JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tiga warga Jakarta korban penggusuran yakni Rojiyanto (korban penggusuran Papanggo, Jakarta Utara) serta Rando Tanadi dan Mansur Daud (keduanya korban penggusuran Duri Kepa, Jakarta Barat) melakukan uji materiil atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak Atau Kuasanya (UU PRP). Sidang pendahuluan uji materiil tersebut digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/11) lalu.

Di hadapan tiga hakim MK, Alldo Felix Januardy selaku kuasa hukum pemohon menyampaikan inti petitum atau permohonannya. "Pada pokoknya kami meminta untuk memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang PRP Nomor 51 Tahun 1960 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945," kata Alldo (3/11).

Alldo menjabarkan, seiring melanggar hak-hak konstitusional para pemohon dan korban penggusuran pada umumnya, UU PRP juga dinilai sudah tidak relevan lantaran UU tersebut diterbitkan tahun 1960 manakala negara tengah berada dalam situasi bahaya. Selain itu, UU PRP juga dianggap tidak sesuai dengan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Terakhir, Alldo menyatakan bahwa UU PRP kerap dijadikan landasan oleh pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang tiap kali melakukan penggusuran.

"Undang-undang itu memberikan pemerintah daerah wewenang untuk seolah-olah menyerobot kewenangan peradilan karena setiap sengketa tanah tidak melalui lembaga yudikatif terlebih dahulu, tetapi langsung dieksekusi oleh Pemprov," kata Alldo.

Pernyataan Alldo sangat beralasan mengingat Pasal 3 Ayat (1) UU PRP menyebut bahwa Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan-perkebunan dan bukan-hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu. Selanjutnya, Pasal 3 Ayat (2) UU PRP menyatakan bahwa penyelesaian yang dimaksud pada Ayat 1 diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Aturan itu jadi terasa lebih mengerikan manakala pada Pasal 4 Ayat (1) disebutkan, dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3, maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerima hak daripadanya.

Lantas bagaimana jika perintah Penguasa Daerah itu tidak digubris pemilik tanah? Hal itu diatur dalam norma berikutnya, yakni Pasal 4 Ayat (2) UU PRP yang berbunyi "Jika setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan tersebut pada Ayat 1 pasal ini perintah itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau penjabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri."

TUMPANG TINDIH - Lantaran agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan, tak banyak yang disampaikan Alldo di persidangan. Ia hanya diminta menyampaikan pokok-pokok permohonannya, lalu majelis panel hakim memberikan saran-saran perbaikan. Hakim-hakim yang menangani perkara dengan nomor 96/PUU-XIV/2016 itu adalah Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Wahiduddin Adams.

Ketiga pemohon tidak datang ke MK, menurut Alldo, ketiganya berhalangan datang ke MK lantaran tengah mengikuti persidangan di tempat lain, serta ada pula yang salah seorang keluarganya meninggal dunia.

Sehabis persidangan, Alldo bicara lebih banyak soal alasan pemohon mengajukan uji materiil ke MK. Ia menyatakan, permohonannya kepada MK untuk membatalkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 UU PRP lantaran secara faktual, UU itu menihilkan sejumlah hak yang mestinya didapat korban penggusuran. "Misalnya hak kepastian hukum, hak mendapat rasa aman, tempat tinggal, pekerjaan, serta lingkungan hidup yang baik," papar Alldo kepada gresnews.com, Kamis (3/11).

Alldo juga menjelaskan, pada mulanya UU PRP dikeluarkan oleh Soekarno saat negara dalam kondisi darurat, dalam arti Indonesia belum stabil secara politik dan gerakan-gerakan separatis muncul di mana-mana. "Maka UU itu pun dikeluarkan untuk merebut tanah demi kepentingan pertahanan," kata Alldo. Namun demikian, sekarang UU itu malah dipakai untuk melakukan penggusuran.

"Hampir di semua kasus penggusuran yang digunakan adalah UU PRP itu," tambahnya.

Alldo berharap, jika MK mengabulkan petitumnya maka itu akan menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera membentuk aturan mengenai penggusuran yang lebih manusiawi. Dijelaskan Alldo, aturan seperti itu sebenarnya sudah ada di dalam konvenan internasional hak-hak ekonomi sosial budaya yang diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya. Di dalamnya ada penjelasan tentang prosedur penggusuran yang layak. Hanya, sejauh ini pemerintah Indonesia hanya sekadar meratifikasi, tidak sampai menurunkan kesepakatan internasional tersebut ke dalam peraturan teknis.

"Malah ya itu tadi, soal penggusuran tetap berpaku pada UU yang dibuat dalam situasi perang. Makanya itu sudah gak relevan. Kita mau pemerintah kembali ke standar konvenan HAM, kemudian mencabut UU PRP ini sehingga di masa depan kalau pun pemerintah benar-benar harus melakukan penggusuran terhadap warga yang menduduki tanah tertentu, prosedurnya bisa lebih manusiawi. Ada jaminan bahwa hak korban dipenuhi," paparnya.

Dijelaskan Alldo, selain UU PRP sebetulnya pemerintah punya banyak aturan yang berkaitan dengan urusan tanah, misalnya UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UU Bangunan Gedung), UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang), UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah), hingga sejumah Peraturan Daerah (Perda) mengenai ketertiban umum.

Namun demikian, seluruh aturan itu kerap saling bertabrakan satu sama lain. Tumpang tindih. Bahkan dalam konteks penggusuran, semua undang-undang itu berkelit-kelindan. "Nah bayangkan dalam satu peristiwa penggusuran, aturan mana yang dipakai? Aturannya banyak banget, jadi gak ada kepastian secara hukum," katanya.

Di antara seluruh UU di atas, Alldo mengakui bahwa meski belum mendekati standar HAM, UU Pengadaan Tanah sudah lebih manusiawi timbang UU PRP. Hanya, pemerintah terkesan tebang pilih dalam menggunakan UU tersebut. "UU Pengadaan Tanah tidak pernah digunakan pemerintah untuk korban penggusuran, tapi digunakan terhadap rumah-rumah di kawasan elit atau bagi kalangan menengah ke atas," kata Alldo.

Alldo berpendapat, hal itu terjadi lantaran dua hal. Pertama, biaya yang mahal karena mengharuskan adanya ganti rugi yang sesuai harga pasar. Kedua, tidak efesien karena proses penggusuran tanah harus melalui mekanisme pengadilan. Sikap tebang pilih pemerintah tentu dianggap tidak adil lantaran sebagai warga negara semua masyarakat memiliki hak dan kedudukan yang sama di muka hukum.

"Dalam praktek menggunakan tanah untuk kepentingan umum, pemerintah tidak bisa membuat dikotomi berdasarkan kelas sosial seperti itu," kata Alldo, menegaskan.

Ia melihat, UU PRP yang dinilai tidak adil itu juga jadi pembenaran manakala pemerintah berbuat "curang". Ia pun menjelaskan, di banyak kasus penggusuran, misalnya yang terjadi di DKI, Pemprov sendiri sebetulnya tidak punya sertifikat. Namun lantaran ada norma Pasal 3 dan Pasal 4 UU PRP, pemprov DKI bisa bertindak semaunya.

"Pemprov lain juga begitu. Atau pemerintah-lah. Pemerintah Pusat. Banyak yang tidak punya sertifikat," kata Alldo. Ia pun menyitir Pasal 49 UU Perbendaharaan Negara yang mewajibkan pemerintah harus juga memiliki sertifikat tanah.

"Kalau gak punya sertifikat dia gak bisa klaim tanah. Itulah sebabnya mengapa semua kasus penggusuran hendaknya di proses dulu di pengadilan, karena sama-sama gak punya sertifikat," tukas Alldo.

Bahwa dalam UU PRP mekanisme pengadilan itu tidak ada, Alldo kembali merujuk situasi darurat sebagai landasannya. "Lagi darurat mana sempat mikirin pengadilan," katanya, sambil tertawa.

MINIM PENJELASAN KERUGIAN HAK KONSTITUSIONAL - Dalam setiap sidang konstitusi dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, majelis panel hakim berkewajiban memberi masukan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Ketua Panel Maria Farida menyoroti, permohonan yang disampaikan Rojiyanto, Rando, dan Mansur Daud melalui Alldo terlalu dipenuhi kasus konkret. "Nah, yang Anda rumuskan di sini kok kelihatannya kasus konkret, ya? Semuanya merupakan kasus konkret," kata Maria.

Maria menyarankan, agar dalam permohonan tersebut dijelaskan apa kerugian hak konstitusional warga negara atau pemohon dengan berlakunya Pasal 2, 3, 4, dan 6 UU PRP. "Itu yang harus dijelaskan. Kalau penggusurannya, memang itu kasus konkret, tapi apakah pasal-pasal yang Anda mohonkan betul-betul telah menyalahi konstitusi?” kata Maria.

Maria lalu memberi contoh, dalam hal memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, tidak ada pertentangan dengan konstitusi. "Jadi Anda harus meyakinkan hakim bahwa pasal-pasal ini memang bertentangan dengan konstitusi, begitu," tambahnya.

Hakim Wahiduddin Adams menggarisbawahi dua istilah yang digunakan pemohon dalam permohonannya. Pertama, pemohon menggunakan istilah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 51 Tahun 1960, kedua menggunakan istilah Undang-undang (UU) Nomor 51 Tahun 1960. Menurut Wahid, pemohon cukup menggunakan istilah UU karena lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, semua Perpu yang lahir sebelum 1 Januari 1961 ditetapkan menjadi undang-undang.

"Nah, ini memang belum pernah dicabut dan memang UU ini sebelumnya mencabut dua UU darurat, yakni UU Nomor 8 Tahun 1954 dan UU Nomor 1 Tahun 1956. Jadi, ini UU darurat mencabut UU darurat," kata Wahid, menjelaskan.

Perihal kerugian penggusuran yang banyak disebutkan pemohon dalam permohonannya, Wahid menyebut hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012. Menurutnya, warga negara yang keberatan haknya ditetapkan sebagai kepentingan umum dapat mengajukan gugatan lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bahkan jika warga tersebut memenangkan gugatan, bentuk ganti rugi juga tidak hanya berbentuk tanah, tapi bisa juga sampai diberi saham.

Senada dengan Maria, Hakim Palguna juga menekankan pentingnya pemohon mengurai persoalan kerugian hak konstitusional dan pertentangan UU PRP dengan UUD 1945. Selain itu, Palguna juga memberi masukan agar di dalam dalil permohonan, Pemohon tidak mengemukakan hal-hal yang berkaitan dengan dasar pemikiran pembentukan suatu aturan atau UU.

"Jangan sampai tampak bahwa seolah-olah pengujian ini mau melakukan pengujian formil," kata Palguna. Palguna menerangkan, pengujian formil hanya dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu, yakni 45 hari. "Jadi kalau itu yang dipersoalkan, bisa, tapi menjadi bagian integral dari persoalan untuk mendalilkan inkonstitusionalitas pasalnya. Jangan itu yang dipersoalkan sehingga seolah-olah logikanya ini kok seperti mau mengajukan pengujian formil," paparnya.

Palguna juga menekankan soal kasus-kasus konkret yang disampaikan dua hakim sebelumnya. Menurut Palguna, kasus-kasus konkret yang dialami pemohon atau korban penggusuran mungkin penting, tapi bukan alasan utama untuk membuktikan pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. "Ingat, kalau dalam bahasa Inggris ini disebut abstract judicial review. Jadi yang dipentingkan adalah argumentasi Saudara secara abstrak atau secara teoretis, bukan abstrak mengawang-awang," kata Palguna.

Menurut Palguna, jika landasan teoretis yang abstrak itu sudah jelas, barulah pemohon bisa menguatkan permohonannya dengan fakta. Fakta atau kasus konkret hanya sampiran di dalam sidang uji materiil undang-undang. "Jangan terbalik, bukan faktanya yang ditekankan. Karena fakta bisa terjadi karena salah penafsiran norma atau karena kelalaian di lapangan. Kalau sudah begitu berarti sudah di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi," kata Palguna.

Palguna menambahkan, argumen-argumen abstrak-teoritis penting dikemukakan agar sidang uji materiil undang-undang di MK tidak terseret ke dalam kasus komplain. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: