JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah bertahun-tahun gagal menuntut pengembalian warisan melalui berbagai jalur. Kartini Sitompul, 80 tahun, anak pengusaha kopi sekaligus pemilik mesin cetak Oeang Repoeblik Indonesia Propinsi Soematra (OERIPS) Gortap Sitompul akhirnya mengajukan gugatan uji materiil atas Pasal 1740 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terhadap Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), Senin (14/11).

Kartini menilai norma 1740 KUH Perdata telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Pasal 1740 KUH Perdata berbunyi, "Pinjam Pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya".

Permohonan uji materiil Kartini bertolak dari kasus konkret yang mengiringi sejarah keuangan republik ini. Khususnya sejarah keuangan di wilayah Sumatera. Awal mula kisahnya, tak lama setelah Indonesia merdeka, atas permintaan Presiden Soekarno, Gubenur Sumut saat itu Teuku Muhammad Hasan meminta ayah Kartini, Gortap Sitompul untuk mencetak uang yang diedarkan di wilayah Sumut demi kepentingan ekonomi masyarakat, serta menunjukkan identitas bangsa. Uang yang selanjutnya disebut  OERIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera) itu diberlakukan pada 8 April 1947 melalui Maklumat No.92/KO,  dan  beredar pada kurun 1947 hingga 1950.

Gortap diminta mencetak OERIPS karena kondisi negara saat itu tidak memungkinkan pemerintah pusat untuk mengirim uang ke Jawa ke Sumatera. Alasan lain, perusahaan percetakan yang dimiliki Gortap tergolong modern untuk ukuran masa-masa awal kemerdekaan itu. "Bapak punya mesin bermerek Gordon 1 unit, Snelpers 1 unit, dan Heildelberg 2 dua unit," kata Kartini kepada gresnews.com, Senin (14/11).

Lanjut Kartini, Gortap pun meminjamkan mesin cetaknya untuk mencetak uang kertas dengan pecahan Rp1, Rp5, Rp10 dan Rp100. Tak hanya di situ, demi kelancaran produksi, Gortap sampai merogoh koceknya sendiri mencari dan membeli bahan kertas OERIPS dari Singapura.

Namun hingga saat ini, baik mesin cetak maupun bahan kertas yang dulu digunakan Gortap untuk mencetak OERIPS tidak pernah dikembalikan oleh negara. Lantaran itulah Kartini menilai, frasa
"pihak yang lainnya" pada pasal 1740 KUH Perdata tidak mempunyai kepastian hukum terlebih dalam kasus yang menimpa dirinya. Dimana yang dimaksud pihak lain adalah pemerintah.

Ia pun memohon agar MK membatalkan pasal a quo dan menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UU 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai tidak memberikan hak kepada Pemerintah RI untuk mengembalikan barang yang telah dipinjamkan.
 

USAHA KERAS - Mesin cetak milik Gortap pada mulanya berada di kota Pemantang Siantar. Namun karena adanya Agresi Militer Belanda I, mesin cetak dan peralatan lain yang dibutuhkan untuk mencetak OERIPS dipindahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Gortap juga turut pindah ke daerah itu. Hanya sesampainya di Bukit Tinggi, peralatan dan klise-klise uang kertas itu Gortap serahkan kepada EM. Damara, petugas yang bertanggungjawab atas arsip dan dokumen pemerintah kala itu. Nasib malang pun menimpa Gortap. Mesin cetaknya hilang hingga saat ini.

Kartini bercerita bahwa mesin cetak serta percetakan itu merupakan jatah warisan yang ia dapat dari almarhum ayahnya. Semasa hidup, Gortap sudah mewasiatkan sejumlah warisan buat anak-anaknya. "Kakak saya dapat peternakan babi, ada juga yang kebagian perkebunan kopi. Nah, saya dapat percetakan," aku Kartini.

Kartini menyebut atas wasiat ayahnya ia memperjuangkan persoalan ini sejak 40 tahun lalu. Semua presiden, kecuali Habibie, pernah ia surati terkait mesin cetak itu. "Baru pada zaman Pak SBY bapak saya mendapat tanda kehormatan Bintang Jasa Utama," katanya.

Upaya agar ayahnya mendapat tanda kehormatan dilakukan Kartini sejak ayahnya masih ada. Sang ayah Gortap Sitompul meninggal dunia pada tahun 1982. Namun meski pada 2009 mendapat tanda kehormatan dari negara, Kartini menganggap pengakuan itu belum cukup. Ia menghendaki agar mesin cetak yang dipinjamkan ayahnya dahulu dikembalikan kepadanya.

Kartini menambahkan, di era pemerintahan Gus Dur ia sudah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun pengadilan memutuskan bahwa kasus yang ia ajukan kadaluwarsa. Meski tak terima dengan putusan itu, Kartini tidak mengajukan banding. Ia membiarkan putusan tersebut namun beberapa tahun kemudian mendatangi Ombudsman untuk meminta tolong agar dilakukan satu upaya hukum. "Ombudsman juga bilang bahwa mesin itu harus dikembalikan," kata Kartini. Kartini menambahkan, Ombudsman sudah berupaya membantunya dengan menyurati presiden Jokowi.

Kartini menegaskan, kalau pun mesin cetak bernilai sejarah tersebut tidak bisa dikembalikan, ia berharap negara bisa memberi biaya pengganti yang sesuai dengan nilai mesin tersebut. "Tidak usah miliaran-lah. Yang penting bisa buat kami bikin usaha percetakan lagi," katanya.

Kartini datang ke MK ditemani asisten pribadinya sendiri, tanpa kuasa hukum. Ditanya mengenai hal itu, Kartini menyatakan bahwa kuasa hukumnya terdahulu sudah meninggal dunia. "Saya tidak mau keluar uang lagi. Lagian kalau pakai kuasa hukum mereka harus mempelajari kasusnya dari awal," ucap Kartini.


CONSTITUTIONAL COMPLAINT - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Manahan Sitompul dan Patrialis Akbar yang menangani permohonan Kartini menilai bahwa kasus yang menimpa Kartini merupakan kasus konkret, jauh kaitannya dengan pertentangan terhadap UUD 1945. Namun demikian, dengan simpatik ketiga hakim tersebut menyarankan Kartini agar memperbaiki permohonannya dengan menitikberatkan adanya pertentangan norma 1740 KUH Perdata dengan UUD 1945.

"Kami memahami persoalan ibu. Kami juga ingin membantu. Tapi secara institusional, kewenangan MK terbatas. MK tidak bisa masuk ke kasus konkret," kata Patrialis, Senin (14/11).

Mendengar saran hakim MK, Kartini menyatakan bahwa kedatangan dirinya ke MK lantaran tidak tahu lagi upaya yang harus  ia tempuh untuk menuntut dikembalikannya mesin cetak legendaris itu. Menurutnya MK ini adalah pengadilan tertinggi di negeri ini. Dirinya sudah datang ke pengadilan lain, tapi dibilang kadaluwarsa. Ia juga sudah mendatangi Ibu Sri Mulyani sebelum Menteri Keuangan era SBY itu pergi ke Amerika.

"Beliau bilang, kasus ini akan diselesaikan. Tapi begitu beliau pergi, menteri keuangan berikutnya tidak mau menyelesaikan urusan ini dengan alasan putusan pengadilan menganggapnya kadaluwarsa," papar Kartini.

Seusai persidangan, Kartini menyatakan  akan berusaha kembali menemui Sri Mulyani untuk menyelesaikan tuntutannya.


Adanya aduan mengenai kasus konkret bukan perkara baru di MK. Beberapa waktu lalu, sejumlah korban gusuran juga pernah membawa kasusnya ke MK. Di luar kasus itu, ada seorang sarjana sastra bernama Sri Royani yang juga pernah mengajukan permohonan agar MK dapat memeriksa kasus-kasus yang bersifat constitutional complaint, di samping memeriksa perkara pengujian undang-undang. Namun demikian, permohonan Sri agar MK memeriksa constitutional complaint ditolak Majelis Hakim MK pada Rabu, (9/11) lalu.

Di beberapa negara, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menangani constitutional complaint, yakni pengajuan perkara oleh warga negara karena hak-hak konstitusional mereka dilanggar akibat penerapan norma, seiring tidak adanya saluran hukum yang tersedia lagi.

Constitutional complaint merupakan suatu upaya hukum terakhir (exhausted) yang bertujuan memberi perlindungan hukum secara maksimal bagi warga negara yang merasa ada hak-hak konstitusionalnya terlanggar. Namun sesuai amanat UUD 1945 dan UU Nomor 24 tahun 2003 jo UU Nomor 8 tahun 2011, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) tidak memiliki kewenangan constitutional complaint. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: