Rum dikonfirmasi gresnews.com, terkait perkembangan penyidikan kasus ini, Selasa (28/3).

Rum menyampaikan, pemeriksaan Novita tak berlangsung lama. Saksi mengaku tidak membawa data-data yang dipersoalkan oleh penyidik. Dia meminta agar dilakukan pemeriksaan ulang. "Kita terima, saksi kita periksa pada pekan depan (Senin 3 Aprik 2017)," kata Rum.

Dalam kasus ini Kejagung telah menetapkan dua tersangka. Mereka adalah Mulyadi Supardi alias Hua Ping atau A Ping, seorang karyawan swasta dan Erika Widiyanti Liong, selaku Direktur PT Cental Stell Indonesia.

Penetapan tersangka terhadap Mulyadi Supardi berdasarkan surat perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-18/F.2/Fd.1/02/2017 tanggal 21 Februari 2017. Sementara, penetapan tersangka terhadap Eka Widiyanti Liong berdasarkan surat perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-19 /F.2/Fd.1/02/2017 tanggal 21 Februari 2017.

Rum mengatakan, penyidik menemukan bukti dalam proses pemberian kredit oleh PT Bank Mandiri ke PT CSI. Dari segi pemenuhan karakter (salah satu syarat analisa pemberian kredit) tidak terpenuhi. Namun kredit tetap diberikan. Itu berdasarkan keterangan saksi Artanta Padmadewa selaku Relationship Manager Bank Mandiri.

Sementara dari pemeriksaan saksi Tan Le Ciaw, Ivan Wijaya, dan Liem Khai Tjen alias Athai terungkap ada aliran dana dari tersangka MS. Tan Le Ciaw menyebutkan yang bersangkutan selaku pemegang saham 15 persen di PT Central Stell Indonesia pernah menerima aliran dana melalui tersangka "MS alias HP atau Aping" atas pembayaran hutang dari PT Central Stell Indonesia. Sementara Liem Khai Tjen alias Athai juga mengaku selaku pemegang saham 25 persen di PT Central Stell Indonesia pernah menerima aliran dana melalui tersangka MS alias HP atau Aping atas pembayaran hutang dari PT Central Stell Indonesia.

Kasus ini bermula sejak PT Central Steel Indonesia (CSI) selaku termohon mengajukan fasilitas pinjaman pada 2011. Pinjaman tersebut rencananya digunakan untuk pembangunan pabrik dan modal kerja. Bank Mandiri kemudian mengucurkan dana senilai Rp350 miliar.

Awalnya proses kredit tersebut berlangsung lancar, pembayaran kredit dari PT CSI pun tak mengalami masalah. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, di tubuh perusahaan manufaktur itu mengalami masalah. Terjadi pertentangan antara pemegang saham di perusahaan yang dimiliki oleh Tan Lie Ciaw itu. Bahkan, PT CSI diduga menggelapkan aset yang menjadi jaminan kreditnya.

Dan saat ini, utang perusahaan yang memproduksi baja ini pada Bank Mandiri telah membengkak hingga sebesar Rp480 miliar. Nilai tersebut merupakan akumulasi utang pokok, bunga, dan denda yang dihitung hingga 22 Juli 2016.

KEJAHATAN PERBANKAN MARAK - Kasus pemberian kredit kepada PT CSI ini merupakan satu dari sekian kasus yang terkait dengan kejahatan perbankan yang tengah disidik aparat penegak hukum. Belum lama bank BTN juga tersangkut perkara bilyet fiktif yang menimbulkan kerugian nasabahnya hingga Rp258 miliar. Kasusnya ditangani Polda Metro Jaya.

Pekan sebelumnya Bareskrim Polri juga mengungkap kejahatan perbankan berupa pembobolan sebanyak 7 bank nasional. Kerugian negara mencapai hampir Rp1 triliun. Dalam kasus tersebut ditetapkan dua tersangka yakni HS, pemohon kredit dan D pegawai bank swasta. Keduanya ditangkap dan ditetapkan tersangka.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Mabes Polri Brigjen Pol Agung Setya menyampaikan, modus yang dilakukan kedua tersangka itu tergolong baru. "Ini modus yang baru, yang kita belum pernah lihat bagaimana suatu perusahaan mengajukan kredit kemudian mempailitkan dan menghindari pembayaran kredit," kata Agung di Kantor Bareskrim Mabes Polri, Kamis (9/3).

Agung menuturkan, terbongkarnya kasus ini bermula saat pada 2016 lalu industri perbankan lesu. Perbankan saat itu tidak bisa meningkatkan keuntungan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan nilai kredit macetnya atau non performing loan (NPL) perbankan berdasar laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencapai 3,1 persen.

Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengemukakan penyimpangan kredit mendominasi tindak pidana Perbankan di Tanah Air sejak 2015 dengan persentase mencapai 62 persen. Kepala Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan OJK Triana Gunawan menyampaikan, penyelewengan yang dilakukan berupa rekayasa pemberian kredit, rekayasa agunan, rekayasa laporan keuangan hingga pemberian kredit yang melanggar prinsip kehati-hatian.

Menurut dia untuk rekayasa pemberian kredit mulai dari kredit fiktif baik debitur maupun usahanya hingga pemberian kredit untuk menampung pengeluaran yang tidak jelas serta sulit dipertanggungjawabkan. Dalam penyimpangan kredit juga ada penggelembungan nilai agunan untuk mengupayakan nilai maksimum kredit dapat dicairkan. Modus lain pemecahan fasilitas kredit menjadi beberapa bagian usaha yang sengaja disamarkan.

BACA JUGA: