JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang telah menandatangani hak Angket tetap bersikukuh memiliki alasan politik yang kuat agar usulan hak angket tersebut diproses di level pimpinan. Fraksi PAN, PKS, PAN dan Demokrat menilai sikap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo yang tidak menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama terindikasi melanggar undang-undang.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Al Muzammil Yusuf mengungkapkan, dukungan fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki alasan kuat. Meskipun berbeda pandangan soal penafsiran pasal yang menjadi landasan untuk menonaktifkan Ahok dengan pemerintah, fraksi PKS mengapresiasi langkah pemerintah.

Fraksi PKS sendiri, melalui hak anggotanya memiliki hak angket untuk menyelidiki indikasi pelanggaran yang dilakukan pemerintah melalui mekanisme hak angket. Fraksi PKS juga, kata Muzammil, akan tetap konsisten memperjuangkan "Ahok-Gate" sampai ke paripurna.

"Mau soal menang atau kalah di voting enggak ada masalah. Yang ingin dikatakan bahwa argumen kami ini sahih. Kami persilakan pakar mengujinya," kata Muzammil di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (22/2).

Muzammil menambahkan, pihaknya tidak mau terjebak dalam rumusan Pasal 156 dan 156 a yang didakwakan kepada Ahok yang menjadi perdebatan. Menurut Muzammil ada alasan lain sebagaimana ketentuan Pasal 83 Ayat (1) yaitu soal adanya potensi memecah belah anak bangsa. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan jaksa penuntut umum kasus penistaan agama oleh Ahok, Ali Mukartono yang menggarisbawahi soal pernyataan Ahok.

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menyatakan baik pernyataan secara lisan maupun dalam buku yang ditulisnya terkait Surat Al Maidah Ayat 51, dinilai jaksa akan memicu perpecahan dikalangan anak bangsa. Sesuai dengan Pasal 83 Ayat (1) itu, bukan saja berbicara pidana lima tahun tetapi juga pernyataan yang akan berpotensi menimbulkan perpecahan.

Lebih jauh dia menilai, penyataan Basuki Tjahaja Purnama dapat dikategori kedalam rumusan itu yakni berpotensi memecah belahkan anak bangsa. "Anda lihat demonstrasi 4/11 dan 21/2 itu pernah enggak demo seperti itu? Apakah itu tidak jadi ukuran. Itu jadi ukurannya," tegas Muzammil.

Sesuai dengan Pasal 83 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan soal kepala daerah yang tersangkut kasus pidana diberhentikan sementara.

Berikut ini bunyi pasal 83: "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Dia juga mengungkit statemen Mendagri pada 16 Desember 2016 yang menyatakan akan memberhentikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu sedang melaksanakan cuti. "Ini yang tidak dilakukan Mendagri. Maka muncullah kritik kami," kata Muzammil.

ALASAN MENDAGRI - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan alasan pemerintah tidak menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menurut kader Partai PDIP itu, dasar tidak diberhentikannya Ahok juga mengacu kepada dakwaan jaksa yang mendakwa dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun penjara dengan menggunakan Pasal 156 alternatif Pasal 156 a KUHP.

Tjahjo juga tak mempermasalahkan jika DPR menggunakan hak angketnya untuk memperjelas langkah pemerintah yang menurut DPR melanggar UU. Namun demikian, perbedaan pandangan antara pemerintah dan beberapa fraksi di DPR sah saja terjadi tapi dia tetap mengapresiasi langkah DPR yang menggunakan hak politiknya.

Lebih jauh Tjahjo menegaskan, langkah dirinya selaku Mendagri dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Mendagri. Karena alasan untuk menonaktifkan Ahok tidak kuat menurut kajiannya. Jaksa sendiri menggunakan alternatif untuk menjerat Ahok, hal itu masih menuai perdebatan.

"Bahasa sederhananya terdakwa diberhentikan apabila melakukan pidana dengan ancaman lima tahun ke atas," ujar Tjahjo Kumolo ditempat yang sama.

Tjahjo Kumolo juga meminta publik tidak mengaitkan sikapnya dengan Presiden Jokowi lantaran tidak menonatifkan Ahok. Semua langkah yang ditempuh merupakan tugasnya sebagai Mendagri. "Kalau saya putuskan diberhentikan, tahu-tahu tuntutan jaksa jadi empat tahun, habis saya," pungkas politisi kelahiran di Surakarta 1 Desember 1957 itu.

Tjahjo menegaskan dia masih menunggu putusan di pengadilan terlebih dahulu untuk mengambil keputusan. Tjahjo juga terkesan pasang badan dalam menghadapi cecaran DPR terkait status Ahok ini. Dia meminta tak ada pihak yang menyalahkan Presiden Jokowi soal penonaktifan Ahok setelah berstatus terdakwa.

Kalaupun ada yang demo dan turun jabatan, dia meminta itu dialamatkan kepadanya, bukan kepada Presiden Jokowi. "Saya konsisten bagaimana nantinya menunggu tahapan di pengadilan. Jangan salahkan Pak Jokowi. Kalau mau demo, demolah saya. Kalau mau minta turun, turunkan saya, saya hanya membela komandan saya," tegas Tjahjo.

BACA JUGA: