JAKARTA, GRESNEWS.COM - Selesai sudah masa pendaftaran usulan seleksi Calon Hakim Agung (CHA). Dengan perpanjangan waktu selama kurang lebih satu minggu—dibuka pada Rabu (8/3) dan sedianya berakhir pada (29/3) lalu—hari ini, Jumat (7/4) Komisi Yudisial (KY) telah menerima 88 orang yang diusulkan untuk mengikuti seleksi CHA. Komposisinya, 49 orang berasal dari jalur karier, sedang 39 orang berasal dari jalur nonkarier.

"Namun hanya delapan orang peserta perempuan. Berdasarkan jenis kamar yang dipilih dari 88 orang sebanyak 22 orang memilih kamar agama, 24 orang memilih kamar pidana, 32 orang memilih kamar perdata, 7 orang memilih kamar Tata Usaha Negara, dan 3 orang memilih kamar militer," demikian bunyi keterangan yang diterima gresnews.com, Jumat (7/4).

Sedang dilihat dari tingkat pendidikan, hanya 1 orang calon yang bergelar sarjana (S1). 31 orang bergelar master (S2) dan sisanya, sebanyak 56 orang bergelar doktor (S3). Adapun dari aspek profesi, 51 orang CHA yang diusulkan merupakan hakim, 21 orang akademisi,  1 orang notaris, 6 orang pengacara, dan 9 orang berasal dari profesi lain.

Namun demikian, jumlah 88 orang tersebut kemungkinan bukan jumlah final. Dengan asumsi bahwa berkas yang dilayangkan via pos masih bisa diterima selambat-lambatnya pada Selasa (11/4), Juru Bicara KY Farid Wajdi menyebut jumlah tersebut masih akan terus bertambah. "Hitungan saya sampai nanti hari Selasa, kayaknya bakal ada sekitar 90 peserta," kata Farid kepada gresnews.com, Jumat (7/4).

Disinggung berapa jumlah peserta usulan seleksi CHA yang ditargetkan KY, Farid menerangkan bahwa KY berpedoman pada jumlah peserta tahun lalu. "Bahasanya bukan target. Hanya saja, kalau belajar dari seleksi 2016, itu kan ada 90-an, jadi setidaknya tidak terlalu jauh dari angka itu," katanya.

Sebelumnya, Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, dibanding tahun lalu, jumlah peserta seleksi CHA memang mengalami penurunan. Namun demikian, hal tidak perlu disikapi pesimis. Menurut Jaja, ada persepsi tidak tepat di masyarakat ketika menilai bahwa tingginya angka peserta calon seleksi berbanding lurus dengan kualitas peserta itu sendiri.

Menurut Jaja, semakin sedikit jumlah peserta, justru proses seleksi akan lebih efektif. Terlebih jika para peserta yang jumlahnya sedikit itu punya kapasitas mumpuni dan visi yang jelas soal hakim agung.

"Efesiensi dan tingkat kompetensinya juga lebih terukur. Tentu, itu lebih bagus ketimbang kita menyeleksi banyak orang tapi niatnya adalah mencari pekerjaan," kata Jaja, Kamis (6/4).

Hanya, lepas dari pernyataan Jaja di atas, disinggung soal persoalan kualitas CHA yang mengikuti seleksi tahun ini, Farid Wajdi menyebut hal tersebut masih belum bisa diidentifikasi. Alasannya, hingga saat ini seluruh berkas yang masuk masih ada pada panitia seleksi bidang administrasi.

"Soal kualitas belum ketebak. Karena kita juga gak tahu siapa saja nama yang masuk. Lagipula, nama-nama yang ada saat ini juga belum tentu lolos seleksi administrasi," kata Farid.

Diketahui, setelah masa penerimaan usulan CHA ini ditutup, KY akan melakukan seleksi adminstrasi. Seleksi administrasi ini dilakukan dengan cara meneliti berkas kelengkapan CHA sesuai dengan persyaratan administratif.

Terakhir, Farid menyebut KY kemungkinan bakal mengumumkan nama-nama yang lolos seleksi administrasi itu minggu depan. Kepada publik, khususnya media, Farid berpesan agar proses seleksi ini turut dipantau hingga selesai.

"Kembali pada soal kualitas tadi, itu harus dipantau media. Kalau tidak, (nama-nama yang lolos-red) bisa jadi tidak lebih baik. Dengan dipantau media KY merasa banyak yang mengawasi," pungkasnya.

Seleksi CHA kali ini dilakukan guna mengisi kekosongan enam jabatan hakim di Mahkamah Agung (MA). Rinciannya: 1 orang hakim agung kamar pidana, 2 orang hakim agung kamar perdata, 1 orang hakim agung kamar agama, 1 orang hakim agung kamar militer (berasal dari militer), dan 1 orang hakim agung kamar tata usaha negara (yang memiliki keahlian hukum perpajakan).
PERTIMBANGAN DPR - Hal yang kerap disayangkan publik terkait seleksi calon hakim agung adalah beda pandangan antara KY dan DPR. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, setelah KY selesai melakukan seleksi, nama-nama yang lolos diserahkan ke DPR ternyata tidak seluruhnya disetujui DPR. Hal inilah yang kemudian membuat seleksi ketat yang sudah dilakukan KY terkesan sia-sia.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin menerangkan setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan DPR bisa menolak atau tidak menyetujui nama CHA yang diusulkan KY.

"Pertimbangannya, pertama, komposisi hakim yang dikirim pansel dan yang dibutuhkan MA tidak pas. Kita konsultasi dengan MA, cek, menanyakan jumlah hakim yang dibutuhkan kamar agama berapa, kamar militer berapa, dan sebagainya. Saat kita tahu bahwa komposisinya tidak pas, kita bisa tolak (usulan pansel-red)," kata Aziz, Kamis (6/4).

Kedua, Aziz menyebut komposisi hakim karir dan hakim non-karir juga menjadi salah satu pertimbangan DPR.
Menurutnya, DPR juga kerap menanyakan misalnya, di kamar peradilan umum itu jumlah hakim karir dan hakim non-karir yang lolos seleksi ada berapa.

"Kita hitung. Itu dilakukan untuk chek and balance. Atas dasar itu kita—setelah melakukan konsultasi dengan ketua MA, mendengar pertimbangan para tokoh masyarakat dan para intelektual—kita dapat menyatakan bahwa si calon ini tidak lolos," sambungnya.

Aziz menyebut dua hal di atas sebagai pertimbangan normatif yang membuat DPR bisa menolak usulan KY. Sedang dari sisi substansif, Aziz menyebut DPR juga menemukan adanya ketidaksesuaian (konsistensi) pada diri calon-calon yang diusulkan KY.

"Saat dilakukan fit and proper test, si calon ini tidak menjawab dengan proper," kata Aziz. Aziz mencontohkan, ada calon hakim yang kemudian diketahui oleh DPR telah membuat pertimbangan hukum berbeda-beda saat yang bersangkutan menjadi hakim di pengadilan negeri dan di pengadilan tinggi.

"Jadi ambivalen dia. Pada saat di Pengadilan Negeri pertimbangan hukumnya A, tapi saat dia di Pengadilan Tinggi pertimbangan hukumnya B. Jadi tidak ada konsistensi," tegasnya.

Dalam konteks seperti itulah Aziz menegaskan, mekanisme check and balance menemukan relevansinya. "Pertanyaannya, kok calon hakim begitu bisa lolos di pansel? Itulah gunanya ada pansel dan ada fit and proper test di DPR. Jadi ada check and balance. Jika tidak begitu ya tidak ada gunanya. Ini saling mengisi," katanya.

Di luar persoalan di atas, faktor lain yang membuat calon hakim agung ditolak DPR adalah faktor yang tidak diprediksi. Aziz menyebut hal ini sebagai fenomena ´pecah ban´. Hal yang tidak bisa dihindari siapa pun.

"Kalau dilihat dari penilaian KY, latar belakang pendidikan, dan perilaku, mungkin dia lulus. Tapi karena ‘pecah ban’, ya mau diapain. Saat pecah ban sudah suratan, itu tidak lolos," katanya.

Aziz juga menyebut hal terakhir yang membuat DPR beda jalan dengan KY tak lain karena di dalam prosesi fit and proper test, DPR menemukan ada calon hakim yang menyalahi mekanisme. Salah satunya, calon tersebut bersikap tidak serius dan menganggap mekanisme atau pertanyaan yang disampaikan DPR sebagai senda gurau.

"Kami tidak ada niat membuat ini menjadi senda gurau. Tapi oleh pihak luar malah dianggap senda gurau," katanya.

Mengenai menurunnya jumlah peserta calon seleksi, Aziz menyebut hal demikian merupakan cermin dari pandangan masyarkat terhadap lembaga MA. Aziz mengaku, secara pribadi dirinya sempat bertanya langsung kepada seorang hakim yang dia nilai kredibel—mengapa yang bersangkutan tidak mengikuti seleksi CHA—jawabannya lantaran adanya kisruh di internal MA sendiri.

"Banyak tidaknya peserta seleksi, tergantung pada bungkusan, karakteristik, dan substansi yang ada di MA. Orang bisa senang dengan MA kalau cerminan MA di publik bagus," kata Aziz.

Namun demikian, saat diminta ketegasan bahwa dengan pendapat seperti itu Aziz secara tidak langsung telah menilai MA sebagai lembaga yang buruk, politisi Golkar asal Lampung itu berkilah. "Saya tidak menyebut MA jelek atau buruk," pungkasnya.
SELEKSI BERAT - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradilla Caesar menilai, pola seleski CHA yang dilakukan KY merupakan pola seleksi terbaik di Indonesia, bahkan tergolong salah satu pola seleksi terberat di dunia. Lantaran itulah Aradilla menyatakan, adalah hal wajar jika peserta CHA tahun ini—dengan rujukan jumlah yang disampaikan KY pada Rabu (5/4)—mengalami penurunan ketimbang seleksi di tahun sebelumya.

"Jabatan hakim agung itu berat. Bukan hanya fisik dan pengetahuannya saja yang diuji, mentalnya juga. Dalam setahun, mereka dituntut bisa menuntaskan belasan ribu perkara. Jadi memang harus benar-benar punya kemampuan luar biasa," kata Aradilla, Kamis (6/4).

Pernyataan Aradilla diamini Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha. Sumanatha mengakui bahwa proses seleksi yang dilakukan KY memang menguras tenaga, pikiran, bahkan mental CHA itu sendiri. Terlebih, sebagaimana prosesi seleksi yang sudah-sudah, hal-hal privasi yang melekat dalam diri CHA, bisa sedemikian rupa "ditelanjangi" oleh Pansel.

"Di sana (dalam seleksi-red) akan berusaha diungkap, misalnya, oh anda dulu pernah selingkuh dengan pegawai anda ya? Faktor ini juga yang menurut saya menjadi penyebab mengapa peserta calon hakim agung menjadi berkurang," kata Sumanatha, Kamis (6/4).

Namun demikian, Sumanatha menekankan, pernyataan di atas baru sebatas asumsi, bukan temuan sebuah penelitian. Lantaran itulah Sumanatha menyarankan, kajian mengenai fenomena tersebut mesti dilakukan.

"Seperti halnya pernyataan bahwa peminta CHA sedikit karena bungkusan MA-nya kurang baik, itu juga kan asumsi. Semuanya harus dibuktikan benar-tidaknya lewat penelitian," katanya.

Di luar persoalan beratnya seleksi, Sumanatha juga menyebut bahwa pekerjaan seorang hakim agung tidaklah mudah. Dengan berjubelnya perkara yang masuk, para hakim agung—beserta para panitera pengganti—dipaksa bekerja ekstra di luar jam kerja.

"Kita para hakim agung bekerja tidak hanya pada jam kerja. Untuk minutasi istilahnya, menyelesaikan perkara yang terputus, itu kita kerja lagi di kantor di luar jam kerja. Di luar jam kerja, ada hari-hari tertentu yang kita semua hakim agung bisa kumpul dan panitera penggantinya, kita bekerja bersama-sama di luar jam kantor, di MA, sampai malam. Itu yang kita lakukan," paparnya.

Disinggung apakah minimnya jumlah peserta membuat Sumanatha kecewa, hakim asal Pulau Dewata tersebut memberi jawaban diplomatis. "Kadang-kadang apa yang dihasilkan oleh KY memang tidak disetujui DPR, tapi kita berharap jumlah 6 orang hakim agung yang diinginkan MA terpenuhi. Itu akan membantu kita dalam menyelesaikan perkara di MA," pungkasnya.

BACA JUGA: