JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah berencana melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Lewat revisi ini, pemerintah berharap bisa memperpanjang masa relaksasi pemberian izin ekspor konsentrat bagi semua perusahaan tambang hingga lima tahun ke depan. Revisi diperlukan karena dalam UU Minerba diamanatkan, izin ekspor konsentrat sudah harus diakhiri pada awal 2017 mendatang.

Banyak pihak curiga rencana pemerintah ini hanya akal-akalan demi "memanjakan" Freeport dan Newmont. Kedua perusahan pertambangan asing itu diketahui memang masih saja berkelit dari kewajiban membangun smelter. Terlebih lagi Freeport sudah mengantongi perpanjangan izin ekspor konsentrat hingga Februari 2017 yang diberikan saat Kementerian ESDM dipimpin oleh Arcandra Tahar.

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menentang keras rencana pemerintah yang disampaikan lewat Menteri Koordinator Maritim sekaligus Plt Menteri ESDM Luhut Pandjaitan itu. Marwan mengatakan, seharusnya kebijakan relaksasi justru diperketat dan diiringi sanksi berat.

"Mestinya waktu berlakunya berbeda-beda sesuai jenis mineralnya. Misal, timah sudah tidak boleh ekspor konsentrat. Tembaga paling lama 3 tahun, nikel 1-2 tahun dan sebagainya," kata Marwan kepada gresnews.com, Selasa (13/9).

Dia mengatakan, pemerintah harus melakukan kajian intensif dan berlaku adil, supaya tidak merugikan negara. Pasalnya, banyak pihak menduga, rencana pemerintah ini memang hanya untuk memanjakan Freeport dan Newmont yang hingga kini belum juga membangun fasilitas smelter.

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo DP Irhamna mengatakan, jika kebijakan itu diterapkan maka itu akan melanggar ucapan Presiden Joko Widodo sendiri yang selalu mendengungkan untuk menyetop ekspor barang mentah karena tak memiliki nilai tambah. Dia menambahkan, rezim Jokowi-JK tidak akan ada bedanya dengan rezim-rezim sebelumnya yang masih mengandalkan bahan mentah untuk diekspor sebagai sumber penerimaan negara.

"Seharusnya kebijakan tersebut tidak lagi diterapkan sebab tidak memiliki nilai tambah, terlebih lagi harga komoditas masih anjlok," kata Ariyo kepada gresnews.com, Selasa (13/9).

Hal senada juga disampaikan para pengusaha pemurnian bahan tambang. Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) Sukhyar mengungkapkan, relaksasi yang diberikan pemerintah sudah berjalan 8 tahun. Tetapi situasi di lapangan memang kurang memungkinkan untuk diberlakukannya pelarangan ekspor mineral mentah secara penuh.

"Pertama-tama, harus dilihat bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 itu kan mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan pemurnian empat tahun sejak aturan diundangkan, 11 Januari 2014. Tapi, pada saat itu, belum satu pun yang menyelesaikan, maka pemerintah memberi relaksasi 3 tahun. Sekarang sudah 8 tahun, apa yang terjadi? Freeport, Newmont, dan beberapa IUP juga belum jadi. Apa pun kebijakan yang diambil pemerintah harus sesuai UU, maka perlu revisi UU," kata Sukhyar.

Hanya saja, kata dia, kalau pemerintah kembali memberikan relaksasi, harus dipastikan kali ini perusahaan-perusahaan tambang benar-benar melaksanakan kewajibannya membangun smelter. Kalau kebijakan yang dibuat pemerintah tidak ditaati terus-menerus, negara dipermalukan oleh korporasi.

"Yang menjadi perhatian, jangan sampai nanti diperpanjang lalu (smelter) nggak selesai juga, nanti pemerintah yang dipermalukan. Mau berapa tahun lagi? Harus sesuai UU," tegasnya.

PEMERINTAH DIOLOK KORPORASI - Sukhyar mengatakan, sebenarnya tak semua jenis komoditas mineral membutuhkan relaksasi. Untuk nikel misalnya, sudah banyak smelter yang selesai dibangun, sudah tak perlu relaksasi lagi. Lalu bauksit dan zinc juga sebentar lagi juga sudah siap. Namun ada juga komoditas yang sangat belum siap, misalnya tembaga.

Maka kebijakan relaksasi untuk tiap komoditas mineral harus dibedakan. Untuk smelter-smelter yang sudah siap, tentu tak perlu relaksasi. Untuk yang smelter-nya belum siap, maka perlu relaksasi lebih panjang.

"Diawasi juga jangan sampai nggak jadi smelter-nya. Evaluasi dari Ditjen Minerba, banyak smelter nikel yang sudah selesai. Bauksit, zinc, sudah menuju pemurnian. Masing-masing komoditi punya karakteristik sendiri-sendiri," kata mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM itu.

Sementara itu, Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menambahkan, pemerintah harus berhati-hati bila kembali memperpanjang relaksasi lewat revisi UU Minerba karena bisa merusak iklim investasi. Sudah banyak investor yang berminat membangun smelter di Indonesia, tentu kepercayaan mereka bisa hilang kalau ada relaksasi lagi.

"Awal 2016 ini animo investor sungguh luar biasa. Ada 27 calon investor besar di smelter, itu disampaikan Pak Franky Sibarani (saat masih menjadi Kepala BKPM). Kalau ada relaksasi lagi, ini bisa jadi preseden buruk," ujarnya.

Berdasarkan data AP3I, saat ini sudah ada 27 smelter yang sudah dibangun. Sebagian besar adalah pemegang izin IUI dari BKPM, dan investor banyak dari China. Total nilai investasi kurang lebih US$12 miliar

Dianta perusahaan yang sudah membangun smelter adalah PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (Smelter Nikel) di Pulau Gebe, PT Well Harvest Winning Alumina (Alumina) Ketapang, Karyatama Konawe Utara (Nikel) Konawe Utara dan PT Macika Mineral Industri (Nikel) Konawe Selatan.

Kemudian ada juga PT Bintang Smelter Indonesia (Nikel) Konawe Selatan, PT Kinlin Nickel Industry Indonesia (Nikel) Konawe Selatan, PT Century Metalindo (Nikel) Cikande Banten, PT Bintang Timur Multi Steel (Nikel) Tigaraksa Banten. Selanjutnya, PT Cahaya Modern Metal Industri 1 (Nikel)  Unaha Konawe, PT SULAWESI MINING INVESTMENT Nikel Morowali, dan Krakatau Steel Unit Blast Furnace Besi di Cilegon.

Jonatan mengatakan, meski ada yang sedang menghentikan kegiatannya, namun pada umumnya pembangunannya tetap berjalan karena dana investasi sudah dikeluarkan sejak dimulainya proyek dan mesin-mesin sudah langsung dibeli. Pada umumnya dana investasi 30% dari investor dan 70% kredit bank.

"Jadi alasan investor kehabisan dana sehingga proyek macet itu tak dapat diterima akal sehat. Lalu kreditnya yang sudah dicairkan itu dikemanakan? Apakah investor seperti itu akan ditolong oleh pemerintah? Lalu apakah negara harus diperolok-olokkan di dunia internasional karena ini undang-undang tidak konsisten?" tanyanya.

DALIH PEMERINTAH - Pemerintah sendiri berdalih, revisi UU Minerba dilakukan agar relaksasi bisa diberikan untuk semua pengusaha tambang. Luhut mengatakan, rencana kebijakan pemberian kelonggaran eskpor mineral mentah diklaim sebagai untuk memenuhi rasa keadilan bagi seluruh perusahaan tambang, tanpa mengistimewakan kepentingan Freeport dan Newmont.

"Tidak ada kepentingan salah satu perusahaan, seperti PT Freeport dan PT Newmont. Rencana kebijakan ini untuk memenuhi rasa keadilan bagi perusahaan tambang, saat ini tengah dibahas untuk langkah terbaik menyangkut masalah UU Minerba," kata Luhut di Kantor Kemenko Kemaritiman, Selasa (13/9).

Meski begitu, Luhut masih belum berani menjelaskan soal poin-poin yang terdapat dalam kebijakan RUU Minerba tersebut, sebab tahapan revisi tersebut sedang dikaji oleh Kementerian ESDM serta pakar hukum. Dia mengaku kajian tersebut selesai dalam waktu 10 hari kedepan.

"Ya kita mau luruskan seluruhnya, jadi target waktu 10 hari kedepan, mulai UU Minerba, PP 77 tahun 2014 hingga pada keluarnya Permen atau Keppres agar tidak ada yang melanggar UU Minerba tersebut," jelasnya.

Revisi UU Minerba ini diharapkan dapat selesai akhir tahun 2016, supaya pemerintah tidak perlu mengeluarkan peraturan Undang-Undang (Perppu) untuk pengganti UU Minerba sebelum kelar.

Seperti diketahui, berdasarkan UU Minerba, pemerintah menetapkan larangan ekspor mineral mentah sejak Januari 2014 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Pemerintah masih memberi kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter. Relaksasi diberikan pemerintah hingga Januari 2017.

Tapi sampai hari ini ternyata masih banyak smelter yang belum terbangun, tak semua perusahaan tambang dapat melaksanakan kewajibannya menjalankan hilirisasi mineral di dalam negeri. Karena itulah, Luhut mengusulkan relaksasi diperpanjang antara 3 sampai 5 tahun lewat revisi UU Minerba.

Memang tak semua komoditas mineral butuh relaksasi. Untuk nikel misalnya, sudah banyak smelter yang terbangun. Tapi untuk tembaga, smelter yang ada masih sangat kurang. Maka relaksasi untuk tiap komoditas mungkin akan dibedakan. "Ada waktu 3-5 tahun. Kita lagi lihat satu-satu tiap komoditas. Kita lagi kaji," kata Luhut. (dtc)

BACA JUGA: