JAKARTA, GRESNEWS.COM - Di penghujung tahun 2016, penggunaan Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 45 untuk menjerat kasus-kasus penyebaran kebencian berbasis SARA meningkat. Padahal untuk menjerat kasus-kasus tersebut, sudah ada ketentuan pidana dalam KUHP dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Diskriminasi Rasial).

Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, hal ini terjadi karena pasal-pasal dalam UU ITE dianggap jauh lebih mudah digunakan terkait Penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya. Bunyi Pasal 28 Ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan, Pasal tersebut memiliki unsur penting yakni "menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)". Berbeda dengan UU Diskriminasi, UU ITE menggunakan unsur SARA yang diterjemahkan dengan "suku, agama, ras, dan antargolongan".

"Ini menunjukkan, muatannya lebih luas lingkupnya dibanding UU Diskriminasi. Karena tidak hanya mengatur etnis dan ras namun ada unsur kejahatan dalam frase ´agama dan antar golongan´, yang tidak ada dalam UU Diskriminiasi Rasial," kata Supriyadi dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (9/1).

Karena Pasal 28 Ayat (2) UU ITE merupakan pasal paling kuat bagi tindak pidana penyebaran kebencian di dunia maya dibanding pasal-pasal pidana lainnya, maka ICJR memprediksi, penggunaan pasal tersebut ditahun-tahun mendatang pasti lebih meningkat. "Ini karena elemennya lebih luas, dengan ancaman pidana yang lebih berat dan secara spesifik mudah menyasar penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya, dibanding UU lainnya," ujarnya.

Di penghujung tahun 2016, pasal ini digunakan dalam kasus dugaan penyebar kebencian berbasis agama dalam kasus Buni Yani. Yang terbaru pasal-pasal dalam UU ITE ini kemungkinan akan digunakan menjerat penulis buku "Jokowi Undercover" yang diduga melakukan penyebar kebencian. Polri masih mengusut dugaan kejahatan tersebut.

Dalam pemantauan ICJR, Pasal UU ITE ini telah digunakan dalam berbagai kasus penyebar kebencian di Indonesia, berbeda dengan Pasal dalam UU Diskriminasi Rasial, yang belum pernah digunakan sama sekali dalam Pengadilan. "Beberapa kasus yang menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE umumnya terfokus kepada penyebaran kebencian agama, dan belum pernah digunakan terkait kasus-kasus penyebar kebencian berbasis ras dan etnis," ujar Supriyadi.

Beberapa contoh adalah kasus Sandy Hartono yang diadili Pengadilan Negeri Pontianak tahun 2011. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pontianak tanggal 20 September 2011 Nomor: 347/Pid.B/2011/PN.PTK ia terbukti membuat akun facebook palsu dan memasukkan gambar-gambar maupun kalimat yang berisikan penghinaan terhadap agama Islam.

Sandy dipidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta karena dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Kedua, kasus Alexander Aan yang diadili di Pengadilan Muaro Sumatera barat tahun 2012. Berdasarkan putusan No 45 /PID.B/2012/PN.MR ia dihukum dua tahun penjara dan 3 bulan serta denda Rp100 juta karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana "Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)".

Aan dinilai pengadilan terbukti telah membuat Group Ateis Minang di Akun Facebook miliknya yang bernama Alex Aan. Dengan alamat email [email protected] berupa tulisan yang menghina agama.

Ketiga, kasus Muhamad Rokhisun yang diadili di pengadilan negeri Pati tahun 2013. Berdasarkan putusan Nomor: 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt., dia pidana penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp10 juta subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Ia terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Rokhisun membuat status atau kata-kata yang menyerang serta menista agama.

Keempat, kasus I Wayan Hery Christian. Dia divonis penjara tujuh bulan karena terbukti bersalah dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palu. Putusan menyatakan bahwa ia terbukti melakukan tindakan penistaan agama melalui sarana informasi teknologi sesuai Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 Ayat (2) UU ITE. Ia membuat status yang melecehkan di media sosial karena merasa terganggu suara takbir menyambut Idul Adha.

Ternyata status I Wayan Hery tersebut tersebar luas di masyarakat dan akhirnya dilaporkan warga ke polisi. Dia dan pihak keluarga juga telah meminta maaf kepada masyarakat luas atas perbuatannya.

Dengan meningkatnya trend penggunaan Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45 UU ITE ini, kata Supriyadi, ICJR mendorong agar pihak penegak hukum lebih cermat dalam memahami situasi kekinian. "Penggunaan pasal-pasal ini haruslah lebih presisi dan tepat, sehingga dapat secara efektif memberikan rasa keadilan bagi publik namun di sisi lain juga tidak membunuh kebebasan berekspresi warganegara," tegas Supriyadi.

BENTUK DIREKTORAT SIBER - Sementara itu, untuk menangani kasus-kasus penyebaran kebencian dan SARA lewat medium internet dan kejahatan internet lainnya, Polri akan membentuk satu direktorat baru di Bareskrim, yaitu Direktorat Siber, dan satu biro baru di divisi Humas Polri, yaitu Biro Multimedia. Direktorat Siber dan Biro Multimedia nantinya akan bersinergi dengan Badan Siber Nasional, yang akan dibentuk.

Dalam tugasnya, ada perbedaan di antara dua badan baru di bawah naungan Polri tersebut. Direktorat Siber bertugas melakukan upaya penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran UU ITE. Sedangkan Biro Multimedia bertugas memberi edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penggunaan teknologi internet yang baik.

"Satu biro dan satu direktorat ini akan bersinergi dengan Badan Siber Nasional, yang rencananya akan dibentuk," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes (Pol) Martinus Sitompul, Jumat (6/1).

Salah satu dasar dibentuknya biro dan direktorat khusus dunia maya ini adalah maraknya berita hoax yang cenderung mengarah ke isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Ke depan, pelanggaran atas UU ITE akan ditindak oleh Direktorat Siber Bareskrim Polri tersebut. "Pelanggaran yang berkaitan dengan UU ITE akan ditindak oleh Direktorat Siber," jelasnya.

"Ini dilakukan dalam upaya mencegah maraknya berita hoax dan perang urat saraf, penyebaran kebencian berdasarkan SARA, ini perlu dicegah, perlu dilakukan upaya antisipasi," terang Martinus.

Nantinya Direktorat Siber dan Biro Multimedia akan dipimpin oleh Pati (Perwira Tinggi) Polri berpangkat bintang satu atau Brigadir Jendral. Saat ini, pengajuan untuk kedua badan tersebut sedang diteliti dan disurvei oleh KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi).

"Tentu dalam hal ini akan dilihat pengembangan organisasi ini dari sumber daya manusia, sarana-prasarana, anggaran, serta sistem dan metode," pungkas Martinus. (dtc)

BACA JUGA: