JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Kasus suap dan perdagangan perkara oleh aparat penegak hukum dinilai telah memasuki fase darurat dan memprihatinkan. Untuk itu perlu adanya reformasi hakim peradilan untuk mengembalikan kewibawaan dunia peradilan di tanah air.  

Sejauh ini vonis berat terhadap pelaku tindak pidana korupsi ternyata tidak membuat efek jera bagi para pelaku. Hal itu dibuktikan dengan kenyataan hingga saat ini masih banyak hakim yang menerima suap dari perkara yang ditanganinya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo mencontohkan, seperti kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, yang divonis seumur hidup karena menerima suap, ternyata tidak membuat jera hakim-hakim lainnya untuk melakukan korupsi.

"Walaupun ada hukuman yang berat, tetapi belum bisa mencegah mereka melakukan kejahatan korupsi," kata mantan anggota Panitia Seleksi Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu di Jakarta, Sabtu (28/5).

Bagi Harkristuti, sebagai orang yang berkecimpung di bidang hukum pidana, ia mengaku sangat resah oleh perilaku korupsi yang marak ini. Menurut dia, hukuman seharusnya memberi efek jera dan mencegah orang melakukan kejahatan. "Ternyata teori kami salah," tuturnya.

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman MA mengatakan harus ada langkah reformasi hakim peradilan. Langkah itu diantaranya dengan melakukan perbaikan manajemen hakim. Hal ini, menurutnya, harus dilakukan dengan serius, dan melibatkan Komisi Yudisial (KY).

"Saya kira harus, sebab dagang perkara tidak ada pembenarannya sama sekali," jelasnya ditemui di Jakarta, Sabtu (28/5).

Dia mengakui, kasus-kasus hakim yang bermasalah selama ini menjadi insiden yang merusak sistem penegakan hukum. Seperti halnya kasus operasi tangkap tangan oleh KPK kepada dua hakim Tipikor Bengkulu.

"Maka masalah tersebut akan berpengaruh terhadap kelangsungan kita sebagai negara hukum," ujarnya.

Hanya saja  terkait soal putusan hakim di tingkat pertama dan seterusnya, Komisi Yudisial selaku pengawas eksternal hakim tidak mempunyai kewenangan, sehingga semau keputusan apa pun dari MA tidak bisa dianulir. Tetapi adanya kewenangan KY di Mahkamah Kehormatan Hakim (MKH) mempunyai peran penting dalam pembinaan hakim.

MA ALERGI KY - Untuk itu ia menilai, perlu ada penguatan Komisi Yudisial dalam rangka melakukan pengawasan terutama dalam manajemen hakim. Hanya saja selama ini Mahkamah Agung terkesan menutup diri, kalau tidak disebut alergi terhadap keberadaan Komisi Yudisial yang hadir menjadi pengawas eksternal etika hakim.

Bahkan perang dingin pun terjadi sejak kemunculan lembaga ini. Sekelompok hakim hingga saat ini terus  berusaha  memangkas kewenangan Komisi Yudisial melalui pengajuan judicial review UU Komisi Yudisial. Terakhir mereka mengajukan judicial review atas kewenangan Komisi Yudisial untuk turut menyeleksi pemilihan hakim agung. Padahal keberadaan KY untuk menegakkan martabat dan etika hakim sangat penting.  

Sebagai contoh dalam kasus Ketua Pengadilan Kepahiang, Janner Purba. Komisi Yudisial telah berulang kali mengirimkan rekomendasi sanksi kepada MA. Namun rekomendasi sanksi KY kepada MA tak membuat lembaga peradilan itu melakukan koreksi dan pembinaan. Puncaknya saat Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Janner karena menerima suap dari kasus yang ditanganinya.

Juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mengungkapkan bahwa hakim Janner Purba merupakan hakim yang berulangkali diadukan ke Komisi Yudisial karena memperdagangkan perkara.

"Data di KY, hakim Janner Purba sudah pernah dilaporkan sebanyak enam kali ke KY," ungkap Farid, Rabu (26/5).

Bahkan dari enam kali laporan itu, Janner telah  dua kali dikenakan sanksi ringan berupa teguran. Sedangkan empat laporan lainnya tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hukum (KEPPH).

Diakui Farid, Janner merupakan salah satu hakim yang masuk radar KY secara khusus sejak November tahun 2015. Namun, ia mengakui pihaknya mengalami kendala saat akan menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut. Diantaranya sebagai lembaga etik KY tidak memiliki perangkat untuk mengumpulkan bukti transaksi dan pertemuan tersebut.

"Bagi KY, jika sudah disanksi, termasuk hakim dengan predikat atensi untuk dipantau pergerakannya. Tidak terbukti melanggar KEPPH sangat mungkin disebabkan karena tidak cukup bukti saja atau tidak dapat dibuktikan karena sulit pembuktiannya, tetapi bagi KY setiap laporan sangat bermakna untuk menilai perilaku hakim," jelas Farid.

Dengan fakta ini harusnya Mahkamah Agung lebih membuka diri atas hadirnya lembaga pengawas ekternal. Sehingga kasus perdagangan perkara dan keberadaan mafia peradilan bisa dieliminir.

Seperti diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi tercatat telah lebih dari lima kali melakukan operasi tangkap tangan kasus suap hakim dalam kurun setengah tahun terakhir. Penangkapan terakhir dilakukan KPK terhadap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu Janner Purba karena diduga menerima suap terkait penanganan kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebab selain sebagai kepala pengadilan, Janner juga menjadi hakim Tipikor di PN Bengkulu.  

BACA JUGA: