JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) ditengarai tak murni memperjuangkan aspirasi rakyat. Terutama dalam hal pengangkatan otomatis tenaga honorer Kategori 2 (K2) yang digagas partai penguasa saat ini yakni Partai PDI Perjuangan. Langkah ini disinyalir sebagai upaya untuk mengail simpati para tenaga honorer dan keluarganya sebagai bekal dalam Pemilihan Umum pada 2019 mendatang.

Anggota Komisi II DPR RI sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Arif Wibowo menerangkan pengangkatan otomatis tenaga honorer perlu dilakukan mengingat kaitannya dengan kepastian hukum yang mestinya diterima warga negara sebagai bagian dari hak konstitusional mereka.

"Urgensi perubahaan UU ASN sesungguhnya adalah dalam rangka merespon suatu keadaan di mana para pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah secara terus menerus dalam waktu yang lama dengan berbagai macam status dan jumlahnya ratusan ribu personel tidak terakomodir dalam UU KASN sehingga mereka tidak terlindungi secara hukum dan politik," kata Arif, politisi dari PDIP ini, Rabu (8/2).

Ia menjelaskan, status-status yang disandang para pegawai yang bekerja di lembaga pemerintahan yang dia maksud antara lain adalah honorer, pegawai tidak tetap (PTT), pegawai harian lepas, dan sebagainya. Menurut Arif, andai persoalan itu tidak segera diselesaikan—salah satunya dengan mekanisme revisi UU ASN—dikhawatirkan hal demikian akan menjadi beban Negara di kemudian hari.

"Tidak hanya dari aspek sosial, politik, dan ekonomi berkelanjutan, tapi juga berpotensi mengganggu reformasi birokrasi," katanya.

Arief juga menyampaikan, partainya, PDI Perjuangan, bersikeras memperjuangkan pengangkatan otomatis menjadi PNS bagi tenaga honorer lantaran partai berlogo banteng tersebut punya komitmen besar terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia, utamanya wong cilik. Pengangkatan otomatis tenaga honorer merupakan bukti bahwa Negara hadir dalam permasalahan mereka.

"Dengan diselesaikannya masalah itu nanti ke depan tak ada lagi honorer, yang ada PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kami berharap, pegawai yang bekerja di instansi pemerintah dengan durasi waktu di atas 5 tahun namun statusnya tidak kunjung jelas, problemnya dapat segera diselesaikan," kata Arief.

Arif juga menjelaskan bahwa mekanisme rekrutmen yang ada saat ini terbukti di luar kemampuan sebagian besar tenaga honorer. Lebih-lebih, sebagian di antara mereka akan memasuki masa pensiun. Karena itulah Arif menilai, bagi para honorer dengan kualifikasi diatas, lebih-lebih yang pengabdian dan kesetiannya sudah teruji, sistem merit tidak perlu dilakukan.

Terlebih, Arif juga menilai mekanisme yang ada saat ini—apalagi dalam konteks pengisian jabatan—cenderung berjalan lamban dan tidak efektif. Hal demikian terjadi karena setiap pengisian jabatan harus didahului rekomendasi KASN. Sedang yang dibutuhkan saat ini, lanjut Arif, adalah efektivitas kerja pemerintahan.

"Kalau tesnya seperti yang sudah-sudah, sudah pasti mereka enggak lulus lagi. Sebagian dari mereka akan pensiun. Karena itu negara harus menghargai jerih payah mereka. Bahwa mereka menjadi honorer, itu kesalahan sistem masa lalu. Yang jelas, sekarang negara harus memberi penghormatan kepada mereka," ungkap Arif.

Persoalan tentang pegawai honorer tertuang di dalam Pasal 131A draft RUU ASN yang mengatur tentang pengangkatan pegawai honorer menjadi PNS.

Berikut bunyi revisi UU ASN Pasal 131A:

(1) Tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non-PNS, dan tenaga kontrak yang bekerja terus-menerus dan diangkat berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan sampai dengan tanggal 15 Januari 2014, wajib diangkat menjadi PNS secara langsung dengan memperhatikan batasan usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90.

(2) Pengangkatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada seleksi administrasi berupa verifikasi dan validasi data surat keputusan pengangkatan.

(3) Pengangkatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memprioritaskan mereka yang memiliki masa kerja paling lama dan bekerja pada bidang fungsional, administratif, pelayanan publik antara lain pada bidang pendidikan, kesehatan, penelitian, dan pertanian.

(4) Pengangkatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan masa kerja, gaji, ijazah pendidikan terakhir, dan tunjangan yang diperoleh sebelumnya.

(5) Tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non-PNS, dan tenaga kontrak diangkat menjadi PNS oleh pemerintah pusat.
NUANSA POLITIS - Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (PPOTD) Endi Jaweng menilai, wacana pengangkatan otomatis tenaga honorer yang diusung fraksi PDI Perjuangan di Senayan tidak bisa lepas dari unsur politis. Terlebih, hal itu dilakukan jelang Pemilihan Presiden 2019.

"Ini seperti dulu Partai Demokrat melakukan pengangkatan otomatis terhadap 1.006.169 honorer Kelas 1 (K1). Para honorer yang kemudian diangkat menjadi PNS tanpa tes itu berterimakasih kepada rezim Partai Demokrat. Nah, kira-kira seperti itulah PDIP berpikir sekarang," kata Endi kepada gresnews.com, Rabu (8/2).

Endi menjelaskan, dengan jumlah sekitar 700-an ribu tenaga honorer K2 yang diwacanakan diangkat secara otomatis, PDIP pasti menempatkan mereka sebagai salah satu lumbung suara. Bagaimanapun, menurut Endi, jumlah 700-an ribu itu akan berlipat mengingat tenaga honorer yang diangkat itu punya keluarga, rekan, dan lain sebagainya.

Endi juga melihat upaya politisasi itu kian tampak manakala sejumlah pihak di DPR urun rembug menginisiasi adanya perhimpunan khusus bagi tenaga honorer. "Honorer itu sudah punya dewan pengurus, baik di pusat maupun di daerah. Nah, pembinanya adalah orang-orang DPR itu. Jadi organisasi mereka, Persatuan Honorer Indonesia, didesain secara rapi. Dalam hal ini, politisasi yang dilakukan PDIP lebih sistematis ketimbang yang dulu dilakukan Partai Demokrat,” kata Endi.

Lantaran itulah Endi menilai, wacana menghapus Komisi Aparatur Negara (KASN) yang sama-sama menjadi isu besar di dalam Revisi UU ASN merupakan bagian dari strategi PDIP untuk melancarkan keinginannya menarik perhatian massa, salah satunya lewat pengangkatan tenaga honorer secara otomatis.

"Pembubaran KASN itu isu-antara. Tujuan utamanya adalah pengangkatan honorer otomatis. DPR tahu bahwa selama ada KASN, mereka tidak bisa melakukan pengangkatan otomatis. KASN itu penghalang bagi mereka karena KASN menghendaki rekrutmen dengan sistem merit," kata Endi.

Lantaran itulah Endi berharap, publik tidak hanya kritis pada wacana pembubaran KASN, tapi juga pada isu pengangkatan otomatis. "Jangan sampai kita terlena, masuk dalam jebakan Batman yang sudah disiapkan para politisi itu," kata Endi.

Terlepas dari ketidaksetujuannya terhadap praktik pengangkatan langsung, Endi sepakat bahwa persoalan honorer harus segera diselesaikan. Menurutnya, Negara tidak boleh membiarkan nasib honorer menggantung terus-terusan. "Memang harus ada penyelesaiannya. Harus diberi kepastian. Dan DPR, dengan segala kontroversinya, sudah berupaya menawarkan penyelesaian dengan cara pengangkatan otomatis. Namun kita menolak cara itu," kata Endi.

Terkait itulah Endi menyebut pihaknya menawarkan dua cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, honorer diberikan apresiasi oleh Negara berupa tunjangan masa kerja dan tunjangan lainnya yang layak. Kedua, para tenaga honorer didorong terus untuk mengikuti CPNS.

"Bagi yang usianya di bawah 35, dorong untuk ikut tes CPNS. Jika usianya di atas 35, berikan mereka Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)," kata Endi.

Menurutnya, demi mencapai reformasi birokrasi, setiap warga Negara yang ingin menjadi PNS haruslah mengikuti prosedur yang disediakan undang-undang. Pengangkatan otomatis dinilai Endi sebagai bentuk ketidakdilan. "Itu tidak adil. Ada orang yang berkali-kali gagal seleksi CPNS, tapi di saat bersamaan ada orang yang diangkat begitu saja menjadi PNS," kata Endi.

Disinggung bahwa hal tersebut dilakukan demi memenuhi hak-hak wong cilik, Endi menyebut wong cilik itu definisnya tidak semata melekat pada tenaga honorer. Menurutnya, pemerintah punya kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, apa pun profesinya. "Ingat, jumlah WNI lebih dari 200 juta orang. 30% di antaranya adalah wong cilik. Orang miskin. Jadi jika bicara kesejahteraan dan kepastian hukum, jangan bicara orang per orang. Golongan per golongan. Tapi harus menyeluruh," papar Endi.

Terakhir, Endi menegaskan penolakannya terhadap mekanisme pengangkatan otomatis. "Tanpa mengurangi hormat kepada guru-guru, bidan, juga tenaga honorer lain khususnya yang ada di daerah-daerah, saya menolak sistem rekrutmen pengangkatan otomatis," pungkas Endi.

Terlepas dari persoalan politis yang disampaikan Endi, Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto menerangkan sistem rekrutmen otomatis berpotensi menambah beban anggaran pemerintah hingga Rp 23 Triliun. 

Menurut Yenny, tren anggaran belanja pegawai terus naik dari tahun ke tahun  (dari sekitar Rp 127 triliun pada periode 2009 menjadi sekitar Rp 281 triliun pada 2015).  Anggaran untuk belanja birokrasi juga menjadi belanja terbesar bagi sekitar 260 kabupaten/kota di Indonesia. Persentasenya berkisar di angka 50% hingga 75%.

"Dengan tambahan sekitar 440 ribu tenaga honorer yang diangkat otomatis, berarti ada tambahan beban anggaran antara Rp 23,8 triliun hingga Rp 40 triliun dalam hitungan dua tahun selanjutnya," kata Yenny, Rabu (8/2). Atas pertimbangan itulah Yenny berharap pemerintah bisa meninjau kembali draft RUU ASN yang sudah disetujui DPR pada Januari lalu, dan kini tinggal menunggu persetujuan pemerintah untuk kemudian diundangkan.

"Jangan karena anggaran belanja birokrasi yang begitu besar, dana untuk membiayai program-program prioritas lainnya tidak ada," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: