JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah berencana kembali memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah hingga lima tahun ke depan. Usulan itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM, Luhut Binsar Pandjaitan karena alasan perusahaan tambang membutuhkan sumber dana untuk menyelesaikan pabrik pemurnian mineral (smelter).  Namun rencana tersebut menuai kritik sejumlah pihak, pemerintah dituding telah diintervensi perusahaan tambang untuk memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah tersebut.

Luhut mengatakan, masih mempertimbangkan relaksasi yang akan diberikan untuk perusahaan tambang penghasil konsentrat, seperti PT Freeport Indonesia. Namun pemberian kelonggaran ini ada kompensasinya bagi perusahaan yang melakukan  ekspor konsentrat. Salah satu pilihannya Freeport dan perusahaan tambang lainnya disyaratkan membayar bea keluar (BK). Ditegaskan Luhut, bahwa perkembangan pembangunan smelternya harus terus meningkat, bila tidak maka bea keluar (BK) akan terus dinaikkan.

"Pilihan kita naikkan BK-nya, namun Freeport dan perusahaan tambang lainnya, harus miliki target smelter, jadi kita tidak ada ditekan dengan pihak manapun," kata Luhut di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (12/10).

Luhut mengatakan tarif BK akan dinaikkan secara progresif, sesuai dengan persentase perkembangan pembangunan smelter. Bila semakin dinaikkan, maka akan membuat perusahaan tambang tersebut rugi.

"Jadi kalau tahun ini belum melakukan pembangun smelter, maka tahun depan akan kita tingkatkan lagi, kalau tidak perusahaan tambang tersebut akan rugi sendiri," jelasnya.

Dia menambahkan, jika tidak ada perkembangan dalam pembangunan smelter. Pihaknya menyatakan akan mencabut Izin Usaha Pertambangan  (IUP) yang telah diberikan.

"Kita akan lakukan pengawasan secara ketat dan jika mereka janji setahun progresnya 30 persen, maka kita akan cek benar tidak dilaksanakan 30 persen, maka nanti kita akan cek satu persatu," tegasnya.

DUKUNG RELAKSASI - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono mengatakan, langkah relaksasi ekspor konsentrat  hasil tambang dan mineral akan selesai pada Januari 2017. Relaksasi akan diperpanjang hingga 2021  melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang kini masuk tahap finalisasi.

Arief menilai langkah ini patut didukung untuk bisa membantu keuangan perusahaan tambang dan mineral yang sedang membangun pabrik pemurnian atau smelter yang memerlukan biaya yang tidak murah. Hal ini karena banyak perusahaan tambang dan mineral belum rampung  membangun smelternya hingga 2017.

"Jika tidak ada perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat hingga tahun 2021,  bisa jadi mereka akan mengalami kesulitan modal kerja karena tidak bisa melakukan ekspor konsentrat sementara progres pembangunan smelter masih berjalan," kata Arief kepada gresnews.com, Rabu (12/10).

Namun ia menyarankan besaran bea keluar (BK) ekspor konsentrat harus dibedakan. Antara perusahaan tambang yang sedang membangun smelter, dengan perusahaan yang belum ada progres atau belum sama sekali membangun smelter.

Selain itu juga dipertimbangkan konsentrat yang dihasilkan dari penambangan yang tidak bisa dikelola oleh teknologi smelter di Indonesia sebaiknya diberikan kebebasan eksport konsentrat hingga dapat diproses di Indonesia. Seperti konsentrat tambang nikel yang memiliki kadar nikel 1.8 persen, itu dapat langsung  diekspor dalam bentuk konsentrat.

Menurutnya, relaksasi ekspor konsentrat diperpanjangan hingga 2021 karena banyak smelter yang belum siap. Hal ini juga bisa menghindari terjadinya PHK buruh besar besaran yang terjadi di sektor pertambangan, daerah juga bisa tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi domestiknya. "Karena jika tidak ada relaksasi akan ada ancaman ledakan pengangguran," ujarnya.

Selain itu jika tidak ada perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat, akan berdampak pada semakin tingginya kredit macet disektor perbankan. Sebab banyak alat alat pertambangan milik kontraktor pertambangan yang berhenti beroperasi, karena tidak ada yang bisa ditambang. Padahal pembiayaan alat-alat pertambangan berasal dari pembiayaan perbankan dalam negeri.

Tak hanya itu, perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat tambang dan mineral juga akan berdampak pada peningkatan kapitalisasi BUMN tambang yang melantai di pasar modal.

Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu bahkan sangat mendukung langkah pemerintah Joko Widodo untuk memperpanjang izin  ekspor konsentrat. Sebab hal itu akan berdampak pada peningkatan dan penerimaan devisa negara. Kemudian juga memperkuat kapitalisasi  BUMN pertambangan untuk mencari daerah eksploitasi tambang baru, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu  proses pembentukan holding BUMN harus dipercepat, apalagi bersamaan  dengan  program repatriasi modal dari luar negeri yang menggunakan fasilitas Tax Amnesty yang memerlukan penempatan dana untuk investasi.

"BUMN pertambangan akan menjadi sasaran penempatan dana  investasi yang seksi bagi pemilik dana yang akan merepatriasi dananya ke Indonesia. Tetapi pemerintah harus bersikap adil dan transparan dalam pemberian kelonggaran izin ekspor konsentrat," ungkapnya.

LUHUT TIDAK PUNYA KEWENANGAN - Sementara menurut pengamat ekonomi dan energi Universitas Gajah Madah (UGM) Fahmi Radh, Luhut sebagai  Plt Menteri ESDM  sesungguhnya tidak punya kewenangan untuk memutuskan keputusan strategis, termasuk soal relaksasi ekspor konsentrat.

"Kalau dipaksakan, keputusan itu termasuk tidak syah dan batal demi hukum," kata Fahmi kepada gresnews.com, Rabu (12/10).

Menurutnya pemberlakuan UU Minerba No. 4/2009,  sebenarnya telah diberikan tenggang waktu lima tahun,  sebelum pelarangan ekspor konsentrat tanpa diolah smelter dalam negeri diberlakukan. Tenggang  waktu lima tahun itu diberikan untuk membangun smelter.

Namun,  perusahaan tambang terutama Freeport dan  Newmont tidak mau membangun smelter. Sekarang mereka justru mendesak pemerintah untuk melonggarkan ekspor konsentrat. "Saya yakin 5 tahun ke depan mereka tidak akan pernah membangun smelter," ujarnya.

Ia menduga keengganan mereka membangun smelter bukan karena mereka tidak memiliki dana.  "Tetapi karena mereka lebih untung ekspor konsentrat, tanpa bisa dikontrol pemerintah," beber Fahmi.

Menurutnya, keputusun pelonggaran ekspor konsentrat menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada Freeport dan Newmont ketimbang kepada kemakmuran rakyat "Kelonggaran ekspor konsentrat merugikan negara, juga nilai tambah rendah," tegasnya.

Sebagai informasi, peraturan bea keluar yang sebelumnya tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK/0.11/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan tarif Bea keluar. Disebutkan bila kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter yakni 0-7,5 persen, maka bea keluar yang dibayarkan sebesar 7,5 persen.

Sementara, jika realisasi progres smelter hanya 7,5-30 persen, maka bea keluar sebesar 5 persen. Sedang jika progres pembangunan lebih dari 30 persen, maka bea keluar yang dibayarkan 0 persen.

Namun relaksasi ekspor mineral dan kewajiban membangun smelter ini tidak dikenakan bagi perusahaan tambang skala kecil. Perusahaan tambang skala kecil dapat menyalurkan hasil produksi mereka ke smelter -smelter milik perusahaan besar.

BACA JUGA: