JAKARTA, GRESNEWS.COM – Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Pernikahan) dinilai merugikan hak-hak perempuan. Undang-undang ini memperbolehkan perempuan menikah dengan syarat minimal usia 16 tahun, sementara sarat untuk pria sudah mencapai umur 19 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1).
 
Akibat ketentuan pasal tersebut, hak konstiusional perempuan menjadi terancam. Diantaranya, akses untuk mendapatkan pendidikan lebih minim dibandingkan kaum pria. Akibatnya tingkat pendidikan yang bisa dicapai perempuan hanya setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan pria mempunyai kesempatan kejenjang lebih tinggi. Dampaknya, perempuan berpotensi masuk dalam ´jurang´ kemiskinan lantaran tidak memiliki akses yang luas terhadap pendidikan.
 
"Buktinya, angka putus sekolah anak perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki," tutur pemerhati masalah perempuan, Misiyah saat menyampaikan keterangannya dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan dengan agenda ´Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon´ di gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (30/10).
 
Karena itu Misiyah meminta MK untuk mengubah ketentuan usia perkawinan yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) itu menjadi lebih tinggi. Pasal yang dipersoalakan ini diajukan oleh dua pemohon berbeda. Perkara nomor 74/PUU-XII/2014 dimohonkan oleh Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari SA Baniah,  sedangkan perkara nomor 30/PUU-XII/2014 dimohonkan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Mereka mempersoalkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi ´Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun´.
 
Menurut Kuasa hukum YKP Rita Serena Kolibonso ketentuan frasa ´16 tahun´ bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 28A, 28B ayat 1 dan 2, pasal 28C ayat 1, pasal 28D ayat 1, pasal 28G, 28 H ayat 1, 2, dan 3, serta pasal 28I ayat 1 dan 2.
 
Selain itu, berbenturan juga dengan 19 peraturan perundang-undangan nasional, baik dalam bentuk undang-undang, keputusan menteri, peraturan pemerintah, hingga putusan Presiden Republik Indonesia. Secara umum peraturan-peraturan ini menyatakan bahwa anak disebutkan telah dewasa apabila telah berusia di atas 18 tahun.
 
Menurut Rita, Pasal 7 ayat 1 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 26 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sampai usia 18 (delapan belas) tahun; Bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mengatur bahwa usia anak sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
 
Bertentangan juga dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pengaturan wajib belajar anak selama 12 (dua belas) tahun; dan bertentangan dengan Pasal 131 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal ini menyebutkan ´Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun´.
 
"Pelanggaran atas hak anak tidak hanya didasarkan pada pengabaian hak tumbuh dan kembang anak dalam hal gizi dan sejenisnya namun juga meliputi praktik perkawinan sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan," jelasnya.
 
Menyikapi bentuk ketimpangan dan diskriminasi tersebut, mereka meminta usia minimum untuk menikah harus ditinjau untuk memastikan setiap undang-undang atau peraturan tersebut tidak bersifat membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dan agama dengan menaikkan batas usia minimum menjadi 18 tahun.
 
 

BACA JUGA: