JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengajuan permohonan keberatan pajak oleh Bank Central Asia (BCA) yang menyeret mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo hingga kini masih belum jelas kelanjutannya. Beredar kabar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyembunyikan pemeriksaan saksi untuk kasus tersebut dari jadwal yang biasanya terpampang di ruang media.

KPK melakukan itu untuk menjaga saham BCA agar tidak menurun. Karena, jika kasus ini terus mengemuka, dikhawatirkan nama baik Bank swasta terbesar di Indonesia itu tercemar, dan hal ini juga berimbas terhadap kestabilan saham BCA.

Namun, rumor itu langsung ditepis oleh KPK. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan pihaknya tidak pernah menyembunyikan apapun selama hal itu memang pantas diketahui publik. Apalagi, menyangkut jadwal pemeriksaan yang memang rutin terpampang setiap harinya.

"Saya belum tahu belum ada atau memang ada (yang diperiksa), tapi kayaknya enggak mungkinlah (menyembunyikan nama saksi), kami bikin seperti itu enggak mungkin," kata Bambang, Rabu (26/11).

Mengenai tujuan penyembunyian nama saksi itu agar menjaga kestabilan saham, Bambang juga menampiknya. Menurut pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) itu, KPK sama sekali tidak berurusan dengan imbas yang dilakukan pihak swasta akibat perilakunya terkait kasus korupsi.

Bambang memaparkan, jika memang kasus ini berimbas kepada BCA, itu merupakan resiko yang harus ditanggung. Dan hal ini juga menjadi pembelajaran bagi pihak lain agar tidak mencoba memberikan suap kepada penyelenggara negara. Jika memang ada permintaan yang berujung pemerasan, mereka juga diminta melaporkan hal itu kepada KPK.

Ia menegaskan, KPK tidak akan menjual reputasi yang selama ini dibangun kepada pihak lain termasuk BCA. "Enggak adalah, itu yang saya bilang resiko perusahaan kalau mau ini, kalian enggak bisa main-main lagi dan kami juga enggak mau kayak gitu begituan. Terus gara-gara itu menjual reputasi kita kan gila, enggak lah," tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua KPK lainnya Busyro Muqoddas. Menurut Busyro, KPK bukan lembaga rendahan yang menjual integritas dan reputasi kepada pihak swasta termasuk BCA. Apalagi, selama ini lembaga antirasuah tersebut sangat dipercaya masyarakat untuk memberantas korupsi.

"Setahu saya enggak ada tuh (yang disembunyikan). Terlalu rendah kalau KPK dituduh seperti itu. BCA itu swasta, terus menembak KPK, apa kepentingannya?" cetusnya.

Busyro menyatakan, jika selama ini kasus BCA terkesan jalan ditempat karena penyidik masih perlu pemahaman dan perluasan dari keterangan saksi sebelumnya. Kemudian, dari situ, penyidik akan mengaitkan keterangan tersebut guna menyelidiki saksi lainnya termasuk membuka peluang menahan Hadi Purnomo.

KPK terakhir kali memeriksa saksi perkara Hadi, pada 9 September 2014. Ketika itu, penyidik memanggil tiga orang pegawai Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan Ridwan, Dwi Sugeng Riyatna dan Peter Umar untuk dimintai keterangan. Namun tidak ada penjelasan apa kaitan tiga orang itu dalam kasus tersebut.

Menurut informasi yang beredar, Itjen Kemenkeu telah menemukan dugaan penyelewengan yang dilakukan Hadi terlebih dahulu. Patut diduga, KPK menggali keterangan dari ketiganya terkait sejauh mana keterlibatan Hadi dalam kasus ini.

KPK secara resmi menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT Bank Centra Asia (BCA) tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-67 pada tanggal 21 April silam. Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.

Hadi Purnomo disangkakan melanggar pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang dapat berakibat kerugian negara hingga Rp375 miliar.

Kasus ini berawal ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar 17 Juli 2003 kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan). Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7 triliun. Kemudian setelah surat itu diterima PPh, maka dilakukan pengkajian lebih dalam untuk bisa mengambil kesimpulan.

Setelah melakukan kajian selama hampir setahun, pada 13 Maret 2004 Direktorat PPh menerbitkan surat yang berisi hasil telaah mereka atas keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA. Surat tersebut berisi kesimpulan PPh bahwa pengajuan keberatan pajak BCA harus ditolak.

Namun, pada 18 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan. Melalui nota dinas tertanggal 18 Juli 2004, kata Abraham, Hadi diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima seluruhnya.

Pada hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan surat keputusan ketetapan wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh keberatan BCA selaku wajib pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi Direktorat PPh untuk memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.

Hadi diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak. Namun, pengajuan yang diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama.

BACA JUGA: