JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terus mengundang polemik. Sebagian kalangan meminta KPU tidak melakukan hal itu dengan alasan akan merusak hubungan antar lembaga khususnya antara KPU dan DPR.

Terkait polemik ini, Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Andrian Habibi mengatakan, langkah KPU mengajukan uji materi UU Pilkada adalah langkah yang sah. "Itu bukanlah langkah yang haram yang harus diantisipasi sedini mungkin oleh para politisi," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (3/8).

Habibi menegaskan, siapapun berhak mengajukan judicial review (JR) terhadap UU Pilkada. "Upaya-upaya melarang JR ke MK adalah upaya diskriminatif yang menyayat hati para pegiat demokrasi. Politik yang baik tidak akan mempengaruhi yang bernada ancaman," tegasnya.

KPU kini tengah menyusun draf uji materi, khususnya terhadap Pasal 9 huruf a UU Pilkada. Dalam pasal itu diatur: "KPU bertugas menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum RDP yang keputusannya bersifat mengikat".
 
Aturan itu dinilai telah membatasi ruang gerak penyelenggara pemilu dan berpotensi mengundang konflik kepentingan dari DPR. Sebelumnya, beberapa lembaga swadaya masyarakat telah mengajukan uji materi terhadap pasal tersebut, namun ditolak Mahkamah Konstitusi karena alasan legal standing.

Karena itu, KPU kemudian mengajukan sendiri judicial review atas pasal itu, karena KPU berkesimpulan hanya merekalah yang memiliki legal standing. Langkah KPU inilah yang kemudian mengundang polemik khususnya penentangan dari para anggota DPR.

Terhadap masalah ini, menurut Habibi, hak KPU untuk mengajukan judicial review tidak bisa disamakan dengan kegiatan-kegiatan konsultasi di Senayan. "Urusan konsultasi terlebih terkait anggaran penyelenggara pemilu wajib didukung tapi jangan sampai mengikat urusan teknis penyelenggaraan pilkada. Kita menyayangkan pernyataan ketidakikhlasan politisi dalam membangun penyelenggara yang lebih baik ke depan," tegasnya.

Apalagi, kata dia, belakangan DPR juga menyinggung persoalan yang tidak substansial, semisal Ketua Komisi II DPR yang menyebutkan persoalan mobil KPU yang lebih bagus, rumah dinas dan SPPJ yang lebih baik. Ini, kata dia, menandakan kelemahan politisi sebagai ikon politik dan percontohan bagi pembelajar politik nasional.

"Perlu diingatkan bahwa perlengkapan teknis KPU, Bawaslu dan DKPP perlu ditingkatkan untuk menjamin kegiatan-kegiatan kepemiluan yang lebih baik ke depan. Masalah alat kelengkapan penyelenggara bukanlah mainan komunikasi politik," kata Habibi.

Karena itu, KIPP meminta agar politisi di Senayan menjaga komentarnya demi menjamin hak konstitusional penyelenggara pilkada terkhusus keinginan KPU mengajukan judicial review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. "Menjaga mulut untuk tidak memperlihatkan kecemburuan dan keirian terhadap alat kelengkapan KPU dengan perlengkapan DPR tidak bisa disamakan dengan menyindir hak-hak konstitusional," kata Habibi.

KIPP, kata Habibi, juga meminta agar Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie lebih mengambil peran mensosialisasikan hak-hak konstitusional dalam persoalan JR ke MK. "Seharusnya komentar-komentar Pak Jimly lebih menguatkan agar rakyat tahu siapa yang menekan penyelenggara pemilu dalam memperjuangkan teknis kepemiluan demi memastikan kedaulatan rakyat yang bermula dari suara rakyat," ujarnya.

Menurut Habibi, DPR tidak boleh mengeluh dalam membahas anggaran penyelenggaraan pilkada. Sebagai perwakilan rakyat dalam memastikan regulasi berjalan untuk mengedepankan kemakmuran dan keadulatan rakyat, DPR wajib dan harus meningkatkan kreativitas untuk mengupayakan pembahasan anggaran yang efektif, efisien bagi penyelenggara pemilu.

"Anggaran pilkada dan kepemiluan bukanlah anggaran hura-hura yang dihabiskan untuk membuat keuangan negara berkurang. Bukankah korupsi lebih jelas-jelas merusak perekonomian dan keuangan negara?" kata Habibi.

Dia juga meminta agar KPU tidak mundur dari rencana melakukan judicial review ini. "Bila JR tidak jadi dilaksanakan oleh KPU, kita cukup menilai bahwa politik lebih berkuasa daripada pendidikan demokrasi dan pelaksanaan hak-hak konstitusi," pungkasnya.

OLEH PARPOL - Sebelumnya, Jimly memang menyarankan agar judicial review UU Pilkada dilakukan oleh partai politik (parpol) yang tak mendapat kursi di DPR. Menurut pakar hukum tata negara ini, jika KPU yang mengajukan, dikhawatirkan akan merusak hubungan dengan DPR.

"Kalau kemarin masyarakat sipil yang mengajukan judicial review ditolak Mahkamah Konstitusi karena tak punya legal standing. Maka supaya bisa punya legal standing, parpol-parpol yang tak dapat kursi di DPR bisa mengajukan," tegas Jimly.

Dia menegaskan, parpol yang tak memiliki kursi di DPR memiliki legal standing untuk mengajukan uji materi tersebut. Legal standing itu adalah alasan untuk mengamankan diri lewat UU Pilkada agar suaranya tak digemosi partai besar.

Anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan juga menyesalkan rencana KPU mengajukan uji materi UU Pilkada. Menurutnya, KPU adalah pelaksana UU dan bukan malah mengajukan uji materi terhadap UU yang sudah disahkan DPR.

"Kami di DPR membuat rumusan norma dalam Undang-Undang Pilkada dengan penuh kecermatan. Apa yang membuat KPU takut, opini apa sih yang mau KPU bangun? Ini kan sederhana, mereka ribut karena mereka takut tidak bisa berbuat seenaknya, tidak bisa menentukan seenaknya sendiri," sindir Arteria.

Arteria menegaskan, pelaksanaan UU Pilkada tidak mungkin didasari peraturan pemerintah, melainkan mengandalkan Peraturan KPU. Karena itu, uji materi yang dilakukan KPU selaku pelaksana undang-undang dinilainya berisiko. "Kalau KPU mau mendengarkan kami, pelaksanaan pilkada serentak kemarin akan jauh lebih baik dan sempurna," kata dia.

Dia juga menekankan, UU Pilkada yang baru disahkan itu belum dilaksanakan sehingga belum ada bukti yang menjadi preseden buruk implementasi undang-undang tersebut. Selain itu, kata dia, KPU memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang lebih krusial mengenai tahapan pilkada.

"Seharusnya KPU fokus menyelesaikan Peraturan KPU bukan mengajukan uji materi yang berpotensi menimbulkan polemik dan mengganggu konsentrasi KPU sendiri," jelas dia.

TETAP DIAJUKAN - Meski ditekan dari sana-sini, KPU sendiri sepertinya tak akan mundur dari rencana itu. Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, pihaknya masih menyusun draf uji materi tersebut. "Draf disusun berdasarkan ketentuan MK soal hukum acara pengujian undang-undang," kata Ida.

Dia menerangkan, dalam draf tersebut, KPU akan menjelaskan tiga hal. Pertama, KPU memberikan penjelasan tentang kewenangan MK berdasarkan undang-undang dasar dan undang-undang. Kedua, menjelaskan soal legal standing KPU dalam melakukan uji materi undang-undang.

Ketiga, KPU juga menjelaskan alasan pengajuan uji materi yaitu terkait dengan ketentuan Pasal 9 huruf a yang mengatur soal KPU wajib berkonsultasi dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU (PKPU).

"Sepanjang anak kalimat mengikat ini yang mempunyai satu potensi menghambat KPU untuk bisa mengambil suatu keputusan yang mandiri. Esensi kemandirian dan independensi kan terletak pada pengambilan keputusan yang tidak bisa tunduk pada tekanan atau intervensi dari pihak mana pun," ujar Ida.

Ida mengatakan KPU memohon kepada MK untuk membatalkan pasal tersebut karena bertentangan dengan semangat independensi dan juga dengan ketentuan hukum yang ada dalam Pasal 22 Ayat (5) huruf e yang menegaskan, pemilihan umum diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. (dtc)

BACA JUGA: