JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persidangan praperadilan kasus penetapan tersangka Antoni Chandra kembali bergulir. Melalui saksi ahli yang dihadirkan pihak penggugat yaitu Antoni Chandra dan Hary Djaja, berupaya membuktikan bahwa tindakan hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan menetapkan kliennya sebagai tersangka tak berdasar pada ketentuan perundang-undangan.

Penggugat menghadirkan Chairul Huda, dosen Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara nomor 140/Pid.Prap/PN. Jkt. Sel. Chairul dihadirkan pihak Antoni untuk menjelaskan aspek hukum pidana dalam penetapannya sebagai tersangka.

Chairul menyatakan langkah Kejagung menetapkan Antoni sebaga tersangka tidak beralasan secara hukum. Langkah Kejagung menetapkan dengan dasar lampiran yang digunakan dalam pembayaran pengampunan pajak alias tax amnesty sebagai dasar penyidikan tidak dapat dibenarkan. Dia beralasan, tax amnesty yang diberlakukan pemerintah tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan tindakan hukum.

"Negara tidak boleh gunakan tax amnesty untuk menetapkan tersangka apalagi dilanjutkan untuk penyidikan," kata Chairul saat memberikan keterangan sebagai ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (23/11).

Antoni Chandra, mantan direktur utama PT Mobile 8 ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka terkait dugaan korupsi restitusi pajak. Kejagung mengendus adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Jaya Nusantara pada periode 2007-2009. Dalam kurun waktu itu, terjadi rekayasa perdagangan dengan membuat invoice sebagai faktur. Akibatnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis negara menanggung kerugian senilai Rp86 miliar.

Seiring waktu ketika pemerintahan Joko Widodo menyelenggarakan program tax amnesty, Antoni turut serta. Karena itu, menurut Chairul penetapan tersangka Antoni tidak bisa dibenarkan secara hukum karena proses penetapan tersangka dan penyidikan dihentikan. Pasalnya, ketika seseorang telah ikut dalam tax amnesty maka tindakan pidana dugaan restitusi pajaknya seharusnya dihentikan.

Kalau pun pihak Kejaksaan Agung ingin menindaklanjuti kasus restitusi, maka diharuskan agar membuat penyidikan baru. "Kalau penetapan tersangka maka harusnya dihentikan demi hukum karena sudah ikut tax amnesty," ujar Chairul.

Selain itu, Chairul ditanya soal keabsahan dua alat bukti kaitannya dengan Perma Nomor 4. Chairul Huda menyatakan, penyidikan yang dilakukan mesti dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan penyidikan.

Dalam kasus PT Mobile 8, pihak pemohon menganggap Kejaksaan Agung bukan institusi yang tepat melakukan penyidikan. Pasalnya, sesuai ketentuan Undang-Undang Pasal 39 Nomor 28 Tahun 2007 Tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) merupakan kewenangan Ditjen pajak untuk melakukan penyidikan kasus tindak pidana pajak.

Bahkan Chairul menegaskan, penyidikan tidak sah jika tidak dilakukan pihak yang berwenang. Proses penyidikan dan menentukan dia alat bukti yang sah, tidak hanya cara melakukan tetapi juga dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan penyidikan. "Dapat dinyatakan sah apabila sifatnya jumlah dan kualitasnya, sah diambil oleh pejabat yang berwenang," tukasnya.

BUKTI YANG MEMPERKUAT - Penasihat hukum Antoni Chandra, Hotman Paris Hutapea juga memprotes keras tindakan hukum Kejagung lantaran menetapkan Antoni sebagai tersangka. Menurut Hotman, langkah Kejagung itu tidak konstitusional saat menetapkan Antoni sebagai tersangka. Dia beralasan, UU Tax Amnesty serta himbauan presiden tak diindahkan pihak Kejagung.

Hotman konsisten mengacu kepada Pasal 20 UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Tax Amnesty (UU Tax Amnesty). Pasal 20 menjelaskan bahwa data yang telah diajukan melalui Tax Amnesty tidak boleh lagi ditindak melalui tindak pidana lain termasuk tindak pidana korupsi. Pemerintah bahkan telah berjanji akan menaati isi dan ketentuan yang ada dalam UU Tax Amnesty.

Hotman meminta kepada pemerintah agar berkomitmen untuk menjalan isi UU Tax Amnesty. Salah satunya soal data yang telah diikutkan tax amnesty tidak lagi dijerat seseorang ke dalam persoalan hukum.

"Kami minta itu dilaksanakan (isi UU Tax Amnesty) karena kita dan seluruh dunia sudah menyoroti Tax Amnesty, tapi kok dalam pelaksanaannya beda," ujarnya.

Selain itu, pihak pemohon juga mengajukan bukti surat kepada hakim tunggal untuk menyatakan bahwa penyidikan terkait kasus yang dilakukan yang tengah disidik juga Kejagung. Dia menyampaikan 20 bukti surat pemanggilan yang dilakukan Kejagung dan Ditjen Pajak yang kasusnya sama persis disidik oleh dua institusi yang berbeda. Lewat bukti itu, dia menganggap Kejagung telah melakukan penyerobotan penyidikan yang tengah dilakukan Ditjen Pajak.

"Jadi sehingga menjadi pertanyaan siapa yang menyerobot? Kami menyangka yang nyerobot itu Kejaksaan," katanya.

BACA JUGA: