JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gelombang penolakan terhadap rencana pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk memberikan pengurangan hukuman atau remisi kepada terpidana kasus korupsi masih terus terjadi. Sejumlah pihak menyatakan ketidaksetujuannya akan rencana Kemenkumham menghilangkan syarat tertentu dalam pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi.

Kemenkumham berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pemberian remisi untuk para narapidana khusus seperti korupsi. Salah satu syarat pemberian remisi adalah menjadi saksi pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator. Nah, syarat itulah yang rencananya akan dihapuskan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD termasuk salah seorang yang menolak penghapusan syarat tersebut. Mahfud menegaskan, alasan penolakannya adalah karena kasus korupsi merupakan suatu tindak pidana luar biasa dan berdampak cukup luas yang dilakukan oleh para pelakunya.

Oleh karena itu, penghapusan syarat tersebut harusnya tidak dilakukan sebab akan meringankan para koruptor mendapat hukuman. "Saya enggak masuk sama sekali dan enggak ada kaitannya, saya termasuk yang tidak setuju kalau ada upaya peringanan-peringanan terhadap koruptor," kata Mahfud di Gedung KPK, Jumat (12/8).

Mahfud mengatakan, setiap narapidana memang mempunyai hak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tetapi, ada beberapa jenis kejahatan yang mendapat perlakuan khusus seperti narkoba, terorisme, hingga korupsi.

"Itu di mana-mana di seluruh negara dianggap kejahatan yang sangat membahayakan. Sehingga tidak disamakan pemberlakuannya dan fasilitasnya terhadap mereka ini," tutur Mahfud.

Mahfud mengatakan, jika pemerintah benar-benar menghapus syarat sebagai JC bagi terpidana korupsi untuk mendapat remisi, hal itu merupakan kemunduran dalam penegakan hukum. Apalagi pemberantasan korupsi merupakan salah satu program yang digalakkan oleh pemerintah.

Selain itu, Mahfud juga menolak rencana lain pemerintah yang juga akan meringankan hukuman kepada koruptor seperti tidak diberlakukannya hukuman badan. Wacana ini pertama kali dilontarkan Luhut Binsar Panjaitan ketika masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).

"Ada pikiran kemarin dikait-kaitkan dengan saya itu misalnya saya korupsi itu tidak perlu dihukum tapi cukup mengembalikan uang, saya tidak pernah mendiskusikan tentang itu dengan pemerintah," kata Mahfud yang membantah pernah diajak diskusi dengan pemerintah terkait koruptor tidak perlu dihukum badan dan pidana lainnya itu.

Mahfud berpendapat selain korupsi itu merugikan masyarakat, tindak pidana tersebut juga bisa menghancurkan bangsa. Oleh karena itu ia tetap tidak setuju jika ada keringanan hukuman terhadap para pelaku korupsi.

"Bagi saya koruptor itu justru harus diperberat hukumannya, juga tidak boleh diistimewakan karena banyak uang, boleh keluar malam saat ini masih banyak isu-isu koruptor si A si B keluar makan di restoran. Itu masih banyak yang begitu," pungkasnya.

Mahfud curiga, rencana revisi PP 99 tentang pemberian remisi sebagai perlawanan dari para koruptor. Apalagi, ada beberapa peraturan yang terlihat sebagai pesanan oknum-oknum tertentu yang justru memberi jalan terjadinya kasus korupsi.

"Saya sering mengatakan saat ini banyak sekali hukum-hukum pesanan, tanpa tahu yang dipesan itu, yang melakukan perubahan-perubahan itu, tanpa sadar bahwa dia pesanan dari sekelompok orang yang sebenarnya itu dalam rangka adalah serangan balik daripada koruptor," imbuhnya.

KPK MENOLAK - Sebagai lembaga yang khusus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menegaskan penolakannya ata rencana Kemenkumham itu. Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengatakan, KPK tidak setuju dengan wacana merevisi merevisi PP 99 terkait remisi.

Oleh karena itu ia meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly untuk meninjau ulang rencana revisi tersebut. "Karena kan salah satu pemidanaan itu untuk timbulkan efek jera. Oleh karena itu saya pikir bahwa rancangan peraturan pemerintah dan Pak Agus juga sudah bicara kemarin. Ini kami, kurang sependapat," kata Syarif.

Alasan Kemenkumham bahwa kapasitas lapas sudah tidak memenuhi syarat menurut Syarif terlihat aneh. Apalagi narapidana kasus korupsi jumlahnya hanya sekian persen dari total pelaku kejahatan lainnya.

"Saya pikir tidak beralasan juga karena narapidana korupsi itu cuma mungkin 1 persen dari jumlah narapidana yang lain. Jadi menurut saya tidak perlu (direvisi). Menurut saya harus ada syarat untuk lakukan revisi," ujarnya.

Pernyataan Syarif ini menjawab ucapan yang dilontarkan Menkumham Yasonna bahwa rencana revisi sudah disampaikan kepada KPK. Dan lembaga antirasuah ini, klaim Yasonna telah menyetujui rencana tersebut.

"Rapat inter-kementerian, ada KPK, jaksa, polisi ada semua draf setuju ada perbaikan prosedur tetap ada perbedaan antara napi biasa dengan napi teroris, ada prosedur jadi bentuknya TPP, tim penilai pengamat pemasyarakatan jadi di situ ada KPK, polisi, jaksa," kata Yasonna di Istana Negara, Kamis (11/8).

Pada kesempatan terpisah Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemberian remisi adalah hak kemanusiaan bagi terpidana korupsi. "Begini, semua orang yang telah dihukum, dipenjara tentu sekolompok seperti itu yang harus mempunyai juga sisi-sisi kemanusiaan, apa pun. Kita tidak membedakan lagi," ujar JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (12/8).

JK mengakui, pemberian remisi oleh pemerintah bagi para koruptor merupakan hal yang berat. Namun dengan adanya remisi diharapkan ada perubahan dari terpidana korupsi dari sisi moral. JK membandingkan pemberian remisi bagi para pembunuh. Sebaiknya remisi juga berlaku bagi para koruptor.

"Nah persoalannya kalau pembunuh saja bisa (mendapat remisi), kemudian koruptor tidak bisa diberikan reward karena disiplinnya, karena kelakuan baiknya, tentu juga kita terjadi diskriminatif. Walaupun kita tahu korupsi itu kejahatan besar, tapi narkoba dan pembunuhan juga kejahatan besar juga," terangnya.

Hal ini juga dinilai berdasarkan putusan pengadilan yang telah memberikan vonis tinggi kepada para pelaku korupsi. "Kalau memang korupsi itu kejahatan besar maka hukumannya juga tinggi, tapi setelah dia di dalam mustinya juga sisi kemanusiannya sudah sama karena memang tinggi. Coba ada yang 10 tahun, 11 tahun, 12 tahun," kata JK. (dtc)

BACA JUGA: