JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kuasa Pemerintah menyatakan gugatan uji materiil UU Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang diajukan tiga warga Jakarta merupakan constitusional complaint bukan constitutional review. Sehingga bukan kompetensi Mahkamah Konstitusi  untuk mengujinya, untuk itu permohonan seharusnya tidak dapat diterima.   

Demikian keterangan pemerintah menanggapi gugatan uji materi tiga warga gusuran DKI Jakarta  Rojianto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi. Sebelumnya tiga warga itu mengajukan uji materiil UU tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya terhadap UUD 1945, Selasa (29/11).

Diwakili oleh Tenaga Ahli Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Iing R. Sodikin, pemerintah meminta majelis hakim MK menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Menurut pemerintah, permasalahan yang dihadapi para pemohon merupakan implementasi norma, maka dari itu seharusnya gugatan ini dilayangkan ke pengadilan umum, bukan ke MK. Dijelaskan Iing, pendudukan tanah terbagi atas dua jenis, yakni pendudukan yang sah (wettige occupatie) dan pendudukan yang tidak sah (onwettige occupatie).

Adapun mengenai UU Nomor 51 Tahun 1960 yang diuji para pemohon, norma tersebut mengatur pendudukan tanah yang tidak sah. Selanjutnya, Iing juga menyebut bahwa UU Nomor 51 Tahun 1960 tidak bertentangan dengan konstitusi, meski dibuat saat negara dalam keadaan darurat. Pemerintah menilai isi dari UU tersebut masih relevan hingga saat ini.

"Terhadap larangan penguasaan atau pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya tidak hanya berlaku saat negara sedang berada dalam keadaan bahaya. Namun bersifat mengikat juga kepada negara saat tidak sedang dalam keadaan bahaya atau keadaan damai," katanya.

Iing menambahkan, penggunaan tanah haruslah dengan cara yang teratur, sebab jika pemakaian tanah dilakukan secara tidak teratur dan melanggar norma-norma hukum atau tata tertib, hal itu dapat berakibat pada terhambatnya praktik pembangunan yang notabene merupakan pendorong perekonomian negara.

Iing juga membantah keterangan pemohon yang menyebut bahwa UU Nomor 51 Tahun 1960 selalu dijadikan landasan pemerintah untuk kemudian mengabaikan prinsip-prinsip relokasi yang sesuai dengan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya—tiap kali pemerintah daerah melakukan praktik penggusuran.

"UU a quo hanya mengatur larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan tidak mengatur, relokasi karena hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Daerah untuk menyelesaikannya, sebagaimana telah diatur UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah," kata Iing.

Iing menegaskan, pemerintah juga selalu memperhatikan prinsip-prinsip HAM dalam memproses penggusuran tanah milik negara. Selain itu, Iing juga menolak dalil pemohon yang menyatakan bahwa UU Nomor 61 Tahun 1960 bertentangan dengan aturan lain terkait penggusuran tanah, misalnya, dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, atau dengan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Gedung dan Bangunan.

Menyertakan semua aturan tersebut dalam uji materiil atas UU Nomor 61 Tahun 1960, untuk kemudian menyebut menimbulkan ketidakpastian hukum, disebut Iing tidaklah relevan. "Menurut pemerintah, UU a quo justru memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mencegah pemakaian tanah oleh pihak yang tidak berhak," papar Iing.


TIDAK SUBSTANSIF - Menanggapi keterangan pemerintah, kuasa hukum pemohon Matthew Michele Lenggo menyebut pihaknya tidak mendapat penjelasan substansi dari penjelasan pemerintah.

"Pemerintah hanya menyatakan bahwa pada dasarnya UU Nomor 51 Tahun 1960 ini sudah menjamin kepastian hukum, sudah memberi perlindungan bagi masyarakat yang memang punya kepemilikan tanah yang sah, dan sebagainya," kata Matthew, sesuai sidang, Selasa (28/11).

Padahal menurut Matthew, pihaknya justru ingin mendengar keterangan lebih jauh, salah satunya mengenai aturan berbeda dalam menyikapi satu pokok masalah yang sama. "Pihak pemerintah tidak bisa menjelaskan bagaimana kalau ada Pasal 167 KUHP yang sudah mengatur masalah penyerobotan tanah, tapi ada juga UU Nomor 51 Tahun 1960 yang pada dasarnya dibuat pada saat keadaan darurat. Hal ini jadinya gak efektif dan efisien," katanya.

Dengan banyaknya aturan-aturan seperti itu, Matthew menilai telah timbul ketidakpastian hukum. "Sekarang kalau sudah ada UU yang mengatur hal yang sama, mau pakai yang mana? Itulah permasalahan yang sayangnya kita gak dapat jawabannya dari pemerintah," katanya.

Matthew juga menyatakan bahwa UU Nomor 51 Tahun 1960 hanya dijadikan alibi oleh pemerintah menggusur secara sewenang-wenang. Bahwa pemerintah mendalilkan penggusuran itu bisa dilakukan karena masyarakat gusuran tidak punya bukti yang sah atas kepemilikan tanah, Matthew memberi jawaban dengan landasan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

"Dalam UU Pendaftaran Tanah disebut bahwa barang siapa yang tinggal lebih dari 20 tahun, maka dia harus dianggap sebagai pemilik tanah yang sah, karena konsep hukum agraria gak bicara soal masalah dia punya sertifikat atau enggak, tapi yang dilihat adalah penguasaan fisiknya," kata Matthew.

Matthew menjelaskan, pokok permasalahan yang sebetulnya ia ajukan ke MK adalah perilaku sewenang-wenang yang kerap dilakukan aparat dalam hal penggusuran. Dimana UU Nomor 51 Tahun 1960 kerap dijadikan dalih hukum untuk membenarkan tindakan itu.

Uji materiil UU Nomor 51 Tahun 1961 ini terdaftar dengan nomor perkara 96/PUU-XIV/2016, dimohonkan oleh tiga warga korban gusuran, yakni Rojianto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi.

Rojianto merupakan warga Papanggo, Jakarta Utara, yang saat tanahnya digusur, ia menyebut aparat menggunakan tindak kekerasan. Terkait penggusuran itu, Rojianto kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan hingga tingkat kasasi. Namun pihaknya tetap kalah. Dalam putusan, hakim menyatakan bahwa UU Nomor 51 Tahun 1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.

Sementara Mansur Daud, warga Duri Kepa, menyebut bahwa pihaknya menerima surat peringatan dari Pemerintah Daerah sebelum tanahnya digusur. Surat itu ditujukan atas nama Asun, dkk. Namun sepengetahuan Mansur dan korban gusuran Duri Kepa lainnya, di daerah tersebut tidak ada warga bernama Asun. Adapun Rando Tanadi, warga asal Duri Kepa ini merupakan seorang pelajar yang kini putus sekolah dan tidak lagi punya tempat tinggal karena tanahnya digusur tanpa diberikan ganti rugi.

Para pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 51 Tahun 1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa para pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut semestinya hanya dapat diterapkan saat negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai dan kemudian dijadikan dasar dalam praktik penggusuran secara paksa.

Selain itu, pemohon berpendapat bahwa dalam sejumlah kasus penggusuran paksa, khususnya yang terjadi di DKI dan dialami langsung oleh pemohon, pemerintah sebagai pelaku penggusuran tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan yang sejalan dengan asas-asas hukum agraria.

BACA JUGA: