JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para legislator resah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka beranggapan pp ini dapat menjadi dasar hukum beralihnya aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke perusahaan swasta bahkan asing asing. Bahkan pp ini juga melucuti kewenangan DPR untuk mengawasi BUMN.

Ketua Komisi VI Teguh Juwarno, Selasa (17/1) mengungkapkan, terbitnya PP 72 tahun 2016 memberi peluang hilangnya fungsi DPR untuk mengontrol BUMN. Tidak hanya itu, Teguh juga mengkhawatirkan keberadaan PP tersebut akan membuka peluang negara kehilangan aset-aset strategis yang selama ini berada di bawah BUMN.

"Kepemilikan bisa hilang itu menjadi kepemilikan PT. Kalau sudah anak perusahaan kan sudah bukan BUMN," kata Teguh kepada wartawan di Komplek DPR Senayan, Jakarta.

Menurut Teguh, ada potensi negara akan kehilangan aset strategis melalui PP 72 tahun 2016 ini. Kekhawatiran itu, bisa dilihat dari Pasal 2 A angka 1 yang memberi keleluasaan ketika melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Melalui pasal itu mekanisme PMN tanpa pengawasan dari lembaga legislatif.

"Artinya begini, ini jurus baru untuk menghilangkan kepemilikan negara, canggih ini. Karena sudah ada indikasi," keluh Teguh.

Dengan alasan demikian, Teguh menegaskan komisi VI akan melakukan revisi soal UU BUMN untuk melakukan penguatan mencegah terjadinya swastanisasi aset aset strategis negara. Sejatinya PP ini dikeluarkan sebagai payung hukum pembentukan holding BUMN. Anggota DPR fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyebut masalah holdingisasi sejumlah BUMN selama ini memang belum memiliki dasar hukum yang kuat.

Senada dengan Teguh Juwarno, Wakil Ketua Komisi VI Mohamad Hekal mempersoalkan hilangnya fungsi DPR untuk mengawasi keberadaan aset negara yang di BUMN. Menurutnya, jika tidak ada perbaikan mengenai PP tersebut maka aset strategis rentan sekali hilang.

"Didalam BUMN itu kan banyak aset strategis kalau dilepas tanpa pengawasan kita timbul peluang ada permainan yang tidak kita ketahui," ujar Hekal kepada wartawan di Komplek DPR RI Senayan.

Hekal menambahkan, pada dasarnya dia melihat persoalannya bukan pada masalah holding, tapi pp tersebut membatasi fungsi pengawasan DPR. Jelas itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Ia juga menjelaskan dalam UU tersebut definisi BUMN adalah perusahaan yang dimiliki pemerintah negara sebanyak 51 persen ke atas. Dengan pembatasan itu, maka anak perusahaan yang dibawah ketentuan tersebut masuk ke dalam Perseroan Terbatas (PT) yang hanya tunduk kepada UU Perseroan Terbatas (PT).

"Berarti anak perusahaan sudah bukan lagi BUMN itu sudah Perseroan Terbatas (PT) mereka hanya tunduk pada UU PT berarti jual beli aset dan saham anak perusahaan cukup hanya melalui RUPS," ujarnya.

Ketentuan itu menurut Hekal, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dimana BUMN tetap menjadi kekayaan negara. Itu juga dikuatkan dengan putusan Mahkamah konstitusi (MK). Karena itu, PP tersebut bertentangan dengan UU Keuangan Negara karena PMN bisa dilakukan tanpa melalui siklus APBN.

Satya Widya Yudha Wakil Ketua Komisi VII yang baru saja dikukuhkan menggantikan Fadel Muhammad juga mengkritisi PP 72 Tahun 2016. Menurut Satya, PP 72 tahun 2016 yang menyangkut BUMN ada di Komisi VI namun BUMN Enegi itu merupakan keputusan Komisi VII. Dia juga melihat Pasal 2 A angka 1 melepas kontrol legislatif untuk karena pengalihan aset atau saham tidak memerlukan persetujuan dari DPR.

"Ini mengkhawatirkan PP 72 itu. Kita menginginkan ada check and balance agar DPR bisa mengontrol pekerjaan eksekutif terutama kepemilikan negara," ujar Satya saat diminta tanggapannya usai dilantik menjadi Wakil Ketua Komisi VII.

Sebelumnya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno mengatakan aset BUMN pada tahun 2015 mencapai Rp 5.395 triliun. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 4.577 triliun. Kenaikan aset BUMN ini diperoleh berkat program revaluasi aset yang diikuti BUMN pada 2015.

Rini menambahkan, dengan adanya program revaluasi aset tersebut, sepuluh perusahaan BUMN tercatat memiliki aset terbesar pada 2015, yaitu PT PLN, PT Bank Mandiri, PT BRI, PT Pertamina, PT BNI, PT Taspen, PT BTN, PT Telkom, PT PGN, dan PT Pupuk Indonesia.

Dia menyebutkan, penilaian kembali aktiva tetap atau revaluasi aset 43 BUMN dan 19 anak usahanya memberikan penerimaan pajak sebesar Rp 10,6 triliun. Revaluasi aset tersebut dilakukan pada 2015. "Pada tahun 2016 ini akan ada lagi BUMN yang melakukan revaluasi aset dengan tarif pajak 4 persen. Kami perkirakan, ini akan memberikan tambahan penerimaan pajak sampai Rp 8,4 triliun," kata Rini dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (19/1/2016) .

UJI MATERI - Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen Agus Pambagio berpendapat perlu dilakukan uji materi (judicial review) PP No. 72 Tahun 2016 ini di Mahkamah Agung (MA) terhadap UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Keuangan Negara. Menurutnya secara konten PP No. 72 Tahun 2016 ini bertentangan dengan UU di atasnya dan secara substansi berbahaya karena membuka peluang pengalihan kekayaan negara dan mengubah BUMN menjadi swasta tanpa kendali DPR.

Ia menjelaskan Kementerian Keuangan pernah menyatakan bahwa holding harus dievaluasi dan disetujui oleh DPR. Namun sepertinya dengan PP No. 72 Tahun 2016 ini menjadi cara pintas untuk menghindari proses di DPR. Padahal sejatinya BUMN bukan hanya merupakan tempat berinvestasi atau berusaha dengan menanamkan modal tetapi memiliki fungsi strategis sebagai alat negara untuk menjalankan fungsi penguasaan negara dalam aspek pengelolaan. Terutama di sektor strategis. Hal terpenting bagi negara adalah kuasai hajat hidup orang banyak, sehingga BUMN tidak boleh dianggap sebagai korporasi biasa (PT).

Menurutnya PP No. 72 Tahun 2016, jika dilihat dari kontennya ada 2 hal yang bermasalah. Pertama, persoalan perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN dan PT. Perubahan ini tidak dapat langsung dikerjakan oleh pemerintah karena harus dibahas dengan DPR (Komisi VI dan Komisi XI). Artinya PP ini menabrak UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Keuangan Negara.

Kedua, sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, anak perusahaan BUMN bukan BUMN. Jadi anak perusahaan BUMN tidak dapat diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal penugasan dan pengelolaan sumberdaya strategis. Secara konstitusi (UUD 45 Pasal 33), seluruh aset strategis nasional harus dikelola oleh negara melalui BUMN.

Lalu Pasal 2A Ayat ( 3 dan 4), penyertaan modal negara di BUMN berubah menjadi kekayaan BUMN atau PT. Selanjutnya di Pasal 2A ayat (7), tentang memperlakukan anak usaha BUMN. Anak usaha BUMN bukan BUMN. Ia berpendapat secara kebijakan langkah terbitnya PP No. 72 Tahun 2016 inkonstitusional. Patut diduga PP No. 72 Tahun 2016 ini sengaja diterbitkan untuk menghindari campur tangan DPR ketika akan ada pengalihan kekayaan negara, berupa a. dana segar, b. barang milik negara, c. piutang negara pada BUMN atau PT, d. saham milik negara pada BUMN atau PT dan/atau, e. aset negara lainnya.

"Artinya sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Keuangan Negara, bila ada perubahan peruntukan dana yang berasal dari APBN harus melalui pembahasan dengan DPR," ungkap Agus.

Ia menjelaskan pada Pasal 2A ayat (1) PP No. 72 Tahun 2016, menyebutkan bahwa "penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN". Artinya DPR diabaikan.

Pada Pasal 2A ayat (2): "dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham tersebut dimiliki oleh BUMN lain , maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar".

Pada Pasal 2A ayat (3): "kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau PT, bertransformasi menjadi saham/modal negara pada BUMN atau PT tersebut".

Kemudian Pasal 2A ayat (4): "kekayaan negara yang bertranformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi kekayaan BUMN atau PT".

Berdasarkan Pasal 2A ayat (4) di atas, terlihat bahwa mekanisme inbreng (pemasukan barang sebagai modal perusahaan-red) kekayaan negara berupa saham di suatu BUMN, misalnya asset BUMN X dipindahkan ke BUMN Y, sehingga BUMN Y berubah menjadi swasta atau PT dan harta kekayaan negara dapat berubah menjadi kekayaan BUMN atau bahkan PT.

Perubahan tersebut bila dilihat secara hati-hati patut diduga merupakan proses mengubah BUMN menjadi PT dan mengubah kekayaan negara menjadi kekayaan badan usaha. Jika dikaitkan dengan pasal lainnya menyatakan bahwa untuk merubah kekayaan negara, misalnya melalui mekanisme privatisasi (BUMN menjadi PT), tidak lagi diperlukan pembahasan dengan DPR. Patut diduga ini menjadi bentuk pencucian kekayaan negara menjadi kekayaan badan usaha. (dtc)

 

BACA JUGA: