JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah sedang bergerak cepat untuk menangkal pemberitaan yang berisi kebohongan alias berita palsu alias hoax. Terkait hal ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara situs-situs jejaring sosial besar seperti Facebook, situs pencari Google dan para pemain besar lainnya (over the top) untuk ikut memblokir iklan adsense untuk mengatasi maraknya berita palsu atau hoax di media sosial.

"Kita pasti minta, terutama OTT besar untuk kerja sama itu. Kalau enggak salah Facebook mau dateng deh," kata menteri yang akrab disapa Chief RA itu saat ditemui di kantor Kemenko Kemaritiman, Senin (9/1).

Rudiantara ingin agar Facebook segera mengambil tindakan untuk memblokir setiap ada hoax yang bermunculan. "Yang pasti kecepatan untuk take down konten yang memang masuk kategori konten negatif di Indonesia," lanjut Rudiantara.

Pada saat yang sama, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo Semuel Pangerapan menambahkan, kerja sama antara pemerintah dan para pemain OTT untuk mengatasi masalah hoax ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain.

"Isu Hoax ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain ini juga menjadi perhatian serius. Bahkan ada negara lain yang tengah menyusun Undang-undang-nya. Kita juga tengah berusaha melawan hoax ini, salah satunya dengan menggandeng pemain OTT atau aplikasi, karena konten itu banyak menyebar melalui platform mereka," ujarnya.

OTT seperti Facebook, menurutnya akan diminta untuk mencabut konten-konten ilegal melalui platformnya. "Di Jerman kan seperti itu, pemilik platform wajib take out konten ilegal. Hoax ini harus diperangi karena bisa memunculkan kekacauan di masyarakat," tegasnya.

Terkait Google, praktisi keamanan internet Pratama Persadha menyarankan, agar pemerintah bekerjasama dengan laman pencari tersebut untuk menghapus berita hoax di mesin pencari. Menurutnya pemerintah bisa meniru langkah yang ditempuh negara lain dalam memerangi hoax.

"Hal ini dilakukan banyak negara, salah satunya Jerman. Berita dan gambar yang dianggap menyesatkan masyarakat tidak hanya diblokir, namun juga dihilangkan dari mesin pencari di internet," ujarnya.

Meski demikan, kata Pratama, pihak Kominfo perlu melakukan keterbukaan dalam merilis prosedur dan alasan sebuah situs diblokir. "Tentu ini baik, tapi masyarakat harus tetap mendapatkan penjelasan yang proporsional dan jelas. Jangan sampai nanti malah terkesan represif. Apalagi untuk memblokir sebuah situs, terutama portal berita misalnya, perlu juga melibatkan dewan pers, kecuali bila situs yang diblokir memang tidak jelas kepemilikan dan keberadaannya," terangnya.

Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC ini menambahkan cukup riskan bila blokir-blokir ini tidak disertai hak dari para pemiliknya untuk melakukan penjelasan. Ini berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sebaiknya, menurut dia, pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tahapan-tahapan dan alasan terperinci pemblokiran, sehingga bisa diterima masyarakat luas tanpa berpretensi negatif.

"Pemerintah harus menghindari terjadinya chaos di wilayah cyber tanah air. Menghindarkan masyarakat dari berita hoax sangat baik. Namun jangan sampai karena kurangnya sosialisasi menjadikan ini sebagai area perang baru dari orang-orang yang jago di dunia maya," jelasnya.

Pratama juga menjelaskan, dirinya cukup khawatir bila pemerintah tidak cukup memberi ruang mediasi, akibatnya bisa muncul prasangka buruk yang bisa berakibat saling serang antar peretas, baik menyerang situs berita maupun akun media sosialnya.

"Posisi kita juga cukup rawan karena di Indonesia belum ada Badan Cyber Nasional. Jadi bila ada saling retas diantara beberapa kelompok di tanah air, aparat kepolisian praktis akan sangat kesulitan. Karena itu sudah tepat bila Presiden Jokowi memerintahkan segera pembentukan Badan Cyber Nasional," terangnya.

KODE MEDIA HOAX - Hal serupa juga akan dilakukan Dewan Pers untuk menangkal hoax. Dewan Pers akan membuat label untuk mempermudah masyarakat mengenali media massa terpercaya. Label berbentuk kode Quick Response (QR code) itu akan dibubuhkan di media cetak hingga di media berbasis daring (online).

Media penyebar hoax tak akan mendapat QR code ini. "Itu menunjukkan bahwa itu media trusted yang berbadan hukum dan taat terhadap kode etik jurnalistik. Ini untuk membedakan dengan media yang tidak jelas," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, Senin (9/1).

Dewan Pers merasa perlu membuat pelabelan semacam ini karena media-media yang tak terpercaya banyak beredar di masyarakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat tak ragu lagi dalam mengakses informasi dari media berlabel khusus ini.

"Kan banyak media online yang ngaco dan media cetak yang diterbitkan untuk memeras, (dengan adanya QR code) sehingga orang akan tahu bahwa ini halal dan yang ini tidak jelas," kata Stanley.

Untuk media cetak, QR code bisa ditampilkan di halaman depan. Untuk media online, nantinya QR code bisa ditempel di laman utama. QR code ini bisa dipindai masyarakat menggunakan ponsel pintar, kemudian informasi soal media ini akan tampak, meliputi penanggung jawab, alamat, nomor kontak, dan sebagainya. "Nanti dari smartphone tinggal difoto, nanti akan terkoneksi dengan data di Dewan Pers," kata Stanley.

Kini Dewan Pers sedang memasuki tahap lelang, persiapan desain, dan lomba jingle. QR code ini akan diluncurkan pada Hari Pers Nasional, 9 Februari nanti, di Ambon. Presiden Jokowi juga dinyatakan bakal hadir dalam acara itu.

"Presiden Jokowi rencananya akan hadir pada 9 Februari nanti. Masyarakat pers nanti akan menunjukkan bahwa mulai hari itu yang terverifikasi Dewan Pers bakal punya tanda. Karena Presiden mengatakan kita memerangi hoax," kata Stanley.

Sosialisasi pemfungsian QR code juga akan diumumkan ke khalayak luas. Televisi dan radio juga bakal menyiarkan lagu singkat atau jingle soal ini.

CARA DEMOKRATIS - Sementara itu, Deputi Direktur PSDHAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengingatkan, mengantisipasi berita bohong dan dampak merusaknya di masyarakat tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pendekatan represif. "Jika hal ini menjadi sandaran utama penegakan hukum terhadap penyebarluasan berita bohong, maka pemerintah berpotensi melanggar komitmen penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM yang telah dimandatkan di dalam UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (9/1).

Standar Kovenan menegaskan, sebuah pendapat tidak bisa dibatasi, apalagi melalui pemidanaan, hanya karena semata-mata bermuatan berita bohong. "Pemerintah Indonesia semestinya menyadari bahwa berita bohong hanya dapat diselesaikan apabila melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam mendorong literasi media/digital serta infrastruktur hukum dan kebijakan yang akuntabel, reliabel dan transparan," tambah Wahyudi.

Komentar Umum No. 34 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005, menyatakan, kewajiban untuk menjamin segala bentuk pendapat warga negara tanpa campur tangan pihak ketiga, merupakan hal mutlak yang harus dilaksanakan bagi negara-negara pihak (Kovenan). Hal itu, ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (1) Konvensi tersebut.

Pembatasan juga tidak diperbolehkan terhadap pendapat yang bersifat ofensif sekalipun, yang dapat saja menggunakan fakta-fakta palsu, sepanjang tidak dapat dibuktikan kerugian yang nyata bagi publik. Pembatasan terhadap kebebasan menyatakan pendapat, sesuai Pasal 19 Ayat (3) Ayat (2) dengan menggunakan pendekatan pemidanaan, baru bisa dilakukan apabila ekspresi atau pendapat yang diungkapkan dinilai memuat ancaman, propaganda kebencian, atau hasutan kekerasan yang nyata terhadap kelompok ras, agama, suku atau golongan tertentu.

Wahyudi mengakui, penyebarluasan berita bohong dalam level yang sangat masif tetap memiliki konsekuensi yang serius terhadap pemajuan dan penegakan HAM dalam masyarakat yang demokratis. Di Amerika Serikat misalnya, pembatasan terhadap segala bentuk informasi di internet tidak diperbolehkan oleh undang-undang federal.

"Namun namun tetap sah jika dilakukan berdasarkan keputusan perusahaan over-the-top (swaregulasi), seperti mesin pencari maupun penyedia layanan media sosial, dalam konteks penyebarluasan ujaran kebencian melalui mekanisme ketentuan layanan (term of service)," ujarnya.

Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyaring (filtering), memblokir (blocking) atau menghambat akses masyarakat ke informasi atau akun media sosial tertentu. Sementara itu, Pemerintah Jerman berencana akan membebankan denda kepada pengelola situs yang dianggap gagal dalam mengantisipasi penyebaran berita bohong dalam domainnya.

Rencananya, Jerman akan menetapkan denda setidaknya maksimal 500.000 euro atau sebesar Rp7 miliar lebih. Sanksi penjara maksimal 5 tahun rencananya juga akan diterapkan terhadap pelaku penyebaran berita bohong maupun kabar angin di internet. Rencana tersebut masih dalam proses pembahasan di parlemen Jerman.

Karena itu, dalam menangkal penyebaran hoax, ELSAM menekankan pada pemerintah untuk mengevaluasi seluruh produk hukum dan kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan teknologi internet, agar kompatibel atau selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. "Dengan proses ini harapannya hukum yang ada dapat memberikan respons secara tepat terhadap setiap inovasi dan perkembangan teknologi internet," ujarnya.

Wahyudi menekankan, internet sendiri bukanlah suatu instrumen kejahatan yang harus dikhawatirkan, melainkan sarana yang melahirkan banyak inovasi dan kesempatan. Oleh karenanya negara harus menyiapkan formulasi regulasi yang tepat untuk mengatur pemanfaatannya.

"Jangan sampai arsitektur hukum yang disiapkan justru terlalu membatasi atau bahkan melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang menjadi esensi dari demokrasi itu sendiri," tegasnya.

Selain mendorong perbaikan arsitektur hukum, ELSAM juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kebijakan yang terkait dengan peningkatan literasi media/digital di masyarakat, dengan melibatkan seluruh kementerian/lembaga terkait. "Termasuk membangun kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengantisipasi penyebarluasan berita bohong di internet," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: