JAKARTA, GRESNEWS.COM – Majelis Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai lamban dalam menangani laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh empat anggota Majelis Hakim MK. Keempat hakim MK itu diduga melakukan pelanggaran etik saat memutuskan perkara Nomor 48/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Ikatan Hakim Seluruh Indonesia (IKAHI).

Koordinator Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) Lintar Fauzi yang melaporkan dugaan pelanggaran etik itu mengaku sudah pernah dipanggil oleh Dewan Etik MK perihal pemeriksaan terhadap laporannya tersebut. Dalam kesempatan itu, menurutnya, GMHJ sudah menyerahkan sejumlah bukti-bukti dalam perkara sesuai dengan yang diminta oleh Ketua Dewan Etik MK, Abdul Muktie Fajar.

Sayangnya, hingga kini tak pernah ada tindak lanjut dari Dewan Etik MK atas pemeriksaan itu. Menurut Lintar, landasan hukum GMHJ melapor ke Dewan Etik itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. "Hakim atau panitera dilarang memutuskan atau mengadili perkara yang memiliki keterkaitan dengan orang atau pihak yang sedang berperkara," katanya kepada gresnews.com, Minggu (29/11).

Nyatanya, dari Sembilan hakim yang menangani persidangan uji materi yang diajukan IKAHI itu, tiga diantaranya adalah Hakim konstitusi yang berasal dari Mahkamah Agung yang juga anggota IKAHI. "Dalam laporan kita melampirkan bukti di dalam persidangan dan di luar persidangan," terangnya.

Bukti di dalam persidangan adalah ketika salah satu pihak terkait dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)menyampaikan surat kepada Majelis MK di dalam persidangan atas keberatan keikutsertaan tiga hakim MK yang notabene sebagai anggota IKAHI itu dalam menyidangkan perkara yang diajukan oleh IKAHI. Namun, ketika Ketua MK Arief Hidayat diminta konfirmasi terkait surat keberatan tersebut, justru Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) marah-marah di dalam persidangan.

"Aksi marah-marah Ketua MK itu juga tercantum dalam risalah sidang ke-7 ketika itu. Itu salah satu bukti dari dalam persidangan," kata Lintar.

Padahal, sambung Lintar, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Kehormatan Para Hakim, ada prinsip ketidakberpihakan dalam persidangan. Tetapi sayangnya, MK juga tidak memperhatikan prinsip ketidakberpihakan para hakim yang terjadi dalam proses pemeriksaaan dalam persidangan itu.

Dengan alasan itu, Dewan Etik seharusnya juga melihat ada keberpihakan yang dilakukan oleh sejumlah hakim dalam perkara ini. Selain itu, bukti yang diserahkan di luar sidang yang diserahkan oleh GMHJ adalah kehadiran salah satu hakim MK, Anwar Usman yang menghadiri proses pelantikan Hakim Kepala Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Jawa Timur atas undangan Hakim MA.

"Kita mendapatkan informasi itu, padahal kehadiran Hakim Anwar Usman dilakukan pada saat proses perkara tengah berjalan.

Dan Anwar Usman hadir dalam Pelantikan Kepala PN Kepanjen, Jawa Timur itu atas undangan MA selaku penggugat. Ini kan ada pelanggaran etik juga disini," paparnya.

Lintar menjelaskan, sejak proses persidangan pihaknya sudah mengingatkan Majelis Hakim secara lisan maupun tertulis kepada Ketua Mahkamah ketika itu, namun itu tak digubris oleh Hakim MK. Padahal dalam UU Kehakiman Pasal 17 telah diatur ketika dalam menangani pemeriksaan perkara, Hakim maupun panitera yang memiliki ikatan langsung dengan pemohon mereka harus mengundurkan diri. Dalam Ayat (6) juga telah diatur sanksi baik administrative, pembatalan putusan, maupun sanksi pidana.

"Jadi kami meminta kepada Majelis Dewan Etik MK untuk sesegera mungkin memberikan sanksi kepada keempat hakim yang kita anggap telah melakukan pelanggaran etik dalam menangani perkara Nomor 48/PUU-XIII/2015 tersebut," ucap Lintar menegaskan.

KEMUNGKINAN TERGANJAL - Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Victor Santoso mengatakan, pihaknya meragukan Majelis Dewan Etik MK akan melanjutkan penyelesaian laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan empat orang hakim MK sampai pada tahap persidangan etik Majelis Hakim MK. Keyakinan Victor akan terganjalnya pembentukan Majelis Hakim Etik bukan tanpa alasan, ia mengungkapkan, salah satu syarat dibentuknya Majelis Hakim Etik yang direkomendasikan oleh Majelis Dewan Etik untuk menggelar persidangan pelanggaran etik harus atas persetujuan Ketua Majelis Hakim MK.

Sementara Hakim Arief Hidayat yang menjadi Ketua Majelis Hakim MK sendiri adalah salah satu Majelis Hakim yang dilaporkan oleh pelapor. "Kemungkinan besar proses pembentukan Hakim Etik dari berbagai unsur itu akan terganjal disitu, karena menurut Peraturan Mahkamah Konsitusi, pembentukan Hakim Etik harus ada persetujuan dari Ketua MK, Arief Hidayat yang saat ini sebagai terlapor," kata Victor kepada gresnews.com melalui sambungan seluler, Senin (30/11).

Ia menambahkan, arogansi Ketua MK Arief Hidayat juga pernah terjadi dalam persidangan terkait perkara Nomor 48/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh IKAHI tersebut. Ketika itu, lanjut Victor, salah satu anggota FKHK telah melayangkan surat untuk mengingatkan Ketua Mahkamah Konstitusi terkait dengan peraturan dalam UU Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim dan Panitera tidak diperkenankan menangani perkara jika memiliki keterkaitan dengan yang sedang berperkara.

Namun sayangnya, Arief Hidayat sama sekali tidak menggubris surat peringatan yang disampaikan FKHK atas proses persidangan yang diduga sarat dengan conflict of interest tersebut. "Justru Ketua MK, Pak Arief mengatakan surat kita itu adalah pemikiran sesat teman-teman FKHK. Itu kan menunjukan bahwa Ketua MK itu tidak menunjukan sikap kenegarawanannya, masa surat yang isinya mengingatkan adanya conflict of interest dibilang pemikiran sesat. Itu kan menunjukan arogansi Ketua MK," ucapnya menjelaskan.

Ia pun mengaku sudah menyampaikan perlakuan Ketua MK Arief Hidayat itu kepada Ketua Majelis Dewan Etik MK Abdul Muktie Fajar. Menurut Victor, Muktie Fajar mengamini penilaian dirinya atas sikap arogansi Ketua Mahkamah Konstitusi yang telah menyatakan surat yang mengingatkan yang dilayangkan oleh pihaknya atas adanya potensi timbulnya conflict of interest atas terlibatnya tiga orang hakim yang memiliki keterkaitan dengan perkara yang diajukan oleh organisasinya, yaitu IKAHI.

Vicot mengaku, ketika dirinya bertemu dengan Ketua Dewan Etik MK di lantai 11 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/11) lalu, Abdul Muktie Fajar berjanji akan menindaklanjuti proses pemeriksaan prapersidangan etik yang dilakukan sejumlah hakim MK ini. Menurut Victor, Muktie Fajar berencana memanggil sejumlah pihak terkait yang berperkara ketika itu, yaitu Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), termasuk Hakim MK selaku terlapor.

Ia berharap Mahkamah Dewan Etik dapat mengawal kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh empat orang hakim Mahkamah Konstitusi tersebut. Selain itu, ia juga meminta agar Mahkamah Dewan Etik bisa transparan dan tegas dalam menindak adanya dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sejumlah hakim MK tersebut. "Karena ini penting guna menjaga kewibawaan dan kehormatan Mahkamah Konstitusi," tegasnya.

PELANGGARAN KODE ETIK HAKIM – Laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap empat orang hakim MK berawal ketika Rabu (7/10) lalu MK mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan sejumlah Hakim MA yang tergabung dalam Ikatan Hakim Seluruh Indonesia (IKAHI).

Adapun alasan para Hakim MK lainnya mengabulkan gugatan itu adalah, UU No 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Pasal 14A Ayat (2) dan Ayat (3), UU No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 13A Ayat (2) dan (3), serta UU 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 14A Ayat (2) dan (3) tentang keterlibatan KY dalam tahap proses seleksi perekrutan Hakim di tiga tingkat pengadilan tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 yang kemudian diturunkan dengan UU No 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu Mahkamah juga berpendapat Pasal 24 B UUD 1945 telah mengatur peran dan fungsi KY sebagai pengawas kode etik para hakim. Frasa “wewenang lain” yang dimiliki oleh KY tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain.

Pertimbangan lain menurut Mahkamah adalah, KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ, membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan demikian wewenang perekrutan Hakim di tiga pengadilan itu sepenuhnya menjadi milik Mahkamah Agung (MA) tanpa melibatkan Komisi Yudisial (KY) yang awalnya terlibat dalam proses seleksi hakim yang dilakukan MA.

Dalam putusan tersebut salah satu hakim Mahkamah, I Dewa Gde Palguna menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dengan tujuh Hakim MK lainnya. Gede Palguna berpendapat bahwa terlibatnya KY dalam proses perekrutan Hakim bersama MA sama sekali tidak bertabrakan dengan UUD 1945 Tentang Kemerdekaan serta Kekuasaan Hakim.

Menurut Palguna, frasa “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 tentang peran KY itu tidak dapat menjadi penghalang untuk ikut serta dalam proses perekrutan hakim.

Menurutnya, jika KY ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan MA, hal itu tidak akan mengganggu kemerdekaan dan kekuasaan hakim seperti yang disangkakan.

Berdasarkan putusan tersebut, Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) melaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh empat orang Hakim MK ke Majelis Dewan Etik MK. Keempat Hakim yang dilaporkan ke Dewan Etik atas dugaan pelanggaran etik karena conflict of interest adalah, Hakim Anwar Usman, Hakim Manahan Sitompul, dan Hakim Suhartoyo.

Ketiga hakim tersebut merupakan anggota IKAHI dan dinilai memiliki keterkaitan terhadap pemohon yang mengajukan gugatan judicial review. Selain tiga orang Hakim MK itu, GMHJ juga melaporkan Ketua Majelis MK, Arief Hidayat. Arief dinilai melakukan pelanggaran kode etik karena membiarkan terjadinya conflict of interest yang terjadi selama proses persidangan. (Gresnews.com/ Rifki Arsilan).

BACA JUGA: