JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah dalil-dalil yang diajukan pemohon Siti Fadilah Supari dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/10). Salah satu yang dibantah KPK adalah dalil penetapan tersangka terhadap Siti Fadilah yang dinilai pemohon dilakukan dua kali oleh KPK dalam perkara yang sama.

Kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Indah Oktianti Sutomo saat membacakan jawabannya menuturkan, penetapan tersangka hanya sekali dilakukan KPK. Karena spindik Nomor : Sprin.Dik-12A/01/05/2015 tanggal 15 Mei 2015 menurut KPK bukanlah penetapan tersangka yang kedua, tapi sprindik itu hanya menambahkan nama-nama penyidik yang membantu penyidik sebelumnya.

"Dalil pemohon yang menyatakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka sebanyak dua kali didasarkan sprindik adalah dalil yang menyesatkan," kata Indah Oktianti Sutomo di PN Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

KPK mengeluarkan dua sprindik terkait kasus Siti Fadilah. Sprindik pertama diterbitkan pada November 2014 melalui Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-50/01/11/2014. Lalu pada tanggal 15 Mei KPK menerbitkan kembali sprindik Nomor Sprin.Dik-12A/01/05/2015.

Tidak terima ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK kamudian Siti Fadilah mendaftarkan gugatan praperadilan pada 9 September 2016 dengan Nomor 121/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel. Siti Fadilah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) I untuk Pusat Penanggulangan Krisis Sekretariat Jenderal Depertemen Kesehatan dari Dana Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) revisi APBN (TA) 2007 yang sebelumnya sudah ada putusan Rustam Syarifuddin Pakaya di 2012.

Selain itu, Indah Oktianti juga menegaskan bahwa penetapan tersangka Siti Fadilah telah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Indah, KPK telah memenuhi dua bukti permulaan untuk menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka.

"Sudah jelas bahwa permohonan pemohon praperadilan mengenai penetapan tersangka yang tidak sah adalah tak benar dan tidak berdasar sehingga permohonan sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima," kata Indah Oktianti.

Ada pun Pasal 44 UU KPK berbunyi :

1. Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

Dalam jawaban KPK, mengacu kepada putusan Rustam Syarifuddin Pakaya bahwa Siti Fadilah sebagai orang yang turut menerima Mandiri Traveller´s Cheque (MTC) senilai Rp1.375.000.000. Bahkan menurut putusan hakim Nomor 42/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst perkara Rustam Pakaya nomor 8 huruf a memerintahkan menyita barang bergerak uang dari saksi Siti Fadilah sejumlah Rp1.375.000.000 untuk dikembalikan ke kas negara.

Selain itu KPK telah memeriksa beberapa saksi dalam penyelidikan perkara Siti Fadilah. Ada pun yang pernah diperiksa adalah Masrizal Achmad Syarif, Priyadi, Jefri Nedi, Tjondroargotandio dan Sri Wahyuningsih alias Cici Tegal. Dan KPK telah memperoleh barang bukti sebagaimana dalam Berita Acara Penyitaan (BAP) tanggal 21Mei 2015. Dengan alasan itu, KPK mengklaim telah memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka.

MENOLAK BUKTI KPK - Kuasa hukum Siti Fadilah Achmad Cholidin masih meyakini bahwa kliennya ditetapkan sebagai tersangka dia kali oleh KPK. Dasar dua sprindik yang dikeluarkan KPL menurutnya adalah alasan penetapan tersangka.

"Itu kan persepsi termohon. Nanti kita akan buktikan sprindik itu apa. Apa kaitan sprindik dengan penetapan tersangka," ujar Cholidin usai persidangan di PN Jakarta Selatan.

Cholidin mempersoalkan pengenaan Pasal junto Pasal 5 yang dipakai KPK menjerat Siti Fadilah. Unsur bersama-sama atau turut serta itu tidak ada didalam dakwaan JPU KPK. Dengan begitu bagaimana Siti kemudian dijerat dengan pasal itu.

"Dalam dakwaan Jaksa Penuntu Umum (JPU) perkara Rustam Pakaya tidak dalam Pasal 5 tidak menyebutkan Ibu Siti Fadilah menerima dari Rustam Pakaya," ujar Cholidin.

Baik Rustam Pakaya maupun Siti Fadilah tak pernah mengakui adanya aliran dana MTC ke Siti Fadilah.  "Adanya aliran dana ke Siti Fadilah bukan dari Rustam Pakaya begitu juga keterangan dari Siti Fadilah," terangnya.

Cholidin berpendapat bahwa penetapan tersangka berdasarkan fakta persidangan Rustam Pakaya tak kuat. Karena menurutnya gratifikasi itu biasanya diakui oleh pihak menyerahkan, namun pihak yang menyerahkan Rustam Syarifuddin Pakaya pun tidak mengakuinya.

Sesuai keterangan Jefri Nedi selaku saksi dalam perkara Rustam Pakaya memang Siti Fadilah menginvestasikan uangnya ke Jefri Nedi untuk diinvestasikan. "Apakah MTC yang diserahkan kepada Jefri Nedi itu didapatkan dari orang lain itu yang harus dibuktikan," ungkapnya.

Dengan begitu, Cholidin menganggap penetapan tersangka oleh KPK terhadap kliennya tidak memiliki dua bukti permulaan yang cukup. Dia juga menyangsikan bukti fakta persidangan dalam sidang Rustam Pakaya dapat dijadikan sebagai alasan bagi KPK untuk menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka.

"Jadi tidak ada dua bukti permulaan yang kuat. Jefri Nedi itu dari siapa? Siti Fadilah dan adiknya Rodiah tidak pernah melihat MTC itu. Nanti saya akan buktikan di pengadilan apakah putusan pengadilan boleh dijadikan alasan untuk menetapkan sebagai tersangka," kata Cholidin.

Siti Fadilah Supari kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

BACA JUGA: