JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus penggelembungan harga atau mark up pesawat jenis MA-60 buatan Xi’an Aircraft International Company China tak juga rampung. Kasus yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) sejak 2011 lalu tersebut belum jelas penyelesaiannya hingga kini.

Tak tuntasnya pengusutan dugaan korupsi pembelian pesawat Merpati jenis MA-60 tersebut dipersoalkan DPR RI. DPR menduga mandegnya penyelidikan kasus ini karena ada permainan dalam kasus ini. Sebab diketahui, pembelian pesawat ini melibatkan sejumlah pejabat negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di antara anggota DPR yang mempertanyakan pengusutan dugaan korupsi pembelian Merpati adalah Martin Hutabarat. Menurut Martin pembelian pesawat buatan China tersebut kemahalan dari harga di pasaran karena itu kuat dugaan harga pembeliannya sengaja dinaikkan.

"Korupsi Merpati bagaimana kelanjutan, siapa yang terindikasi jadi tersangkanya," kata Martin, di DPR, Selasa (18/2).

Martin meminta agar perkara yang ditangani Kejagung ini segera dituntaskan. Sebab, perkara dugaan mark-up pembelian pesawat MA-60 milik Merpati cukup lama muncul tapi belum ada perkembangannya.

Ia menekankan penyelesaian kasus ini harus menjadi prioritas dari Kejaksaan Agung. Jangan sampai maskapai favorit di kawasan Indonesia Timur ini bangkrut karena perilaku sejumlah oknum yang menggerogoti perusahaan ini.
 
Anggota Komisi III dari FPG Nudirman Munir mendukung hal ini. "Kita butuh klarifiksi yang lebih jelas karena mark up merpati ini luar biasa. Produsen pesawat lain perbandingannya beli dua masih dapat satu," ujarnya.
 
Menanggapi penanganan dugaan mark-up pembelian pesawat Merpati ini, Kejagung berdalih bahwa kasus ini masih terus dalam proses penyelidikan. Penyidik di Kejagung masih terus mengumpulkan keterangan dari saksi terkait proses pembeliannya.

"Saya katakan ini menjadi prioritas, jika terbukti lanjutkan, jika tidak tutup saja," kata Jaksa Agung Basrief Arief.

Basrief mengatakan, kasus dugaan mark-up pembelian pesawat jenis MA-60 berbeda dengan kasus Merpati yang juga ditangani Kejagung. Kasus tersebut adalah mark-up harga sewa pesawat Boeing 737 TALG dari Amerika Serikat.

Dugaan penggelembungan pembelian harga pesawat MA-60 terungkap setelah peristiwa kecelakaan pesawat Merpati di Papua pada 7 Mei 2011 dan laporan Federasi Serikat Pekerja BUMN ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Proses pembelian pesawat MA-60 milik PT Merpati Nusantara Airlines buatan Xi’an Aircraft International Company selama delapan tahun menuai kontroversi. Mulai dari harga yang terlalu mahal, kualitas barang yang buruk, sampai negosiasi ulang kontrak yang berlarut-larut.

Indonesia membeli 15 pesawat dari China ini senilai US$ 215 juta. Satu pesawat ini dibeli dengan harga US$ 14,3 juta sedangkan harga pasaran saat itu untuk pesawat jenis MA60 adalah US$ 11,2 juta. Sehingga ada penggelembungan yang merugikan negara sebesar US$ 46,5 juta.

Selain mark up harga, ada dugaan pula pengurangan komponen pendukung untuk keselamatan penerbangan. Pengurangan komponen pendukung ini yang diduga menyebabkan kecelakaan di Papua yang menewaskan 27 orang.

Lalu BPK juga menemukan kejanggalan pada proses pengadaan pesawat ini. Pengadaannya tidak pernah direncanakan secara resmi pada kurun waktu 2006-2008, padahal penjajakannya sudah dimulai di tahun 2005. Dana pembelian pesawat MA-60 ini dari pinjaman pemerintah dalam bentuk Subsidiary Loan Agreement (SLA).

Padahal perjanjian pinjaman tersebut baru ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan atas nama Pemerintah Indonesia dengan The Expor-Impor Bank of China (CEXIM Bank) pada tanggal 5 Agustus 2008. Pembelian MA-60 ini dinilai melanggar undang-undang karena Merpati dan Pemerintah meneken perjanjian sebelum mendapat persetujuan dari Banggar DPR.

BACA JUGA: