JAKARTA, GRESNEWS.COM — Upaya para advokat untuk menggugat pasal yang dianggap menghambat kerja mereka, mendapat adangan dari tiga pihak sekaligus. Pada sidang uji materi atas Pasal 197 Ayat (1) KUHAP yang mengatur surat putusan pemidanaan, perwakilan DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung (selaku pihak terkait) serempak meminta MK menolak seluruh permohonan.

Dalam perkara ini para advokat selaku pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai "surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri".

Anggota Komisi III DPR RI Junimart Girsang menyatakan, DPR menilai Pasal 197 Ayat (1) KUHAP telah memberi kepastian hukum dan sudah sesuai dengan asas negara hukum—-sebagaimana yang dimaksud Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Adapun terkait petitum pemohon, menurut Junimart, hal itu lebih tepat disebut sebagai kehendak untuk memberi rumusan terhadap norma undang-undang sehingga kewenangan untuk mengeksekusinya ada pada DPR atau pemerintah, bukan pada MK.

"Lebih tepat pemohon mengajukan permohonan perubahan undang-undang kepada DPR RI sebagai lembaga yang diberi kewenangan membentuk undang-undang bersama pemerintah," kata Junimart, dalam persidangan Senin (9/1).

Selain itu, terkait argumen pemohon yang menyebut tidak adanya kepastian waktu mengenai proses minutasi (proses penyusunan berkas perkara) di Mahkamah Agung, Junimart menjelaskan, Mahkamah Agung masih mempertahankan berlakunya SK KMA Nomor 214 Tahun 2014 tentang Alur Penanganan Perkara di Mahkamah Agung Dalam Menentukan Jangka Waktu Dalam Penanganan Perkara Maksimal 8 Bulan Atau 250 Hari. Adapun untuk proses minutasi, waktu yang diberikan 3 bulan sejak diputuskan.

Sementara itu, perwakilan pemerintah Rorogo Reza menyatakan, pasal tersebut ditafsirkan sebatas surat putusan pemidanaan pada tahap pengadilan negeri, hal tersebut justru malah berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, jika petitum tersebut dikabulkan, maka setiap putusan pemidanaan yang diputus di pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung bakal tidak mempunyai landasan hukum yang mengikat.

Selain itu, Rorogo berpendapat, hal tersebut juga akan menimbulkan perbedaan kekuatan hukum antara putusan pemidaan di pengadilan negeri dengan pengadilan tinggi ataupun Mahkamah Agung. Jika hal itu terjadi, maka dikhawatirkan akan membuat putusan tingkat banding dan kasasi tidak dapat dilaksanakan karena tidak memiliki kekuatan hukum eksekutorial.

"Tidak logis apabila suatu norma yang konstitusional pada pengadilan negeri, tetapi tidak konstitusional pada banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Sebaliknya, penalaran yang wajar adalah konstitusional pada pengadilan negeri, maka konstitusional pula pada banding, kasasi, dan peninjauan kembali," kata Rorogo.

Terkait itulah Rorogo menegaskan, apabila permohonan yang diajukan advokat Juniver Girsang, Harry Ponto, dan Swandy Halim, dan kawan kawan tersebut dikabulkan, maka akan terjadi kekosongan hukum yang sekaligus dapat mengubah sistematika peradilan pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Menurut Rorogo, Pasal 197 Ayat (1) KUHAP merupakan norma yang mengatur ketentuan-ketentuan untuk memuat isi putusan pemidanaan, dan di dalamnya terdapat uraian-uraian mengenai rangkaian dan fakta-fakta yang telah diuji kebenarannya di persidangan.

Menurutnya, jika pasal 197 Ayat (1) tidak terpenuhi, sebagaimana dinyatakan oleh pasal berikutnya yakni Pasal 197 Ayat (2) KUHAP, maka putusan dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itulah ketentuan Pasal 197 Ayat (1) dinilai merupakan pasal yang sangat penting sebagai dasar hukum bagi seorang hakim untuk dapat memberikan putusan pemidanaan yang mempunyai ketentuan hukum yang mengikat.

"Untuk melakukan perampasan terhadap kemerdekaan seseorang, dalam hal ini dijatuhkan pidanaan kepada yang bersangkutan sehingga ketentuan a quo merupakan ketentuan yang bersifat memaksa agar hukum pidana materiil dilaksanakan sebagaimana mestinya pada setiap tingkat pengadilan, maka dalam setiap pemeriksaan baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang juga mengadakan putusan sendiri haruslah memenuhi ketentuan Pasal 197 Ayat (1) KUHAP," paparnya.

Pasal 197 Ayat (1) KUHAP berbunyi: "Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI  KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya  dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera."


HAMBAT KERJA ADVOKAT - Para advokat melayangkan gugatan uji materi atas Pasal 197 Ayat (1) KUHAP digugat karena berlakunya pasal tersebut yang mengatur syarat-syarat materi yang harus terdapat dalam surat putusan pemidanaan telah melanggar atau setidak-tidaknya menghambat terpenuhinya hak-hak konstitusional para pemohon selaku advokat sekaligus warga negara.

Adapun kerugian konstitusional yang dimaksud para pemohon itu antara lain, pertama, karena banyaknya materi yang harus dicantumkan hakim di dalam surat pemidanaan, para pemohon merasa tidak mendapatkan kepastian hukum mengenai kapan perkara yang mereka tangani akan selesai diperiksa oleh Mahkamah Agung.

Dengan kata lain, dalam menjalankan fungsinya sebagai advokat, para pemohon mengalami hambatan. "Dengan terhambat atau tertundanya keadilan sama saja dengan tidak memberikan keadilan. Justice delay is justice denied," kata kuasa hukum pemohon, Arif Patramijaya, pada persidangan sebelumnya, Senin (5/12).

Selain itu, menurut Arif, para pemohon juga tidak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Alasannya, di satu sisi pemohon telah berupaya melaksanakan semua kewajibannya secara patut, namun di sisi lain penanganan tersebut dianggap klien-klien mereka belum selesai.

Dengan demikian, lanjut Arif, secara tidak langsung pemohon juga dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk menangani suatu perkara secara cepat dan efisien akibat lamanya proses minutasi perkara. "Padahal hal tersebut di luar kendali pemohon dan bukan dikarenakan kesalahan pemohon," tegasnya.

Selanjutnya, kerugian konstitusional yang dirasakan oleh pemohon seiring berlakunya norma 197 Ayat (1) KUHAP adalah dianggap tidak profesional dalam menangani perkara karena lamanya proses pemeriksaan mengakibatkan sering kali membuat para pemohon tidak dapat memberikan informasi terkait mengapa suatu permohonan kasasi dikabulkan atau ditolak.

"Dan apabila permohonan kasasi tersebut ditolak, Pemohon tidak dapat sesegera mungkin menyiapkan memori peninjauan kembali karena tidak mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung," sambung Arif.

Selain itu, para pemohon juga menyebut adanya kerugian konkret yang dirasakan langsung dampaknya oleh para pemohon sehubungan berlakunya norma a quo. Menurut Arif, para pemohon tidak dapat memperkirakan berapa banyak lagi perkara yang dapat mereka tangani. Selain itu, pemohon tidak dapat memperoleh kepastian hukum soal kapan imbalan jasa. Pasalnya, imbalan jasa terhadap para advokat hanya akan dibayarkan apabila salinan resmi putusan secara lengkap sudah diterima.

Dan terakhir, karena tidak adanya kepastian waktu mengenai selesainya suatu perkara, para pemohon menyebut kerap ada juga oknum yang mengiming-imingi para advokat yang perkaranya sedang diperiksa agar perkaranya tersebut dapat dipercepat atau diperlambat penyelesaiannya. "Mereka meminta imbalan akibat ketidakjelasan maksud Pasal 197 Ayat (1) KUHAP," kata Arif.

Pendek kata, menurut para pemohon, syarat-syarat materi di dalam Pasal 197 Ayat (1) KUHAP tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap jangka waktu penyelesaian sebuah perkara mengingat banyaknya materi yang harus dicantumkan. Terlebih, Mahkamah Agung menerapkan ketentuan norma a quo pada tiap tingkatan peradilan, termasuk tingkat kasasi atau peninjauan kembali.

"Di luar negeri, misalnya di Amerika, putusan kasasi itu hanya 10 sampai 15 halaman. Jadi tinggal merujuk pada putusan sebelumnya. Surat dakwaan dan surat tuntutan tidak perlu dimuat lagi," kata Arif kepada gresnews.com.

Oleh karena itulah menurut Arif, para pemohon di dalam petitumnya meminta MK agar menafsirkan bahwa ketentuan memuat dakwaan dan tuntutan yang diatur Pasal 197 Ayat (1) KUHAP hanya berlaku di pengadilan tingkat pertama, dan tidak perlu diulang atau dicantumkan lagi di tingkat banding atau kasasi.

"Kami melihat, ketentuan yang mewajibkan bahwa di tingkat pertama, kedua, sampai kasasi harus memuat lagi dakwaan dan tuntutan, itu menghambat keadilan. Sehingga membuat putusan menjadi lama," pungkasnya.(gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: