JAKARTA, GRESNEWS.COM – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ternyata tidak selalu menjadi tempat para narapidana menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukan. Oleh beberapa oknum tertentu, Lapas juga dianggap bukan sebagai lokasi pembinaan untuk mengubah seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana kembali menjadi warga yang taat hukum.

Sebaliknya, lapas justru kerap menjadi sarang pelanggaran hukum yang lebih parah, semisal praktik suap menyuap demi mendapatkan "fasilitas" tertentu, semisal plesiran ke luar penjara. Hal itulah yang beberapa waktu belakangan ini terjadi lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Sukamiskin, yang pada awalnya dibangun ulang sebagai penjara bagi para narapidana kasus korupsi ternyata tidak seseram tujuannya yaitu memberikan efek jera kepada para koruptor. Ada oknum-oknum tertentu yang justru menganggap Lapas Sukamiskin tak ubahnya "rumah" sendiri.

Hal ini pernah disaksikan sendiri oleh salah seorang pengunjung bernama Chandra (nama disamarkan) yang pernah mengunjungi kerabatnya di Sukamiskin beberapa waktu lalu. Dia menceritakan bagaimana "nyaman" dan "ramah"nya Lapas Sukamiskin terhadap para narapidana super kaya itu. 

Di awal cerita, Chandra menjelaskan bagaimana cara masuk ke LP Sukamiskin yang menurut dia, ternyata tidak terlalu sulit dan perlu izin berbelit-belit. Dimulai dari mendatangi tempat pendaftaran, memberikan kartu identitas dan siapa tujuan warga binaan yang dikunjungi.

Setelah itu ada sekitar dua lokasi penjagaan yang harus dilewati. "Pintu pertama semacam ada metal detector, lalu kita diminta menitipkan barang-barang yang dilarang seperti alat komunikasi," kata Chandra kepada gresnews.com, Rabu (8/2).

Setelah itu ada pemeriksaan kedua dan petugas memastikan apakah barang terlarang sudah ditaruh di tempat penitipan yang disediakan. "Tapi enggak usah khawatir, kadang cuma ditanya kok, enggak sampai diperiksa lagi," terang Chandra.

Chandra sendiri awalnya mengaku menitipkan telepon genggam (handphone) miliknya kepada petugas. Namun setelah itu ia sempat terheran-heran karena di dalam Lapas ada beberapa orang yang terlihat membawa alat komunikasi tersebut dengan mudah, meskipun mereka menggunakannya secara sembunyi-sembunyi.

"Pakainya (handphone) sih ngumpet-ngumpet. Tapi saya bingung aja yang gunain itu enggak cuma satu dua orang, ada lumayan banyak juga kok," terang Chandra.

Pria berusia 34 tahun ini kembali menuturkan betapa bersahabatnya Sukamiskin bagi narapidana berduit. Selain mudah dikunjungi sanak saudara, lapas yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat ini juga memanjakan para warga binaan. Salah satu contohnya ketika sanak keluarga membawa makanan ataupun barang pribadi untuk kerabatnya tidak mendapat pemeriksaan yang cukup berarti.

Tidak sampai disitu saja, barang bawaan itu pun tidak dibawanya sendiri, melainkan dibantu oleh seseorang yang berada di lapas. "Jadi kayak model asisten gitu, ada yang bawain. Saya sih enggak tau dia petugas atau bukan, tapi memang pakai baju preman (bukan seragam). Dan disitu emang banyak yang keliling enggak pakai baju petugas," tutur Chandra.

Di Sukamiskin, kata Chandra, ada sebuah warung kopi yang ada di ruang tunggu. Disanalah para pengunjung bertemu dengan kerabatnya yang berstatus narapidana. "Biasanya ketemunya di situ, tapi ada juga di tempat lain soalnya tempatnya enggak terlalu besar," pungkasnya.

Selain itu ia juga menuturkan ada semacam iuran bulanan yang dikenakan para narapidana seperti untuk biaya kebersihan. Namun saat ditanya berapa biaya yang dikeluarkan kerabatnya tersebut, Chandra enggan mengungkapkan hal itu. "Tidak terlalu besar, tapi emang ada. Seperti sistem RT gitu di rumah-rumah," imbuh Chandra.

KASUS PLESIRAN TAK ANEH - Bagi Chandra, laporan media massa terkait adanya narapidana korupsi tertentu yang kerap plesiran meninggalkan ruang tahanan dengan "biaya" tertentu bukan hal aneh melihat banyaknya pelanggaran yang terjadi di Sukamiskin. Sikap pembiaran yang dilakukan petugas jaga dengan imbalan tertentu memang kerap dimanfaatkan para narapidana mulai dari membawa fasilitas layaknya hotel sampai pelesiran.

Terkait skandal plesiran beberapa napi korupsi di Lapas Sukamiskin itu sendiri, Irjen Kementerian Hukum dan HAM Aidir Amin Daud enggan berkomentar banyak. Ia hanya memastikan, pihaknya telah melakukan investigasi mengenai hal tersebut. "Ya. Sudah diperiksa oleh Tim Ditjen Pas dan Tim Inspektorat Jenderal," kata Aidir kepada gresnews.com.

Terkait Lapas Sukamiskin yang terkesan memanjakan napi kaya, semisal mudahnya mendapatkan ponsel, Aidir menjawab, hal itu akan ditertibkan. "Kalau perlu digeledah, kita kan ada alat yanglebih canggih, kalau perlu kita bawa ke situ," katanya.

Dia juga menjawab soal kesaksian pengunjung yang melihat adanya petugas "preman" yang kerap melayani napi berduit. Menurutnya, itu bukan petugas liar. "Mungkin itu tamping, tahanan pendamping, jadi ada tahanan berkelakuan baik mendampingi tahanan lain. Itu tidak apa-apa," katanya.

Sementara itu, terkait kasus pelesiran, kepada media massa, Kepala Lapas Sukamiskin Dedi Handoko menjelaskan tim investigasi terdiri dari petugas Inspektorat Jenderal Kemenkum HAM dan Kantor Wilayah Kemenkum HAM Jabar telah melakukan investigasi sejak Selasa (7/2) lalu untuk menyelidiki masalah itu.

"Kemarin baru dilihat administrasi dan SOP-nya, nah hari ini baru akan ada pemeriksaan terhadap pegawai lapas dan tidak menutup kemungkinan warga binaan yang disebutkan dalam pemberitaan itu," ucap Dedi di halaman Lapas Sukamiskin, Jalan AH Nasution, Kota Bandung, Rabu (8/2).

"Ada sekitar tujuh hingga delapan orang petugas Lapas yang diminta keterangan. Terdiri petugas keamanan dan pengawalan," ujar Dedi menambahkan.

Sejauh ini, sambung dia, aktivitas penelusuran oleh investigator tersebut masih berlangsung. Dedi memastikan hasil investigasi akan disampaikan kepada publik. "Kalau sekarang hasilnya belum ada. Nanti saja ya sekaligus kalau semuanya (investigasi) rampung," kata Dedi.

KPK KECEWA - Sementara itu Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku kecewa jika pemberitaan mengenai adanya narapidana yang bisa keluar-masuk Sukamiskin itu benar adanya. Menurut Febri para aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sudah susah payah melakukan proses hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan namun jerih payah tersebut seperti disia-siakan.

"Kita upaya maksimal dari penyelidikan, penyidikan, dan penututan hingga persidangan. Selain kerja keras, proses menelan anggaran negara yang tentu saja tidak kecil bisa dilihat dalam anggaran perkara," terang Febri di kantornya, Selasa (7/2) malam.

Perbuatan yang memberikan kelonggaran kepada para narapaidana termasuk dalam kasus korupsi apalagi ada indikasi penerimaan gratifikasi tentu saja melukai keadilan di masyarakat. Selain itu, juga ada implikasi penggunaan keuangan negara untuk memproses perkara tersebut menjadi sia-sia dan tidak ada efek jera dari perbuatan pidana yang dilakukan.

Febri berpendapat, perlu ada perbaikan secara signifikan dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM pimpinan Yasonna Hamonangan Laoly dan bawahannya yang berada di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Sebab ada sejumlah aspek yang dirugikan dari terjadinya hal-hal seperti ini.

"Evaluasi secara mendasar, ini bukan hanya keluar masuk tapi proses panjang penegakan hukum dan anggaran yang keluar, ini perlu perbaikan total. Aspek kesejahteraan petugas lapas agar dari sisi kebutuhan sudah terpenuhi, dalam konteks ini perbaikan tidak bisa dilihat sanksi administrasi proses hukum ada perbaikan kesejahteraan yang ada," jelas Febri. (dtc)

BACA JUGA: