JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberadaan Polisi di daerah rawan konflik sering kali justru menjadi pemicu ketegangan. Polisi dinilai kurang bisa berperan sebagai mediator kelompok-kelompok yang berkonflik. sehingga menghadirkan polisi yang menjadi juru damai kelompok berkonflik menjadi tantangan tersendiri bgi kepolisian.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Chris Biantoro mengatakan polisi kerap menjadi pemicu konflik, terutama dalam konflik agraria dan pertambangan.

Menurut dia dalam konflik agraria polisi kerap berhadapan dengan masyarakat. Polisi lebih berpihak kepada pengusaha yang membayarnya ketimbang mencarikan penyelesaian tanpa kekerasan. "Kepolisian melihat masyarakat sebagai bagian dari masalah," kata Chris dalam diskusi bertema Polisi dan Penegakan Hukum di Daerah Konflik, kemarin.

Ketika dalam konflik agraria, polisi tegas kepada masyarakat, namun dalam konflik bernuansa agama polisi ragu dan lembek. Di beberapa daerah konflik terkait kebebasan beragama tiap tahun terus meningkat. Karena itu polisi perlu merespon secara cepat kondisi tersebut.

Chris menilai inisiatif dari internal kepolisian cenderung rendah. Mungkin belum adanya blueprint pedoman untuk mnghadapi isu-isu agraria dan kebebasan beragama.

Ia juga  membeberkan data hasil penelitian mereka bahwa selama tahun 2013 aparat kepolisian paling besar menjadi pelaku tindak kekerasan dalam penanganan konflik dengan besaran mencapai 30 persen. Untuk itu Chris mengimbau seharusnya kepolisian lebih mampu melakukan tindak preventif dan melihat konflik secara lebih mendasar sehingga dapat diselesaikan sampai ke akarnya.

"Harusnya polisi lebih mampu melakukan tindak preventif dan hadir sebagai problem solver," ujarnya.

Sedang Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Adrianus meliala mengatakan penanganan daerah-daerah konflik oleh kepolisian sejatinya mengedepankan upaya-upaya berupa resolusi konflik. Memediasi kelompok agar tak terjadi kekerasan. Itulah harapan peran polisi dalam penyelesaian konflik.

Di daerah rawan konflik yang utama bukan lagi penegakan hukum. Penegakan hukum jalan terakhir, bahkan pilihan itu jika bisa dihindari. Tindakan penegakan hukum yang represif di beberapa daerah rawan konflik justru membuat suasana konflik menjadi makin parah.

"Cara-cara penegakan hukum represif malah memecah masyarakat," jelas Adrianus.

Maka tak heran jika kehadiran polisi di daerah malah menjadi sasaran kebencian masyarakat. Awalnya ingin menjaga ketertiban menjadi ancaman bagi kepolisian. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan ada yang melakukan pembakaran kantor polisi.

Namun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar menegaskan, polisi yang diterjunkan ke daerah konflik diberikan pembekalan khusus. Ia dibekali dengan kemampuan mediasi. Polisi selalu mengedepankan upaya mediasi yang melibatkan masyarakat banyak.

"Langkah penegakan hukum sebagai tindakan paling akhir," kata Boy Rafly.

Menurut Boy, untuk mencapai ketertiban masyarakat seluruhnya polisi tidak bekerja sendirian. Polisi membutuhkan banyak pihak termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk mediasi antar kelompok masyarakat.

BACA JUGA: