JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pilihan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi I&II lewat jalur rekonsiliasi dikecam kalangan pegiat hukum dan HAM. Mereka menilai, selain tergesa-gesa, keputusan ini memperlihatkan pemerintah telah abai pada prinsip-prinsip yang adil dan komprehensif tentang pencegahan impunitas pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

"Padahal, Presiden Joko Widodo telah berulang kali berjanji di hadapan publik, untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat (termasuk kasus Trisaksi dan kasus Semanggi I & II) akan diselesaikan secara adil dan bermartabat," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (1/2).
 
Wahyu menilai, pilihan rekonsiliasi yang baru saja diumumkan tersebut tentu membuka banyak pertanyaan dan kejanggalan. Pertama, mengacu pada fakta-fakta yang ada, Menkopolhukam Wiranto, yang menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI, pada saat terjadinya peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, diduga kuat terlibat sebagai pelaku dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Menurut Komnas HAM, Wiranto gagal dalam jabatannya sebagai Menhankam/Pangab, yang tidak mampu melakukan upaya penyelamatan hak-hak warga negara dan mengakibatkan jatuhnya korban di peristiwa yang terjadi di tahun 1998 dan 1999 tersebut. "Menjadi aneh ketika seseorang yang diduga sebagai pelaku, tiba-tiba secara sepihak mengumumkan pilihan mekanisme non-yudisial untuk penyelesaian, dan meninggalkan kewajiban akuntabilitas hukum," ujarnya.

Kedua, Komnas HAM sebagai institusi yang diberikan mandat untuk melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, menurut UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, juga terkesan melupakan keputusannya sendiri. Pilihan untuk mendukung keputusan yang telah diumumkan tersebut, memperlihatkan Komnas HAM justru mendelegitimasi keputusannya sendiri, yang pada periode sebelumnya telah dengan sangat yakin menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II.
 
Ketiga, semestinya Komnas HAM bersama pemerintah menekan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan segera melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa tersebut. Selama ini Kejaksaan Agung (sebagaimana disampaikan Jaksa Agung periode sebelumnya) selalu beralasan prosesnya terganjal asas nebis in idem, karena telah ada proses Pengadilan Militer dalam kasus tersebut.

"Alasan ini tentu tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pertanggungjawaban dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, dan semata-mata bentuk keengganan untuk segera melakukan proses hukum," kata Wahyu.
 
Alasan yang mengatakan DPR tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM melalui Panitia Khusus (Pansus) dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II, juga terbantahkan dengan keluarnya Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 dalam pengujian UU Pengadilan HAM. Putusan ini menyatakan bahwa DPR tidak lagi memiliki otoritas untuk menentukan apakah dalam suatu peristiwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat atau tidak.

Menurut penafsiran MK, wewenang DPR semata-mata hanya meneruskan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam kaitannya dengan ini, kata Wahyu, presiden seharusnya dapat bertindak tegas dengan mengambil langkah-langkah yang patut dan sesuai dengan kewenangannya untuk memastikan Jaksa Agung bekerja sesuai dengan tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang telah dimandatkan oleh undang-undang.

"Apalagi dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II sebagian besar terduga pelaku dan korban masih hidup, bahkan sebagian diantaranya masih menduduki jabatan-jabatan politik strategis. Sehingga tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk mengatakan kesulitan dalam penggalian bukti-bukti dan pengumpulan keterangan saksi," tegasnya.
 
Mencermati situasi tersebut, ELSAM pun meminta pemerintah mengambil beberapa langkah penting. Pertama, Presiden Joko Widodo harus mengambil kepemimpinan politik dalam langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, guna segera merealisasikan janji-janji politik sebagaimana terumuskan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019;
 
Kedua, presiden memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II. "Presiden juga harus mendorong langkah-langkah yang efektif sesegera mungkin, untuk memastikan setiap pihak bekerja sesuai dengan tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik apapun," kata Wahyu.
 
Ketiga, perlunya evaluasi terhadap posisi Menkopolhukam dan Jaksa Agung, yang sejauh ini dalam kinerjanya seringkali tidak sejalan dengan agenda-agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Setidaknya dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum nampak capaian berarti untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
"Aktor-aktor kunci dalam pemerintahan, para pembantu presiden, yang memiliki mandat dalam upaya penyelesaian, justru tindakanya seringkali tak-sejalan dengan janji politik presiden," tegas Wahyu.
 
Keempat, Komnas HAM diminta mengambil sikap tegas, sebagai lembaga negara independen yang diberikan mandat penyelidikan atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Bukan sebaliknya, justru mendelegitimasi keputusannya sendiri, dengan menghindari proses hukum yang semestinya menjadi tindak lanjut dari penyelidikannya, sebagaimana telah diumumkan bersama Menkopolhukan.
"Tentu hal ini sangat tidak sejalan dengan UU No. 39/1999 tentang HAM, yang mengatur wewenang Komnas HAM, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM," pungkasnya.
 
BENTUK PENGADILAN HAM AD HOC - Pendapat senada disampaikan Direktur Eksekutif Institute fro Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono. Supriyadi mengatakan, Jaksa Agung belum menjalankan tugas dengan baik proses pemeriksaan hasil penyelidikan Komnas HAM 2002. "Pemerintah harusnya mampu membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc," ujarnya kepada gresnews.com.

ICJR, kata Supriyadi, menyayangkan dan mempertanyakan langkah yang diambil pemerintah ini. ICJR menilai, pemerintah tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menempuh jalur Non-yudisial tanpa adanya kejelasan proses yudisal, terlebih lagi hanya didasarkan pada alasan pilihan politik.

"Ini justru mengingkari janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin menyelasaikan masalah pelanggaran berat HAM masa lalu," terang Supriyadi.

ICJR menilai, berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pemerintah melalui Keputusan Presiden dapat membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran berat HAM. "Perlu untuk dipahami bahwa pada dasarnya penyelidikan Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, telah selesai diselidiki Komnas HAM sebagai penyelidik berdasarkan UU Pengadilan HAM pada Maret 2002, namun sampai saat ini, Jaksa Agung belum menjalankan amanat UU Pengadilan HAM dengan melakukan penyidikan yang layak terhadap kasus-kasus tersebut," tegas Supriyadi.

Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM seharusnya cukup untuk menaikkan kasus-kasus tersebut ke proses penyidikan, belum lagi karena baik korban, saksi dan pelaku pada dasarnya masih hidup dan lebih dari cukup untuk memberikan keterangan dalam proses peradilan. ICJR mengingatkan, ketidakjelasan proses hukum terkait kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dapat diartikan sebagai tindakan melanggengkan praktik impunitas dan mengkhianati perjuangan Hak Asasi Manusia.

Lebih dari itu, ICJR menganggap, tindakan pemerintah melalui Jaksa Agung sebagai tindakan unwilling (Tidak ada kemauan atau itikad) dimana Pemerintah melalui Jaksa Agung enggan untuk meneruskan proses peradilan pidana dalam kasus pelanggaran berat HAM padahal memiliki kemampuan untuk itu.

"ICJR pada dasarnya mendukung langkah-langkah rekonsiliasi, namun tanpa adanya pengungkapan kebenaran terlebih dalam jalur yudisial dengan seluruh kemampuan yang saat ini dimiliki oleh Pemerintah, maka Pemerintah dapat dianggap lari dari tanggung jawab kemanusiaan," pungkasnya.

ALASAN PEMERINTAH - Seperti diketahui, baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), bersama Ketua Komnas HAM menyatakan akan menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisaksi dan Semanggi I & II, dengan cara rekonsiliasi. Keputusan ini menurut mereka merujuk pada arah politik Pemerintah Indonesia yang memang menghendaki model penyelesaian melalui jalur non-yudisial.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengatakan, pemerintah telah menegaskan pilihan pada jalur non yudisial atau rekonsiliasi. "Pemerintah maunya seperti itu. Untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ya menempuh jalur non-yudisial," ujar Imdadun, Senin (30/1) lalu.

Dia mengatakan, sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc. Terlebih, Kejaksaan Agung tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Imdadun mengaku, Komnas HAM akan terus berkomunikasi dengan pemerintah terkait konsep rekonsiliasi agar tetap memenuhi prinsip-prinsip universal HAM dan pemenuhan hak korban.

"Bagaimana caranya (rekonsiliasi) masih akan kami bicarakan. Dalam hal ini Komnas menjaga agar prinsip-prinsip HAM dalam rekonsiliasi itu terpenuhi," kata Imdadun.

Sementara itu, Menkopolhukam Wiranto mengatakan, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu telah membebani pemerintah. "Bangsa ini sudah terlalu berat untuk bersaing dengan bangsa lain terutama dalam situasi sekarang ini, jangan sampai kita menambah masalah ini, untuk memberikan tekanan pada pihak pemerintah dan bangsa indonesia yang sedang berjuang," ujar Wiranto.

BACA JUGA: