JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik hukuman mati kembali mencuat setelah Presiden Joko Widodo menceritakan pertemuannya dengan Rodrigo "Rody" Roa Duterte saat presiden Filipina itu berkunjung ke Jakarta, 9 September lalu. Bicara soal Mary Jane, Jokowi berkata: "Presiden Duterte saat itu menyampaikan, ´Silakan kalau mau dieksekusi´," yang diungkapkan presiden pada Senin (12/09), usai melaksanakan salat Idul Adha di Serang, Banten.

Namun, pernyataan Duterte seperti yang disampaikan Jokowi itu, dibantah pemerintah Filipina. Juru Bicara Duterte, Ernesto Abella, Senin (12/09) mengungkapkan, "Dia (Duterte) hanya mengatakan: ‘Ikuti proses hukum di Indonesia, Saya tidak akan ikut campur."

Eksekusi mati hingga kini memang masih ditentang sejumlah lembaga. Salah satunya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyatakan sikapnya terkait status eksekusi hukuman mati. "ICJR sangat meragukan efektivitas hukuman mati di Indonesia karena tidak ada efek jera yang signifikan dalam praktik hukuman mati," sebutnya dalam rilis yang diterima gresnews.com, Selasa (20/9).

Dalam konteks Mary Jane, ICJR berpendapat bahwa putusan hukuman mati terhadap Mary Jane merupakan tindakan unfair trial. "Mary hanya paham Bahasa Tagalog. Dalam sidang dia dibantu penerjemah Bahasa Inggris-Indonesia. Dia cuma bisa mengangguk atau menggeleng. Mary seorang buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang dan jaringan narkotika," demikian bunyi keterangan ICJR tersebut.

Tindakan unfair trial juga terjadi pada narapidana lainnya seperti Rodrigo Muxfeldt Gularte, warga Brasil yang dieksekusi pada 29 April 2015 lalu. Dalam catatan ICJR yakni bahwa yang bersangkutan merupakan pengidap skizofrenia paranoid, dan dieksekusi dalam kondisi terganggu mentalnya. Rodrigo juga menjalani sidang tanpa pendampingan hukum yang memadai, tanpa penerjemah efektif.

Persoalan hukuman mati yang dijatuhkan bagi para pelaku kejahatan narkotika memang terus menjadi perdebatan. Status narkotika sebagai Extraordinary Crime dinilai sejumlah pihak tidak layak dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati hanya dijatuhkan bagi pelanggaran dengan status Most Dangerous Crime.

Lepas dari kategorisasi di atas, sejumlah pihak menolak hukuman mati lantaran dianggap bertentangan dengan HAM. "3/4 negara di dunia sudah menghapus hukuman mati," kata Koordinator Reformasi Sistem Peradilan Pidana MAPPI FH UI Anugrah Rizki Akbari, (8/9) lalu.

Menurut Rizki, alasan negara-negara tersebut menghapus hukuman mati selain persoalan HAM lantaran praktek tersebut kerap dijadikan alat politik untuk menaikkan elektabilitas penguasa dengan menumbuhkan kesan bahwa dirinya merupakan sosok yang tegas. Selain itu, praktek hukuman mati juga tidak menjamin menurunnya angka kriminalitas.

"Tidak ada data angka yang menjelaskan bahwa hukuman mati berdampak dalam menurunkan tindakan kejahatan," kata Rizki.

Selanjutnya, sejumlah negara menghapus hukuman mati lantaran sadar bahwa selama ini praktik tersebut dilangsungkan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang tidak ideal, misalnya, sang terpidana tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan yang imbang.

Praktik hukuman mati juga lumrah ditujukan untuk pihak-pihak yang terdiskriminasi. Dan yang paling pokok, sekiranya terbukti ada kesalahan selama proses peradilan, hukuman itu tidak bisa diulang.

Mantan Menteri Kehakiman Muladi menyatakan bahwa meski kerap ditentang, persoalan hukuman mati merupakan persoalan yang sulit dihapuskan sepenuhnya lantaran adanya sikap ambivalensi di tingkat internasional.

"Seperti pengaturan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dan beberapa konferensi regional, itu menolak pidana mati, tapi selalu diikuti pengecualian: namun, namun, namun. Ada sikap double standard di kalangan internasional," kata Muladi.

Sampai saat ini, Indonesia masih termasuk ke dalam 38 negara yang mempertahankan hukuman mati dan mengeksekusinya. ICJR mencatat bahwa jumlah terdakwa divonis hukuman mati pada 2016 adalah 17 dari total 26 tuntutan. Sementara pada tahun sebelumnya, vonis hukuman mati berjumlah 37 dari total 76 tuntutan.

Saat ini RUU KUHP sedang digodok di Komisi III DPR. Anggota Komisi III Dwi Ria Latifa memberi bocoran mengenai perkembangan pembahasan RUU itu. "Dari 10 fraksi, 8 fraksi setuju dengan hukuman mati, 1 fraksi menolak—Partai Demokrat—1 fraksi lagi, PDIP, setuju dengan catatan. Catatan itu antara lain perlu azas kehati-hatian, keluar dari konsep hukuman pokok, kemudian ada hal-hal yang betul-betul dipelajari dan dibuat secara detail untuk sampai pada putusan hukuman mati," kata Ria pada gresnews.com, Selasa (20/9).

"Ada catatan-catatan yang sampai saat ini menjadi pembahasan. Memang kita belum selesai. Buku I sudah selesai, mau masuk ke buku II. Tapi di buku I juga masih ada catatan-catatan yang harus disepahamkan dengan pemerintah," pungkasnya.

HUKUMAN MATI DALAM KONTEKS KEYAKINAN - Selain alasan HAM, faktor lain yang kerap membuat hukuman mati menjadi perdebatan panjang menurut adalah alasan agama atau keyakinan dan pemahaman.

Guru Besar Universitas Paramadina Azyumardi Azra berpendapat bahwa asal-usul hukuman mati erat kaitannya dengan tradisi Biblikal yang berasal dari Timur Tengah. "Menurut saya, kalau dilihat dari perspektif agama, Islam misalnya, hukuman mati ini adalah bagian dari budaya Timur Tengah, istilahnya tradisi Biblikal," katanya, dalam sebuah diskusi di Plaza Indonesia beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, Azra menjelaskan bahwa yang dimaksud tradisi Biblikal mengacu pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, juga pada al-Quran yang berkesinambungan dengan keduanya. "Dalam tradisi Biblikal dan ada dalam al-Quran juga itu adalah one eye for one eye, one tooth for one tooth," katanya.

"Mata dibalas mata lagi. Jadi kalau mata Anda dicongkel orang, congkel lagi matanya. Kalau giginya copot, ditinju, tinju lagi, copot giginya. Itulah yang disebut dalam al-Quran sebagai qisash," papar Azra.

Namun demikian, meski merujuk pada al-Quran, sosok yang dikenal sebagai tokoh Islam liberal ini melihat qisash lebih sebagai entitas budaya ketimbang entitas hukum yang bersifat mutlak. "Saya melihat ini lebih ke culture. Jadi menurut saya ayat qisash ini harus diinterpretasikan, ditafsirkan ulang, sama di Indonesia ini ayat hudud sudah ditafsirkan ulang," katanya.

Hudud adalah hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam pandangan Azra, hukum potong tangan sudah mendapat interpretasi baru di Indonesia. Hukum potong tangan dimaksudkan untuk menghilangkan kemampuan melakukan tindakan kriminal. Dan dalam konteks hukum Indonesia, menjebloskan seorang pencuri ke dalam penjara adalah upaya untuk membuat pencuri tersebut tidak punya kemampuan lagi untuk melakukan pencurian.

Azra pun mengusulkan agar hukuman mati di Indonesia diganti dengan hukuman penjara seumur hidup tanpa remisi. "Hukuman mati itu harus diganti. Kalau dilihat dalam konteks al-Quran, di-replace, diganti dengan hukuman penjara seumur hidup tanpa remisi," katanya.

Azra menjelaskan bahwa usul demikian didasarkan pada pertimbangan agar pihak-pihak yang telah menghilangkan nyawa orang lain dapat membayar kesalahan tersebut tanpa harus kehilangan nyawanya sendiri.

Dan tak jauh berbeda dengan Azra, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Franz Magnis Suseno menyinggung hubungan gereja dengan hukuman mati. "Gereja Katolik sekarang menolak hukuman mati baru sejak 30 tahun ke belakang," kata Romo Magnis.

"Saya waktu kecil masih belajar tentang 3 hal mencabut nyawa orang, (yakni) membela diri, dalam (situasi) perang, dan hukuman mati. Tapi sekarang tidak ada alasan lagi," tambahnya. Jikapun negara masih memaksakan hukuman mati dengan dalih ada landasan hukum dari pihak gereja, Romo Magnis menilai hal tersebut sebagai kekeliruan pihak gereja.

"Negara berhak karena Gereja Katolik sangat susah mengaku bahwa dia dulu keliru atau kurang tahu. Ada suatu poses penyadaran (bahwa) dalam Perjanjian Baru tidak ada apapun tentang hukuman mati, jadi tidak bisa dipakai. Perjanjian Lama banyak," tambahnya.

Ketimbang membicarakan hukuman mati dalam konteks HAM, pakar Etika dan Filsafat tersebut lebih menyoroti persoalan kewajaran sebagai titik pijak penolakannya terhadap hukuman mati. "Secara formil, hukuman mati belum ada di hak azazi manusia, saya kira dari sudut bukan membicarakan hak-hak orang itu—meskipun hal itu sangat benar, saya dukung—tapi dari kewajaran," kata Romo Magnis.

"Hukuman mati kalau salah diberikan gak bisa dikembalikan (karena) orangnya sudah mati," lanjutnya. Ia pun menyebut sebuah kasus di Amerika seabad lalu di mana sekurang-kurangnya dari 20 kasus yang dijatuhi hukuman mati 11 di antaranya terbukti tidak melakukan kesalahan sebagaimana yang dituduhkan.

Kewajaran lain yang menjadi perhatian Romo Magnis adalah sistem hukum di Indonesia yang dianggapnya masih lemah dan busuk, dan karena itu belum layak untuk dapat menjatuhi hukuman mati. (Zulkifli Songyanan) 

BACA JUGA: