JAKARTA, GRESNEWS.COM - Status disclaimer yang disematkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mei lalu menyisakan persoalan di lembaga independen itu. Sejumlah pihak menilai, status itu mencederai posisi Komnas HAM sebagai salah satu institusi yang menjadi ujung tombak penegakan keadilan publik, utama dalam memajukan upaya-upaya perlindungan hak asasi manusia. Apalagi secara beruntun Komnas ham juga diterpa mosi tidak percaya para pegawainya

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai Komnas HAM tengah menghadapi persoalan serius terkait keluarnya status disclaimer BPK. Lebih-lebih setelah status itu keluar, muncul mosi tidak percaya dari sejumlah pegawai internal Komnas HAM yang tergabung dalam Gerakan Peduli Komnas HAM.

Tak berhenti di situ, situasi genting kian menghinggapi Komnas HAM menyusul dinonaktifkannya salah seorang komisionernya, yakni Dianto Bachriadi. Dianto  dinonaktifkan atas dugaan melakukan tindakan korupsi sewa rumah dinas fiktif di Bekasi. "Dugaan korupsi ini semakin tercium ketika status Dianto resmi dinonaktifkan saat rapat paripurna Komnas HAM bulan September 2016," ungkap Supriyadi kepada gresnews.com (20/10) lalu.

Menurut Supriyadi, dugaan korupsi yang terjadi di Komnas HAM makin menambah daftar lembaga negara yang terjerumus di lubang hitam korupsi. Sebelumnya Mahkamah Konstitusi yang merupakan Lembaga Kehakiman sekaligus Guardian of Constitution tercoreng dengan perilaku koruptif mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. "Kini perilaku busuk itu sedang menggerogoti lembaga yang menjadi ujung tombak perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia," katanya.

Supriyadi menambahkan, apa yang telah dilakukan Dianto sangat mencoreng spirit Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Mengingat korupsi sendiri dianggap sebagai tindakan yang jelas-jelas melanggar HAM.

"Sebagai salah satu lembaga yang bertugas mengoptimalkan sistem check and balances di antara lembaga-lembaga negara, baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif, seharusnya Komnas HAM dapat menjaga diri dan  menjamin ditegakkannya good and clean governance, tidak begitu saja melanggengkan perilaku koruptif,” paparnya.

Atas hal itu, Supriyadi meminta pimpinan Komnas HAM segera mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya dengan menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi ke ranah hukum. Lalu dalam prosesnya, Komnas HAM juga bersikap terbuka dan menjaga integritas dengan tidak menutup-tutupi dugaan korupsi itu.

"Langkah dan kebijakan tersebut diperlukan untuk mengembalikan marwah Komnas HAM sebagai institusi nasional HAM yang bertanggungjawab kepada masyarakat Indonesia," lanjut Supriyadi. Menurutnya, upaya itu penting dilakukan lantaran negeri ini membutuhkan institusi-institusi yang kuat dan mandiri untuk mendorong dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.

"Apabila Komnas HAM tidak melakukan dan mengambil langkah-langkah menyelesaikan dugaan korupsi yang terjadi, maka kami menyatakan mosi tidak percaya kepada Komnas HAM," pungkasnya.
 

CITRA KOMNAS HAM - Sementara itu terkait persoalan ini Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan, tengah memproses rekomendasi BPK terkait status disclaimer yang diterima Komnas HAM. "Rekomendasi dari BPK ada dua. Pertama, Komnas HAM diminta melakukan penataan manajemen keuangan, kedua diminta mengembalikan kerugian negara sebesar 1,3 miliar rupiah," ujarnya kepada gresnews.com, Jumat (28/10).

Natalius menjelaskan, Komnas HAM mendapat status disclaimer dari BPK tidak semata lantaran BPK menemukan adanya angka Rp1,3 miliar rupiah sebagai kerugian negara. Namun, menurutnya status disclaimer keluar dari KPK lantaran sejumlah keterangan yang diminta dan ditanyakan BPK tidak sempat dijawab Komnas HAM.

Menurut Natalius, Komnas HAM memang terkesan gagap di depan BPK, hal itu kata dia,  erat kaitannya dengan kondisi internal di Komnas HAM sendiri. "Salah satu faktornya dipengaruhi karena PNS dan pegawai kesekretariatan di Komnas HAM adalah eks aktivis, yakni anggota-anggota LSM, NGO, wartawan, dan sebagainya," dalihnya.

Jadi menurut dia, budaya dan sistem birokrasi itu tidak dipahami betul. Bagaimana berpedoman pada sistem penggunaan anggaran negara, itu jelas bukan bidang yang mereka kuasai. Lantaran hal itulah catatan BPK adalah memperbaiki  tata kelola, dan kompetensi manajemen keuangan, dan kinerjanya.

Terkait kerugian negara sebesar Rp1,3 miliar rupiah yang harus dikembalikan Komnas HAM, Natalius menyebut hal itu tengah diproses dengan meminta uang itu dikembalikan dan pemberian sanksi disiplin di kalangan internal.

Ditegaskan Natalius, upaya itu juga tidak hanya berlaku bagi Dianto Bachriadi. Namun berlaku bagi semua komisioner dan staf Komnas HAM yang terbukti melakukan kesalahan. Bedanya, lantaran pelanggaran yang dilakukan Dianto angkanya paling besar, yakni 330 juta rupiah, maka nama Dianto disebut dalam rekomendasi BPK dan secara khusus diminta mengembalikan uang itu. "Yang lain namanya cuma masuk dalam lampiran dan hanya diminta untuk memperbaiki administrasi," kata Natalius.

Meski demikian, Natalius berharap soal disclaimer ini publik melihat Komnas HAM secara komperehensif, tidak melihat individu per individu semata. Semua jajaran mulai dari komisioner, sekjen, hingga para staf tengah dievaluasi. "Karena itu tidak fair jika memfokuskan ke satu orang. Kalau mau fair lihat Rp1,3 miliar. Jangan hanya melihat yang Rp330 juta saja," katanya.

Natalius juga memberi apresiasi bagi semua pihak yang menyuarakan kepeduliannya terhadap Komnas HAM. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk perhatian publik selama publik menyikapinya dengan pandangan objektif. "Jangan hanya karena kebencian terhadap seseorang, lalu persoalan ini diblow-up sedemikian rupa, bahkan hingga memperburuk citra institusinya," papar Natalius.

Namun jika status disclaimer itu menjadikan citra Komnas HAM  memburuk, Natalius melihatnya sebagai sesuatu yang wajar. Menurutnya, laporan yang masuk ke Komnas HAM jumlahnya mencapai ribuan. Dari laporan-laporan itu kemudian timbul kebijakan Komnas HAM yang tidak disukai sejumlah kalangan. Kalangan-kalangan inilah yang kemudian memprovokasi dan terus bersuara demi menjatuhkan citra Komnas HAM. "Itu wajar dan normal. Karena kebijakan kami rata-rata tidak menguntungkan penguasa atau aktor-aktor pelaku pelanggaran HAM," bela Natalius.

PERKARA RUMAH DINAS - Dihubungi gresnews.com pada Jumat (28/10), Dianto Bachriadi menyebut bahwa dirinya sudah meminta dinonaktifkan dari Komnas HAM jauh-jauh hari sebelum rapat paripurna Komnas HAM digelar pada September lalu. Alasannya adalah faktor kesehatan.

"Saya sejak bulan April hingga Agustus berulang kali keluar masuk rumah sakit untuk opname dan operasi," kata Dianto. "Jadi non aktif saya itu tidak seheboh berita media belakangan ini," sambungnya.

Namun Dianto mengakui, bahwa di balik dinonaktifkannya dirinya dari Komnas HAM ada pula upaya untuk mendongkel dirinya dari lembaga pelindung korban pelanggaran HAM itu. Menurutnya, upaya mendongkel posisinya gencar dilakukan sejak ia menghadiri dan memberikan dukungan kepada International People´s Tribuna (IPT) ´65 di  Den Haaag November 2015 yang lalu.

Menurut Dianto, keberangkatannya ke acara tersebut telah menimbulkan polemik internal di Komnas HAM. Alasannya, pada sidang paripurna Komnas HAM di bulan November 2015 diputuskan bahwa Komnas HAM tidak akan memenuhi undangan untuk hadir di IPT ´65. Lantaran itulah secara resmi Komnas HAM melarang komisioner untuk datang ke acara tersebut. "Atas keputusan itu, saya menyatakan dissenting (beda pendapat) dan salah satu bentuk dissenting itu adalah saya pergi menghadiri IPT ´65 dengan biaya sendiri," kata Dianto.

Saat ia kembali dari IPT ‘65 itu "prahara" dimulai. Menurutnya, ada upaya membentuk Dewan Kehormatan Komnas HAM pada sidang paripurna bulan Desember 2015. "Dewan Kehormatan itu dibentuk atas tindakan saya menghadiri kegiatan itu. Sejak kepulangan dari Den Haag saya merasa ada upaya-upaya untuk mengkapitalisasi hal-hal yang dianggap sebagai "kesalahan" saya," bebernya.

"Jadi saya merasa ada upaya dengan motif-motif politis yang kuat untuk menyingkirkan saya," sambungnya.

Disinggung soal adanya dugaan penyelewengan uang negara terkait sewa rumah dinas, Dianto mewanti-wanti agar penggunaan istilah ´penyelewengan dana rumah dinas´ tersebut dipertimbangkan betul. "BPK juga tidak menggunakan istilah tersebut. Sebaiknya rujuk langsung laporan BPK," katanya.

Namun demikian, Dianto tidak menyangkal bahwa dirinya menyewa sebuah rumah di kawasan Perumahan Griya Mitra Insani 2, Bekasi. Rumah itu diakuinya ada dan disewa oleh Komnas HAM, tetapi sejak 2014 tidak ditinggalinya karena beberapa alasan, salah satunya karena terlalu jauh.

Saat masih aktif sebagai komisioner Komnas HAM, Dianto  menyebut lebih banyak berkegiatan di Jakarta. Alasannya menyewa rumah dinas di Bekasi lantaran buruknya sistem pengadaan rumah dinas di Komnas HAM. Ia berpendapat, sewa rumah untuk komisioner itu mestinya diurus oleh staf Komnas HAM. Sebagai komisioner, ia berharap dirinya tinggal terima jadi, tanpa harus mencari rumah dinas sendiri. Namun Komnas HAM memiliki aturan lain. "Mereka meminta saya untuk mencari rumah sendiri dengan alasan anggaran harus dikeluarkan," kata Dianto.

Dengan pengetahuan yang terbatas soal kondisi perumahan di Jakarta, Dianto kemudian menghubungkan staf Komnas HAM dengan pihak pengelola rumah untuk sewa rumah dinas tadi. Namun menurutnya, BPK menjadikan soal pemakaian anggaran untuk sewa rumah dinas tersebut sebagai temuan pada tahun anggaran 2015. Sementara pada tahun 2013 dan 2014 hal itu tidak dianggap temuan BPK.

Setelah ada temuan itu, BPK merekomendasikan tiga hal, yakni perbaikan sistem pengadaan rumah dinas di Komnas HAM. Lalu Ketua Komnas HAM memberikan teguran kepada Dianto, dan ketiga Dianto diperintahkan untuk mengembalikan kerugian negara sebesar 330 juta (jumlah keseluruhan biaya sewa rumah dinas sejak awal).

"Dengan segera rekomendasi BPK itu dijalankan seluruhnya, termasuk pengembalian uang. Jadi menurut ketentuan perundang-undangan pengelolaan keuangan negara, hal itu bisa dinyatakan sudah selesai," ujarnya.

Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat juga mengaku bahwa persoalan Dianto sebetulnya telah selesai. Namun demikian, menurutnya ada kesalahan dalam cara pandang Dianto menyikapi penggunaan anggaran sewa rumah dinas. "Jadi ada kesalahan pemahaman bahwa karena anggaran ini untuk saya, jadi saya berhak untuk menggunakannya demi kepentingan saya," kata Imdadun.

Sewa rumah dinas fiktif Dianto menjadi perbincangan lantaran rumah di Kota Bekasi itu tidak pernah ditempatinya. Namun demikian, pihak Komnas HAM  rutin membayar uang sewa rumah dinas tersebut dengan total sewa sebesar Rp330 juta rupiah. Dalam penelusuran BPK, diketahui bahwa uang yang dibayarkan Komnas HAM kepada pengelola rumah itu hanya transit di rekening pengelola rumah. Sang pengelola, yang disinyalir teman Dianto, rutin pula mentransfer kembali uang itu ke rekening bank milik Dianto tiap kali kiriman uang dari Komnas HAM itu sampai di rekeningnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: