JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kisah pelesiran para narapidana kaya penghuni Lembaga Pemasyarakatan khusus terpidana korupsi Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, ternyata ikut membuka tabir ketidakadilan dan diskriminasi dalam urusan pemidanaan. Hasil studi Institute for Criminal Justice (ICJR) menunjukkan, banyak terjadi praktik diskriminatif bagi napi miskin dengan fasilitas penjara seadanya dan over kapasitas. Sebaliknya, seluruh fasilitas baik hanya akan mampu dipenuhi oleh penghuni lapas kaya, seperti Sukamiskin.

Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, penetapan Lapas Sukamiskin sebagai LP khusus narapidana kasus korupsi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2012 lalu, didasari anggapan, pelaku tindak pidana korupsi disebut white collar crime yang memiliki pendidikan lebih tinggi ketimbang pelaku tindak pidana umum. "Maka dari itu, pemerintah mengganggap pembinaan kepada narapidana korupsi tak bisa disatukan dengan pembinaan terhadap narapidana kejahatan umum," kata Erasmus dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (8/2).

Selain itu, penempatan satu sel satu terpidana juga bertujuan untuk memperketat pengawasan dari narapidana kasus korupsi. Hanya saja, dalam catatan ICJR, sejak ditetapkan Lapas Sukamiskin sebagai lapas khusus korupsi pada 2012 sampai dengan 2017, tidak diperoleh gambaran jelas seperti apa pembinaan khusus bagi narapidana kasus korupsi yang diwacanakan oleh pemerintah.

"Bahkan pengawasan lebih ketat yang dijanjikan pemerintah terbantahkan dengan temuan dari berbagai investigasi di Lapas tersebut," tambah Erasmus.

ICJR menilai, pada dasarnya, di Lapas Sukamiskin adalah model papas yang cukup baik dan ideal bagi tempat pemasyarakatan. ICJR mendukung kondisi Lapas yang memenuhi standar minimum layanan, dengan catatan bahwa kondisi itu juga bisa diterapkan ke semua Lapas di seluruh Indonesia.

Kondisi standar layanan yang buruk bagi narapidana akan melanggar hak-hak dasar narapidana. Masalahnya, khusus di Lapas Suka Miskin, kondisi tersebut hanya dapat diakses bagi penghuni lapas yang mampu atau kaya. "Umumnya narapidana kasus dalam Korupsi memiliki kemampuan lebih dibandingkan narapidana lainnya," ujar Erasmus.

Kondisi itu menunjukkan, apa yang ada dalam Lapas Suka Miskin dapat menimbulkan praktik diskriminasi. Karena seluruh fasilitas dan suasana kondusif tersebut "difasilitasi" oleh penghuni yang mampu bukan oleh pemerintah. Pemerintah pada dasarnya kesulitan untuk memastikan bahwa seluruh penguni lapas di Indonesia dapat menikmati layanan sebagaimana dalam Lapas Sukamiskin.

"Ini karena Indonesia memiliki angka penghuni lapas yang tidak sebanding dengan fasilitas dan anggaran yang dimiliki," terangnya.

Besarnya penghuni lapas, serta merta akan menguras anggaran, tidak hanya beban anggaran namun juga beban sumber daya yang juga harus terus bertambah. Per Januari 2017 jumlah penghuni Lapas mencapai 206.844 orang, berbanding dengan kapasitas yang hanya 119.202 narapidana maka kelebihan penghuni mencapai 74% dari kapasitas yang tersedia.

Karena problem kelebihan beban penghuni ini mengakibatkan pemerintah tidak lagi fokus untuk menyediakan pelayanan baik, namun hanya cukup pada indikator ketersediaan tempat di dalam lapas. "Kondisi ini lah yang memicu para penghuni harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan kondisi layak di dalam lapas," papar Erasmus.

Dia mengatakan, bagi penghuni miskin atau tidak mampu, tampat penahanan dan lapas adalah neraka. Penelitian ICJR pada 2014 menunjukkan, penahanan memaksa munculnya beban biaya langsung pada tahanan dan keluarga. "Keluarga pada hampir semua kasus kehilangan pencari nafkah yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian. Ditambah lagi keluarga perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menyokong hidup tahanan," kata Erasmus.

Angka terebut berkisar antara Rp600.000 hingga Rp5.500.000, per bulana. Kondisi inilah yang dapat dianggap sebagai kondisi "rawan" bagi penghuni lapas yang miskin, sebab seluruh fasilitas baik hanya akan mampu dipenuhi oleh penghuni lapas kaya.

ICJR, kata Erasmus, sesungguhnya sudah berkali-kali mengingatkan Kementerian Hukum dan HAM, intitusi ini memiliki seluruh kewenangan untuk menyelesaikan persoalan lapas. "Langkah awal dapat dilakukan dengan mendorong pemerintah melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia khususnya mengantisipasi overkapasitas dalam lapas," tegasnya.

Pemerintah, menurut ICJR terlalu gemar menggunakan pendekatan pidana penjara. Hampir seluruh pidana di Indonesia diancam dengan pidana penjara yang berujung pada lapas. "Langsung atau tidak langsung, kondisi kelebihan beban penghuni dalam Lapas akan mendorong kondisi yang buruk bagi penghuni Lapas tidak mampu, lebih buruk akan mendorong praktik korupsi baru bagi mereka yang mampu," pungkasnya.

DUGAAN PEMBIARAN - Sementara itu, terkait kasus dugaan adanya narapidana kasus korupsi yang pelesiran ke apartemen, pihak Kemenkum dan HAM masih mempercayai Kepala Lapas Sukamiskin Dedi Handoko. Irjen Kemenkum HAM Aidir Amin Daud menegaskan, beberapa masalah memang sebelumnya terdengar dari lapas itu, tetapi Kemenkum dan HAM memastikan kepala lapas (kalapas) yang saat ini dijabat Dedi Handoko cukup tegas.

"Kita ini kan sudah mencopot 2 kalapas di sana yang sebelumnya. Ini dipilih orang yang terbaik yang memang kita anggap selama ini cukup keras," ujar Aidir.

"Cukup dikeluhkan oleh warga di sana. Warga di sana cukup mengeluh dan sampai menyurat ke Pak Menteri. Jadi dengan adanya penolakan itu, tentu kita berpikir bahwa orang ini cukup tegas," imbuhnya.

Namun, dengan adanya kasus ´pelesiran´ napi itu, Aidir menyebut ada pertimbangan lain. Hanya, menurut dia, sosok kalapas yang tegas harus dicari lagi dan itu cukup sulit.

"Tapi ini kan ada kasus, dia juga harus ikut bertanggung jawab. Nanti kita lihat bagaimana pertimbangannya. Karena susah juga kan mencari orang seperti itu di tempat yang seperti itu kan. Kita sudah pilih yang terbaik di antara yang terbaik gitu lho. Tapi kalau memang nanti kesimpulannya memang ada pembiaran dan sebagainya, tentu kita akan ambil tindakan tegas juga," ujarnya.

Menurut Aidir, investigasi internal akan dilakukan terlebih dulu karena Kalapas Sukamiskin menyatakan apa yang dilakukannya sesuai dengan prosedur. Namun keputusan apakah akan mencopot Kalapas Sukamiskin atau tidak akan ditentukan kemudian.

"Tapi kan belum tentu dia salah. Mungkin dia kasih izin dan itu sesuai prosedur. Masalahnya ini petugas yang mengantar, yang mengawal disalahgunakan kewenangannya. Kan di tengah jalan harusnya dibawa ke rumah sakit, dan dari rumah sakit kembali mungkin singgah. Itu kan bukan dia dong yang salah kan? Tapi nanti kita lihat lagi ya," ucapnya.

PASANG GPS - Untuk mencegah terulangnya kasus semacam ini, Kalapas Sukamiskin Dedi Handoko berencana memperketat sistem pengamanan, salah satunya dengan menyematkan peranti Global Positioning System (GPS) pada setiap pengawal napi. Dedi mengatakan, sistem GPS itu satu paket terpasang di telepon genggam milik petugas pengawalan.

Sistem pengamanan diperketat guna mengantisipasi aksi penyimpangan yang dilakukan napi dan oknum petugas lapas yang melakukan pengawalan selama berada di luar bui. "Ya nanti setiap warga binaan yang keluar akan dikawal oleh petugas. Petugas itu nanti kami kasih GPS," kata Dedi di halaman Lapas Sukamiskin, Jalan AH Nasution, Kota Bandung, Rabu (8/2).

Fungsi GPS ini guna memudahkan pelacakan jarak jauh serta histori pergerakan rute pengawalan napi. Sehingga keberadaan mereka akan terdeteksi bila singgah atau mampir ke tempat yang tidak diizinkan. Napi hanya boleh mendapat izin keluar penjara jika berobat sakit, berjumpa keluarga inti yang meninggal, dan menjadi wali nikah. "Posisi kemana-mananya (pengawalan napi) akan ketahuan," ujar Dedi.

Sistem pemasangan teknologi GPS kepada pengawal napi ini sudah dilakukan Dedi saat menjabat Kalapas Tangerang. Dia mengklaim cara tersebut ampuh mendeteksi pengawalan napi saat keluar lapas sesuai izin.

"Secepatnya pelaksanaan (pemasangan GPS). Ini kan menyangkut anggaran, satu handphone itu sekitar empat hingga lima juta rupiah. Kalau di rumah sakit ada enam hingga tujuh orang, sebanyak itu yang harus kita penuhi," tutur Dedi. (dtc)

BACA JUGA: