JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik Kejaksaan Agung terus mengusut otak pelaku kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Satuan Kerja Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Pengadaan alkes berupa alat dan bahan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) tahun anggaran 2015 diduga telah digelembungkan harganya hingga negara dirugikan mencapai Rp12 miliar.

Kejaksaan terus mengorek keterangan dari sejumlah pihak dan mengumpulkan bukti-bukti kejahatan tersebut. Hingga saat ini Kejaksaan telah memeriksa setidaknya 30 orang saksi, baik dari pihak Kementerian maupun dari pihak rekanan.

"Masih proses penyidikan, penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti untuk menetapkan tersangka," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Moh Rum di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (1/3).

Menurut Rum, dalam kasus tersebut diduga terjadi pemalsuan dokumen dan penggelembungan harga, hingga kerugian negara mencapai Rp12 miliar. Pemalsuan dokumen harga tersebut terungkap saat penyidik memeriksa Ferriel Aswini, staf administrasi PT Safira Mitra Perdana, salah satu rekanan pengadaan alat kesehatan di Kemenkes.

Ferriel mengakui seluruh dokumen penawaran ditandatanganinya atas perintah Edy Haryanto, yang juga staf di PT Safira Mitra Perdana. Namun Edy kepada penyidik membantah pernyataan itu. Edy menyebut dokumen tidak ditandatangani direktur.

"Ini yang masih terus digali oleh penyidik untuk membuat terang siapa yang paling bertanggung jawab," kata Rum.

Pemeriksaan terakhir dilakukan penyidik terhadap dua saksi yakni Muhammad Agus Mulyudono selaku Business Manager PT Ensepel dan Thio Chuang Ting selaku Komisaris Utama PT Abhitama Manunggal. Beberapa waktu lalu penyidik juga ‎memeriksa Effendi, Staf Marketing PT Becton Dicinson.

Pemeriksaan juga dilakukan terhadap Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung  Sigit Priohutomo. Sigit merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pengadaan alat dan bahan HIV dan IMS Tahun Anggaran 2015 tersebut. ‎

Merujuk data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi di sektor kesehatan Indonesia terbilang tinggi. Pada periode 2001-2013 saja korupsi ini telah merugikan negara hingga Rp594 miliar.

Kemudian pada 2008-2012, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 327 kasus yang kerugian negaranya hingga Rp2,8 triliun di Kementerian Kesehatan. BPK merekomendasikan 659 tindakan yang bisa menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp1,36 triliun.

Namun Kementerian Kesehatan baru melakukan 276 rekomendasi senilai Rp153 miliar. Sebanyak 344 rekomendasi lagi, setara nilainya dengan Rp450,4 miliar, sedang dalam proses pelaksanaan atau belum sesuai dengan saran BPK.

PENYIDIKAN BARESKRIM - Tak hanya di Kejaksaan Agung, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri juga melakukan penyidikan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan tahun 2006. Satu tersangka atas nama Bambang Sardjono telah diadili di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Adi Deriyan Jayamarta menyebut nilai total kerugian negara atas kasus korupsi pengadaan alat kesehatan itu mencapai Rp7 miliar dari nilai kontrak pengadaan alkes sebesar Rp65 miliar.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan  nilai kerugian negara Rp7,8 miliar dengan penyedia jasa yaitu PT Kimia Farma Trading and Distribution. Terhadap tersangka lainnya akan segera dilakukan proses penyidikan," ungkap Adi.

Bambang Sardjono selaku mantan Sesditjen Binakesmas Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Mantan Staf Ahli Menkes bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi Kementerian Kesehatan) dan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tahun anggaran 2006 ditetapkan tersangka bersama-sama dengan Sengkut Pandega selaku Ketua Panitia lelang pengadaan barang dan jasa dan Ateng Hermawan selaku Manager Trading PT Kimia Farma TD sebagai Kuasa Direktur PT Kimia Farma TD.

Dalam kasus ini Bambang mengarahkan saksi Sengkut selaku ketua Tim Pengadaan dan tim panitia yang lainnya untuk melaksanakan pengadaan Alkes melalui penunjukan langsung karena alasan waktu yang sangat singkat, dan alatnya hampir sama dengan pengadaan tahun 2005.

Bambang memutuskan pengadaan alkes senilai Rp65,7 miliar dengan menunjuk PT Kimia Farma TD. Namun setelah tersangka selaku PPK membayarkan 100% kepada PT Kimia Farma TD, ternyata pengadaan alat kesehatan tersebut tidak memenuhi spesifikasi sesuai kontrak. Perbuatan terdakwa tersebut berakibat merugikan Rp7 miliar sebagaimana hasil LHP BPK.

BACA JUGA: