JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perlindungan nelayan berskala kecil di Indonesia oleh pemerintah dinilai masih sangat lemah. Kebijakan pemerintah soal perikanan masih terjebak pada sasaran nilai ekonomis yang membuat aspek perlindungan kepada nelayan terabaikan.

Hal tersebut disampaikan Marthin Hadiwinata, Ketua Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI, Sabtu (10/12). Marthin menilai aspek perlindungan kepada nelayan tradisional berskala kecil belum menjadi perhatian pemerintah. Padahal beberapa aturan mengenai perlindungan terhadap nelayan melalui perjanjian internasional bahkan mendesak untuk dilaksanakan.

"Saat ini kebijakan pengelolaan perikanan masih berfokus kepada aspek ekonomi tanpa memastikan aspek sosial dan lingkungan terlindungi," kata Marthin kepada gresnews.com.

Karena itu, dia mendesak pemerintah agar membuat skema pendekatan khususnya kebijakan perikanan dan nelayan skala kecil melalui pendekatan hak asasi manusia. Pemerintah diminta tidak hanya mementingkan keuntungan ekonomis lalu mengabaikan persoalan serius seperti perlindungan hukum terhadap nelayan tradisional.

Marthin mencontohkan soal Pedoman Perlindungan Perikanan Skala Kecil oleh FAO pada tahun 2014. Dalam pedoman itu seluruh negara anggota termasuk Indonesia agar diterapkan.

Selain itu, pada 16 November 2016, Lithuania menyerahkan ratifikasi sebagai syarat terakhir pemberlakuan Konvensi Internasional Labour Conference (ILO)188 Tahun 2007 tentang Pekerja Diatas Kapal Perikanan. Satu tahun ke depan, hasil Konvensi ILO 188/2007 akan diberlakukan kepada setiap negara terkait perlindungan pekerja di atas kapal perikanan (nelayan dan ABK).

Sayangnya, Konvensi ILO 188 Tahun 2007 itu belum ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia. Atas dasar itu, Marthin menilai komitmen pemerintah soal kebijakan perikanan dan nelayan masih sangat lemah. Perlindungan pemerintah kepada nelayan dan pekerja dibidang perikanan masih perlu didorong dengan meratifikasi konvensi tersebut.

"Sampai saat ini Indonesia masih belum meratifikasi konvensi ini padahal telah ada kasus perbudakan diatas kapal perikanan seperti Benjina," kata Marthin.

KASUS PERIKANAN - Belum lama ini, Goris Dengekae Krova, seorang nelayan tradisonal dari masyarakat Lamelera Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), mesti berurusan dengan aparat kepolisian setempat. Goris ditangkap Polisi Resort Lembata lantaran menangkap ikan Paus dan Pari.

Ketua Bidang Masyarakat Adat dan Kebudayaan Bahari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bona Beding menyampaikan penangkapan Goris dalam rilis yang diterima gresnews.com. Dia menyebut nelayan bernama Goris terancam dikriminalisasi hanya karena mempertahankan tradisi menangkap ikan yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat.

"Goris juga mendapat penahanan sewenang-wenang tanpa diberikan surat perintah pemanggilan dan penahanan dari Pihak Kepolisian Resort Lembata," kata Bona Beding, Rabu (7/12).

Namun malang, Goris harus berurusan dengan penegak hukum. Aktivitas menangkap ikan yang dilakukan Goris dianggap bertentangan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta.

Goris terancam dikenakan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya khususnya Pasal 21 Ayat (2) huruf b dan d jo Pasal 40 dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp 100.000.000,00 (seratusjuta rupiah). Namun jika menggunakan Undang-Undang Perikanan, Goris termasuk kategori nelayan kecil dapat dikenakan Pasal 100 C UU No. 45 Tahun 2009 yang melanggar Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU No. 45 Tahun 2009 mengenai pengaturan atas jenis ikan yang dilindungi dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

"Goris tidak mendapatkan kejelasan status apakah menjadi tersangka atau saksi," kata Beding.

BACA JUGA: