JAKARTA,GRESNEWS.COM - Langkah pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan izin keterlibatan badan usaha asing dalam proyek pembangunan kilang minyak menuai kritik. Sejumlah pihak menilai kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK .08 /2016 tentang Fasilitas dalam Rangka Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur akan memberikan ruang bagi pihak asing untuk menguasai kilang-kilang minyak yang berada di dalam negeri. Namun pembangunan kilang sudah sangat mendesak mengingat Indonesia kini telah menjadi net importir BBM. 

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Eva Sundari menyebutkan kebijakan yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan izin keterlibatan badan usaha asing dalam proyek pembangunan kilang minyak dinilai kurang tepat. Menurutnya PT Pertamina (Persero) yang seharusnya mendapatkan prioritas untuk mengelola bisnis kilang minyak baru di Indonesia.

Dengan demikian, Eva mengharapkan Pertamina yang selama ini sebagai perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) bisa lebih sehat dan besar dengan monopoli dan proteksi yang selama ini diberikan negara. "Tetapi tampaknya itu hasilnya tidak memuaskan. Harapan saya kalau perlu ada keharusan skema transfer teknologi dari joint project Pertamina dan asing. Atau, ada pembatasan waktu sampai Pertamina mampu melakukan dengan kekuatan sendiri," kata Eva kepada gresnews.com, Jumat (9/9).

Sebelumnya sebuah perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft, memenangkan tender pembangunan kilang minyak di Tuban, dengan nilai investasi mencapai US$ 13 miliar atau setara Rp 175,5 triliun. Presiden Joko Widodo sepakat dengan pilihan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno, bahwa Rosneft yang akan bekerjasama dengan Pertamina dalam pembangunan kilang Tuban.

Jokowi berharap kesepakatan pembangunan kilang Tuban segera diselesaikan sehingga dapat membangun penuh di 2018. Pihak Rosneft berharap bisa membangun kilang Tuban dengan kapasitas produksi sebesar 320.000 barel per hari (bph). Bentuk kerjasama antara Pertamina dan Rosneft berupa joint venture.

Tahun ini saja, Pertamina memperkirakan angka penjualan premium mencapai164,6 juta barel atau 15 juta barel per bulan. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, angka konsumsi tersebut menurun 5,4 juta ketimbang angka konsumsi 2015 sebesar 175 juta barel.

Premium menurun karena peningkatan konsumsi Pertalite dan Pertamax. Guna memenuhi kebutuhan Premium di 2016 Pertamina mendatangkan dari impor sebanyak ‎96 juta barel dan 84 juta barel dari kilang pengolahan minyak mentah dalam negeri. Sedangkan untuk konsumsi Pertamax Hasto bilang tahun ini diperkirakan mencapai 1,8 juta barel yang berasal ‎dari kilang dalam negeri 700 ribu barel dan 1 juta barel dari impor.

KENDALI PADA NEGARA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan pemerintah harus tetap berpegang pada Pasal 33 UUD 1945 dalam mengelola sumberdaya alam. Dari situ jelas menyebutkan, jika cabang produksi strategis termasuk kilang harus dikuasai negara.

"Boleh saja pihak lain dilibatkan, tetapi sifatnya hanya membantu kita. Namun untuk kendali utama harus tetap ada ditangan negara, jangan sampai dikuasai oleh pihak asing," kata Komaidi kepada gresnews.com, Jumat (9/9).

Namun saat ditanyakan soal keuntungan dan kerugian terkait pemberian izin keterlibatan badan usaha asing dalam proyek pembangunan kilang minyak, dia mengaku, bahwa semua tergantung kebijakan pemerintah.

"Jika ditetapkan bahwa produknya harus untuk pasar Indonesia saya kira masih tetap aman," ujarnya.

Sementara itu, pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Madah (UGM) Fahmi Radhi mengatakan kilang tidak berhubungan langsung eksplorasi minyak. Karena kilang digunakan untuk mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) beserta turunannya.

Bagi Fahmi tidak ada perlu kecemasan berlebihan bila banyak investor asing membangun kilang di Indonesia. "Karena Indonesia masih membutuhkan kilang untuk produksi BBM di dalam negeri agar impor BBM dapat dikurangi," kata Fahmi kepada gresnews.com, Jumat (9/9).

Seperti diketahui, menurut regulasi yang disampaikan pihak Kementerian Keuangan, aturan tersebut merevisi dari peraturan sebelumnya PMK No 265/ PMK.08/2015 pada Pasal 15 Ayat 1 yang menunjuk badan usaha milik negara yaitu, Pertamina sebagai salah satunya pelaksana pembangunan kilang.

Sementara, dalam aturan baru tersebut, ayat diatas dihapus, sehingga Pertamina dapat bekerjasama dengan pihak swasta asing untuk pembangunan proyek-proyek kilang ,selama mendapat persetujuan pemerintah dalam hal tersebut, yakni Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan.

Selain itu, aturan tersebut memuat mekanisme mengenai dana penyiapan proyek ialah pemerintah dalam hal ini pihak menteri terkait ataupun kepala daerah serta BUMN maupun BUMD, bertindak sebagai penanggung jawab bisa membayar terlebih dahulu biaya pelaksanaan fasilitas kepada badan swasta asing.

BACA JUGA: