JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para aktivis lingkungan mendorong pemerintah dan Bank Indonesia agar mendesak bank-bank di Indonesia untuk menyetop pendanaan pada perusahaan yang kegiatannya merusak lingkungan. Merah Johansyah Ismail, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, upaya meminimalisasi dampak merusak dari usaha pertambangan terus dilakukan, namun hasilnya belum maksimal.

Karena itu, Merah menyatakan, sebaiknya pemerintah juga dituntut aktif berperan dalam memperbaiki sektor pertambangan terutama pada sektor perbankan. Merah mengusulkan agar pemerintah membentuk kebijakan antar lembaga dan kementerian mengupayakan pengetatan dalam sektor keuangan.

"Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi  dan Bank Indonesia harus duduk bersama bikin green banking," usul Merah yang disampaikan kepada gresnews.com, Sabtu (23/7).

Menurutnya, pemerintah harus selektif dalam mengucurkan kredit kepada perusahaan yang melakukan perusahan lingkungan. Selama ini, pemerintah belum selektif dalam memberikan fasilitas dan kredit terhadap perusahaan tambang.

Wacana ini mesti direspons, pasalnya dia mensinyalir ada beberapa bank nasional justru membantu dalam membiayai praktik kerusakan lingkungan di daerah. JATAM, kata Merah, pernah melayangkan protes kepada Bank Mandiri karena membiayai perusahaan yang melanggar komitmen pelestarian lingkungan.

Hal itu terkait pembiayaan Bank Mandiri kepada PT Fajar Sakti Prima dari Bayan Grup, termasuk Bayan Group Resources. Perusahaan ini disebutkan melanggar komitmen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dengan mengangkut batu bara melebihi batas yang diizinkan dan melewati badan sungai yang tidak diperuntukkan baginya.

PT Fajar Sakti Prima mengangkut hingga 8.000 ton batu bara dari 3.000 ton yang diizinkan, dan melewati Sungai Kedang Kepala, sungai tempat habitat pesut mahakam (Orcaella brevirostris), lumba-lumba air tawar yang terancam punah. "Bila memang benar Bank Mandiri dan perbankan Indonesia peduli lingkungan, maka hendaknya fasilitas kredit kepada perusahaan yang bermasalah atau membuat masalah lingkungan dihentikan," ujarnya.

Selain masalah tersebut, Merah menilai, pada sisi regulasi ditingkat daerah, kepentingan masyarakat juga kerap kali diabaikan. Merah mengatakan, kesalahan pada sektor tambang merupakan sudah kebijakan pemerintah yang mengandalkan pada pemasukan negara melalui sektor pertambangan. Dengan begitu, regulasi berpihak pada perspektif ekonominya seperti dalam pemberlakuan tax amnesty.

Dia menyatakan, ada kelemahan dalam undang-undang sektoral seperti UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pada Pasal 162 ada dipakai oleh pemerintah bagi masyarakat yang ingin mengkritik dan protes terhadap pertambangan. "Ini pasal diskriminasi," ujar Merah.

Pasal 162 berbunyi: "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 Ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah)."

PERAN MASYARAKAT DIABAIKAN - Merah juga menyoroti pada penentuan wilayah pertambangan yang tidak melibatkan masyarakat. Penentuan wilayah pertambangan hanya ditentukan oleh pemerintah pusat secara eksklusif. Bahkan pemerintah daerah pun terpaksa melegalkan proses administratifnya. "Ini bentuk kelaliman oleh pemerintah pusat. Artinya UU Minerba kita masih buruk," ungkap Merah.

Persoalannya, lanjut Merah, UU Minerba yang banyak kelemahan ini kemudian akan diulang lagi melalui UU yang baru. Pasalnya, UU baru Minerba yang sedang digodok oleh Komisi VII DPR RI juga merupakan ´copypaste´ dari UU Minerba lama.

Bahkan dia menyebutkan, lebih membahayakan adalah kemungkinan terbukanya bentuk pertambangan baru seperti mineral logam tanah jarang. "Artinya selain kita dirugikan melalui tambang batubara, nikel, timah dan emas juga akan bertambah lagi jenis tambang baru. Akan bertambah lagi potensi pembukaan kawasan yang semakin merusak," katanya.

Selain itu, dalam draf itu, sambung Merah, pemerintah membuka  tambang bawah laut. "Kemarin hanya migas aja yang boleh dilaut," ungkapnya.

Seharusnya pemerintah mengevaluasi kembali pertambangan bukan menambah sektor baru dalam pertambangan dengan melakukan revisi UU Minerba. "Di tengah pengawasan pemerintah yang lemah kok maunya nambah tambang yang baru," katanya .

UU Minerba memang banyak dikritik kalangan pegiat masyarakat sipil. Sebelumnya, Peneliti Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Budi Afandi juga mengatakan, salah satu kerugian yang potensial dialami Indonesia dalam draf revisi UU Minerba adalah persoalan izin yang tak diatur dengan jelas. Padahal ada sekitar 5.000 izin pertambangan yang bermasalah dan baru sekitar 1.500 yang mendapat respons.

"Juga masalah kriminalisasi terhadap warga yang lahannya digusur guna bisnis minerba pun tak diakomodir," kata Budi, beberapa waktu lalu.

Kemudian, ada juga ketentuan yang membolehkan izin pertambangan diberikan untuk tambang di bawah laut sebagai bentuk baru penambangan. Hal itu tercantum dalam Bab IX Pasal 66 Ayat (2).

Menurut Budi, aturan ini sangat tidak tepat sasaran sebab tidak berangkat dari masalah yang terjadi. "Ini malah membuka masalah baru bagi sosial dan lingkungan," tegasnya.

Budi menilai naskah akademik ini tidak konsisten dengan pengaturan RUU-nya sebab tak ada alasan mendetail mengapa diperbolehkan izin tambang bawah air. Pada saat draf ajuan, terdapat kalimat "eksplorasi bawah air" dan hal ini berarti membolehkan penambangan selain di laut, misalnya danau dan sungai.

"Namun istilah ini berubah menjadi ´eksplorasi bawah laut´ di RUU-nya sehingga tak jelas asumsi dasarnya," kata Budi.

Potensi kekayaan bawah laut ini pun dapat dilakukan di tambang bawah laut/lepas pantai sejauh 0-12 mil dari bibir laut. Kewenangan perizinannya pun hanya melewati menteri saja. Naskah ini akhirnya dianggap bertentangan dengan pengaturan UU yang lain, seperti UU Perlindungan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pertentangan ini, menurut Budi, menggambarkan adanya kekacauan struktur. "Poin selanjutnya, divestasi ketika negosiasi tak berlangsung baik maka dapat dilempar ke bursa saham sehingga membuka keran privatisasi," ujarnya.

Budi khawatir jika revisi ini kemudian disahkan maka akan dijadikan dasar bagi perusahaan pertambangan untuk bermain saham. Dalam hal divestasi misalnya, perusahaan yang membeli saham yang didivestasi bisa saja perusahaan yang justru punya afiliasi dengan perusahaan yang punya kewajiban divestasi.

RENTAN DIGUGAT ASING - Selain berbagai masalah di atas, berbagai upaya pemerintah memperbaiki sektor pertambangan adalah karena lemahnya posisi negara dalam perjanjian internasional. Akhirnya banyak upaya membenahi sektor pertambangan, malah berujung pada gugatan investor asing kepada pemerintah di International Centre for Settlement of Invesment Dispute (ICSID). Gugatan ini, kerap merugikan kepentingan nasional.

Rachmi Hertanti dari Institute for Global Justice (IGJ) melihat kepentingan nasional khususnya dalam internasional invesment agreement, tidak terjaga dengan baik. Perjanjian itu, kemudian cenderung menguntungkan investor asing. "Policy space pemerintah sangat sempit sehingga merugikan kepentingan nasional. Namun pada sisi lain juga membuka peluang bagi Indonesia digugat ke arbitrase internasional," kata Rachmi, dalam sebuah diskusi bertajuk "Dampak Perjanjian Internasional pada Regulasi Pengelolaan Tambang" di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (22/7).

Misalnya dalam Bilateral Invesment Treaty. Dalam perjanjian itu, sambung Rachmi, pemerintah rentan digugat karena dianggap merugikan investor. "Kasus Newmont misalnya. Larangan tentang ekspor konsentrat, dianggap merugikan investor. Pemerintah dianggap melanggar perjanjian dimana pemrintah dianggap tidak mampu memberikan regulasi yang stabil bagi investor," ungkapnya.

Dia melihat, apa pun langkah  pemerintah untuk membuat regulasi demi kepentingan nasional, jika dianggap merugikan investor maka membuka peluang negara digugat ke arbitarase internasional. Hal itu disebabkan karena penafsiran dalam standar perlindungan investasi yang sangat luas.

Lebih lanjut dia mengemukakan terkait langkah apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, dalam perjanjian yang sudah ditandatangani, pemerintah harus berani melakukan review terhadap perjanjian agar selaras dengan regulasi ditingkat nasional.

Pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia sebenarnya telah melakukan penghentian pada 18 perjanjian internasional dengan beberapa negara. Langkah itu lalu menghasilkan draf yang lebih menguntungkan bagi kepentingan nasional.

"Sekarang kita sudah punya draft yang bisa melindungi kepentingan nasional kita. Tapi sejauh mana ini bisa dilakukan. Padahal dalam draf yang baru itu ada klausul yang mengatur pengecualian pada sektor strategis tertentu salah satu SDA," tukasnya.

Pemerintah, kata Rachmi, seharusnya melanjutkan draf naskah Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) yang dibuat Kementerian Luar Negeri dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Draf ini cukup baik dalam merespons investasi di dalam negeri. "Sayangnya pengajuan draf ini malah mandek pada Agustus 2014, padahal tinggal final penyelarasan bahasa di Kemenlu," ujarnya.

Draf P4M ini, kata Rachmi, merupakan cara pemerintah untuk menghindarkan Indonesia digugat dalam investasi apapun. Sebab definisi investasi paling sering dijadikan dasar investor menggugat negara, karena di sana terdapat banyak makna investasi, baik yang berbentuk maupun tak berbentuk.

Seperti diketahui, 60 persen kasus yang digugat investor itu terkait pertambangan dan energi. "Jadi naskah ini membuat pembatasan jenis investasi itu yang didaftarkan BKPM saja," katanya.

Lalu membicarakan pembatasan non discrimination proportional, dimana yang menarik ada tiga hal yang tak boleh digugat yaitu terkait sumber daya alam, keamanan negara dan ekonomi negara. Ini cukup penting jika diimplementasikan dan bisa melindungi kepentingan nasional.

Kemudian, sengketa investasi apapun bentuknya tidak boleh dibawa ke lembaga arbitrase internasional langsung tapi harus melewati pengadilan domestik dulu. "Tapi sayangnya tetap tak berjalan, ini menandakan pemerintah kurang konsisten melindungi kepentingan nasional," tutupnya.

BACA JUGA: