JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan kasus Novel Baswedan tampaknya menyimpan "motif" lain di luar urusan menyelamatkan korps lembaga antirasuah itu. Pasalnya di balik upaya penarikan kasus Novel Baswedan, penyidik KPK yang disangka melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan kematian saat Novel menjadi penyidik di lingkungan Polda Bengkulu, tersimpan maksud pimpinan untuk juga "menendang" keluar Novel dari KPK.

Hal itu terlihat dari sikap pimpinan KPK yang mendadak menyatakan kasus Novel telah ditarik dari Pengadilan Negeri Bengkulu oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu yang menyidik kasus ini dan kemudian melimpahkannya ke pengadilan. Hal itu dikatakan Ketua KPK Agus Raharjo dalam konferensi pers yang digelar di kantornya, Rabu (3/2) kemarin.

"Kami ucapkan terima kasih, kemarin Kejaksaan sudah ajukan permintaan untuk sempurnakan dakwaan, surat dakwaan ditarik untuk disempurnakan, kami apresiasi itu," kata Agus.

Anehnya, konferensi pers ini digelar seolah tanpa konfirmasi terhadap pihak Kejaksaan, khususnya Kejaksaan Agung yang telah mengambil alih kasus Novel. Gresnews.com juga telah mengkonfirmasi perihal penarikan kasus Novel itu kepada Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu I Made Sudarmawan baik melalui sambungan telepon, maupun layanan pesan singkat. Tetapi, tidak ada respons dari yang bersangkutan.

Begitupula dengan pimpinan KPK lainnya Laode Muhammad Syarief. Ia tidak menjawab saat dikonfirmasi apakah pihaknya memang melihat sendiri berkas penarikan surat dakwaan kepada Novel Baswedan. Sebab, dari informasi yang beredar, para pimpinan hanya mendapat konfirmasi lisan mengenai penarikan tersebut.

Di sinilah tercium "bau" tak sedap dibalik pernyataan Agus soal penarikan berkas Novel itu. Pasalnya kemudian Wakil Ketua KPK Saut Situmorang malah "menawarkan" jalan bagi Novel untuk keluar dari KPK. Saut mempersilakan penyidik seniornya untuk berpindah ke instansi negara lainnya sebagai tempat mengabdi.

Pada awalnya, para awak media mengira bahwa Novel akan digeser dari divisi penyidikan ke divisi lainnya. Sebab, hal ini memang lazim terjadi di KPK. Contohnya, ada beberapa jaksa senior KPK yang berpindah dari penuntutan ke bagian koordinasi-supervisi ataupun pengawasan internal dan pengaduan masyarakat.

Contohnya, Jaksa Pulung Rinandoro yang "membuat" mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dihukum Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta dipenjara seumur hidup. Kemudian Jaksa Titiek yang menjadi Ketua Satgas sekaligus menangani perkara Fuad Amin Imron.

Tetapi, nasib Novel tampak "kurang beruntung" dibanding rekan-rekannya itu. Karena ia justru ditawarkan untuk pindah ke lembaga yang ada diluar KPK alias hendak "dibuang". Dan hingga kini, belum jelas lembaga mana yang akan menjadi tempat "pembuangan" Novel.

"Dia memiliki keahlian, karakter dan integritas yang kita perlukan dibanyak tempat pada bagian lain dia juga memerlukan pengembangan personalnya," kata Saut kepada gresnews.com saat ditanya apa alasan pihaknya Kamis lalu.

Saut mengaku masih mencari tempat untuk Novel ditempatkan. "Kita lagi cari (penempatan untuk Novel)," ujar Saut.

Rencana pemindahan Novel untuk keluar dari KPK menimbulkan berbagai pertanyaan. Sebab, selama ini ia diketahui sebagai salah satu penyidik yang menangani beberapa kasus besar. Seperti dalam kasus Simulator SIM yang melibatkan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko Susilo dan Wakilnya.

Kemudian, Novel juga salah satu penyidik dalam mengungkap mega proyek Bank Century. Dan saudara kandung Menteri Pendidikan Anies Baswedan ini juga merupakan menjadi pihak yang membongkar kasus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) yang hingga kini penyidikannya belum selesai.

BARTER PERKARA - Ada kabar Novel ditawari jabatan menjadi pimpinan di Badan Usaha Milik Negara sebagai ganti posisinya di KPK. Hal itu dikatakan pengacara Novel, Muji Kartika Rahayu, kepada para wartawan. "Tawaran itu memang ada, disampaikan semua pimpinan kepada NB. Disuruh memilih, BUMN mana saja," kata Muji Kartika, kepada gresnews.com, Minggu (7/2) malam.

Bahkan, menurut dia, Novel dibebaskan oleh pimpinan untuk memilih BUMN yang disukai. Hanya saja, Novel menolak tawaran itu. Disinilah isu barter perkara kasus Novel merebak. Kabarnya pimpinan KPK memang mengupayakan kasus Novel ditarik, namun Novel harus keluar dari KPK sebagai "balas jasa" penarikan itu.

Muji enggan menjelaskan apa konsekuensi yang diterima oleh Novel jika menolak tawaran ini, termasuk apakah kasusnya tetap dilanjutkan hingga di persidangan. Ia hanya berujar bahwa Novel memang berniat mengabdi di KPK untuk membantu lembaga ini memberantas korupsi, bahkan ia pun sampai rela mengundurkan diri dari kepolisian. Karena itu, Novel tak mungkin pergi begitu saja dari KPK. Apalagi hanya demi "barter" perkara.

Pernyataan Muji soal adanya barter perkara ini sendiri dibantah oleh Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP. Dia menegaskan, dalam pertemuan antara Kapolri dan Jaksa Agung soal kasus Novel, tidak ada "kesepakatan" soal menghentikan kasus Novel dengan syarat Novel keluar dari KPK. "Kalau dari pemerintah tidak ada soal itu," kata Johan.

Dengan adanya bantahan itu, kebenaran soal isu "barter" perkara Novel Baswedan inipun kembali menjadi sumir. Hanya saja, jika ini benar terjadi, Novel bukanlah "korban" pertama yang harus terdepak dari KPK terkait konflik lembaga antirasuah ini dengan lembaga lain.

Sebelum Novel, KPK juga pernah "membuang" satu pejabat strukturalnya yaitu Yudi Kristiana. Yudi ditarik oleh Kejaksaan Agung untuk menjadi Kepala bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. Sebuah posisi yang tentunya kurang "bergengsi" bagi jaksa sekaliber Yudi yang telah menangani berbagai kasus korupsi besar.

Penarikan Yudi ini terjadi bersamaan dengan perkara Patrice Rio Capella yang sedang ditanganinya yang disinyalir bisa merembet ke Jaksa Agung Prasetyo. Yudi bahkan dieksaminasi karena dituding melakukan kesalahan dalam proses penuntutan. Dan hingga kini, eksaminasi itu pun belum jelas hasilnya pasca Yudi ditarik Kejaksaan.

Penarikan Yudi ini juga baru pertama kali dalam sejarah KPK, seorang jaksa yang masa pengabdiannya belum selesai tetapi diminta lagi oleh institusi asalnya. Padahal, Yudi sendiri baru saja menandatangani surat perpanjangan pengabdian di KPK hingga dua tahun ke depan.

Sejalan dengan Novel, Yudi juga mempunyai pengalaman dan kredibilitas cukup baik selama mengabdi di KPK. Dialah yang membongkar megakorupsi pengadaan proyek Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang yang menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Yudi juga menjadi pemimpin tim Jaksa dalam penyuapan para Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Kasus ini pun berujung pada dipenjaranya advokat senior Otto Cornelis Kaligis serta mantan Sekjen Partai Nasional Demokrat Rio Capella.

Dari informasi yang diperoleh, Yudi dan Novel selama ini memang menjadi motor baik para jaksa, maupun penyidik KPK. Keduanya pun tidak segan bersilang pendapat dengan pimpinan jika memang merasa benar.

Salah satu contohnya terkait kasus korupsi pajak Bank BCA yang melibatkan Hadi Purnomo. Yudi berkali-kali mengatakan bahwa seharusnya Hadi bisa kembali dijerat KPK seperti yang terjadi pada mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

KEWENANGAN JAKSA AGUNG - Sementara itu, terkait isu penarikan kasus Novel Baswedan,  Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyerahkan sepenuhnya kewenangan tersebut kepada Kejaksaan. "Itu kewenangan Jaksa Agung. Biar Jaksa Agung yang melimpahkan kasus ini," katanya di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (5/2).

Badrodin mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pimpinan KPK dan juga Jaksa Agung. Atas imbauan Presiden, para penegak hukum itu sepakat agar kasus Novel segera diselesaikan.

Jaksa Agung M Prasetyo sendiri mengatakan telah menyiapkan berkas penarikan dakwaan untuk Novel. Kejagung akan menggunakan Pasal 144 KUHAP dalam menarik berkas dakwaan. Pasal tersebut memang mengatur mekanisme pengubahan maupun penarikan surat dakwaan yang sudah diajukan ke pengadilan.

"Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya,"demikian bunyi ayat 1 pasal tersebut.

Saat ini, kata Prasetyo, penarikan berkas dakwaan masih dalam proses. Jaksa Agung menegaskan, penanganan kasus itu kini ditangani langsung olehnya dan tidak lagi oleh Jampidum. "Saya katakan tadi bahwa saya sebagai penuntut umum tertinggi, Jaksa Agung mengambil alih masalah ini, bukan lagi ditangani oleh JPU dan Jampidum tapi oleh Jaksa Agung," tegas Prasetyo. (dtc)

BACA JUGA: