JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masih ingat kasus kekerasan seksual di sekolah Jakarta Intercultural School (JIS) dua tahun silam? Satu masalah yang masih menjadi kabut misteri adalah kematian Azwar (28), salah satu tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap siswa JIS berinisial MAK. Azwar diduga meninggal akibat kekerasan yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya untuk mengakui perbuatannya. Namun polisi berdalih Azwar mati bunuh diri menenggak cairan pembersih lantai.

Kematian Azwar sendiri menjadi penting untuk diungkap lantaran dia merupakan saksi kunci untuk mengungkap kasus ini. Kesaksian Azwar akan memperkuat kesaksian lima tersangka lainnya --yang kini sudah terpidana-- yaitu Agun Iskandar, Virgiawan Amin, Syahrial, Zaenal dan Afrischa, bahwa pengakuan mereka saat dalam pemeriksaan polisi adalah akibat tekanan dan siksaan yang dilakukan penyidik.

Dalam persidangan, kelima terdakwa itu memang mencabut pengakuan mereka. Sayangnya, pencabutan kesaksian mereka dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di polisi tidak dipertimbangkan majelis hakim. Majelis hakim tetap menyatakan kelima terdakwa itu bersalah.

Upaya memperkuat dalil kelima mantan petugas kebersihan JIS itu juga mentok karena Azwar mendadak ditemukan tewas di kamar mandi ruang tahanan Polda Metro Jaya. Meski polisi menyebutnya sebagai aksi bunuh diri, namun pihak keluarga curiga, Azwar mati dibunuh. Kecurigaan itu muncul karena ada bekas luka yang diduga diakibatkan oleh penyiksaan di tubuh Azwar. Sayangnya polisi menolak permitaan autopsi dari pihak keluarga.

Alhasil, upaya para mantan petugas kebersihan JIS mencari keadilan selalu mentok. Saat ini kelima petugas kebersihan JIS masih berjuang untuk membuktikan bahwa kasus sodomi yang dituduhkan kepada mereka hanyalah rekayasa. Terakhir, upaya kasasi petugas kebersihan JIS ditolak Mahkamah Agung (MA). Mereka bersiap akan melakukan upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Karena itu, para terpidana itu meminta agar kasus kematian Azwar disingkap. Pihak Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri sendiri sebenarnya sudah melakukan penyelidikan terkait kematian Azwar. Hasilnya, dugaan kekerasan terhadap Azwar dan lima pekerja kebersihan lainnya disinyalir terbukti dilakukan oleh oknum penyidik Polda Metro Jaya.

Sayangnya polisi menutup rapat hasil investigasinya itu. "Sudah terbukti, infonya penyidiknya dikenakan sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat," kata kuasa hukum petugas kebersihan JIS Saut Irianto Rajagukguk kepada gresnews.com, Kamis (14/7).

Dengan pemberian sanksi itu, kata Saut, penganiayaan kepada Azwar dan pekerja JIS lainnya dipastikan benar terjadi. Kata Saut, pihaknya punya kepentingan kasus kematian Azwar terungkap, karena itu akan membuktikan pekerja kebersihan tidak melakukan kekerasan seksual seperti ditudingkan.

Namun Saut sendiri tak menjelaskan secara terperinci hasil investigasi yang dilakukan Propam Polda Metro Jaya tersebut. Dia meminta untuk ditanyakan ke Propam Polda Metro Jaya. "Nanti coba gali lagi ke Propam," kata Saut.

Dia berharap pihak kepolisian bersikap terbuka terkait kasus Azwar. Apalagi, kini tampuk kepemimpinan Polri sudah beralih ke tangan Jenderal Tito Karnavian. Tito sendiri diharapkan mampu mengubah wajah kepolisian menjadi lebih manusiawi dan meninggalkan cara-cara penyiksaan terhadap tersangka dalam penyidikan.

Sayangnya, pihak kepolisian masih juga belum mau terbuka soal kematian Azwar. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengaku belum tahu hasil investigasi pihak Propam atas dugaan penyiksaan terhadap Azwar sebelum meninggal. Dia juga menolak menjelaskan lebih jauh soal kasus tersebut.

KEMATIAN AZWAR JANGGAL - Masih tertutupnya sikap Polri dalam kasus ini disayangkan beberapa pihak. The Indonesia Human Right Monitor (Imparsial) menyayangkan tidak terbukanya Propam Polda Metro atas hasil investigasi penyebab kematian Azwar. Imparsial merupakan salah satu lembaga yang ikut melakukan pemantauan dan advokasi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian kepada pekerja kebersihan JIS.

Koordinator Riset Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas lembaga kepolisian, sejatinya hasil investigasi disampaikan ke publik dan pelapor. Apalagi jika hasil investigasi itu menemukan fakta dugaan penyiksaan terhadap Azwar dan pekerja kebersihan JIS lainnya, kasusnya tidak cukup hanya dikenakan sanksi administratif.

Kasus itu, kata dia, harus terus diproses secara pidana. "Bukan semata melanggar etik, di sini ada penyiksaan yang menyebabkan kematian, oknum penyidik yang terbukti harus dipidana bukan hukuman administratif saja," kata Gufron kepada gresnews.com, Kamis (14/7).

Karenanya Gufron mendesak Kapolri baru Jenderal Tito Karnavian tidak tutup mata terhadap kasus kematian Azwar ini. Dia menegaskan, membentuk polisi yang profesional, humanis dan jauh dari tindakan kekerasan adalah pekerjaan Tito yang tak kalah penting. Gufron pun mendorong perlunya memperkuat mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap polisi.

"Hal itu penting sebab lemahnya aspek kontrol dan pengawasan membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi," ujarnya.

Kata Gufron, Kapolri baru dituntut untuk mendorong sistem di internal bekerja optimal untuk menindak tegas setiap bentuk penyimpangan oleh polisi. Melindungi setiap penyimpangan justru adalah kekeliruan dan bahkan akan merugikan Polri sebagai institusi.

"Kapolri baru harus mendorong sistem internal kepolisian bekerja optimal menindaklanjuti kasus-kasus dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anak buahnya, seperti kasus JIS ini," tandas Gufron.

Dua tahun silam, tepatnya 26 April 2014, berita kematian Azwar (27), seorang tersangka kasus sodomi di JIS, sangat mengejutkan. Kabid Humas Polda Metro Jaya saat itu, Kombes Rikwanto, mengatakan, Azwar dinyatakan meninggal karena keracunan setelah minum cairan pembersih lantai.

Namun keluarga dan kuasa hukum Azwar meyakini kematiannya tak wajar. Sebab pada wajah Azwar ditemukan penuh lebam dan bibir pecah. Keluarga percaya ada indikasi kuat bahwa sebelum meninggal Azwar disiksa dengan dipukul.

Terlebih, pihak keluarga juga mendapatkan keterangan medis yang mengungkap ada retak di kepala almarhum akibat pemukulan. Selain itu ada juga kesaksian yang disampaikan petugas yang memandikan mayat Azwar terkait adanya luka tersebut. Petugas itu mengatakan ada luka lebam dan bibir pecah. Selain itu, jika benar Azwar minum racun maka mulutnya dipastikan berbusa, namun, pada jenazah Azwar busa dimaksud tidak ada.

Irfan Fahmi, kuasa hukum Azwar, juga melihat ada yang janggal dalam kematian Azwar yang disebut mengonsumsi cairan pembersih dan pewangi di toilet unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Saat itu, Direktorat Kriminal Khusus Polda mengumumkan tersangka tanpa menyebut Azwar.

Ada kesan, polisi menghilangkan Azwar dari kasus ini. "Padahal Azwar adalah saksi kunci hingga lima pekerja kebersihan ditetapkan sebagai tersangka," tegas Irfan.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga melihat ada yang tidak beres dalam penanganan kasus JIS. Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala saat itu mengatakan, untuk kasus JIS, khusus pekerja kebersihan ada dugaan para penyidik ditunjuk secara tidak patut (ahli).

PLEDOI BUKA TABIR - Lima pekerja JIS dalam pledoinya di pengadilan menyangkal semua tuduhan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU). Kelima petugas kebersihan JIS itu mengaku tidak tahu menahu kasus sodomi yang terjadi di JIS. Mereka mengaku baru mengetahui adanya tuduhan keterlibatan mereka setelah ditanyakan polisi di Polda Metro Jaya.

Agun Iskandar dalam pledoinya mengatakan, penyidik polisi kerap melakukan kekerasan verbal dan fisik agar dirinya mengakui perbuatan sodomi seperti yang dituduhkan. "Pada saat itu saya dipaksa mengakui perbuatan sodomi," kata Agun saat membacakan pembelaannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Hal yang sama juga disampaikan Virgiawan Amin. Dia juga mengaku mendapat intimidasi dan kekerasan agar mengakui perbuatan yang dituduhkan. Karena takut disiksa, kelima pekerja akhirnya terpaksa mengakui.

Saat persidangan, kelimanya mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi itu. Sayangnya, majelis hakim tetap menyatakan kelimanya bersalah dan terbukti melakukan sodomi. Africha divonis tujuh tahun penjara dan empat lainnya delapan tahun penjara.

Para pekerja kebersihan JIS itu pun berupaya melakukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun Pengadilan Tinggi justru memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka kemudian mengajukan kasasi namun Mahkamah Agung menolak kasasinya.

Kini mereka bersiap melakukan PK untuk mencari keadilan. "Belum terima salinan putusan kasasi, dari putusan akan kita lihat pertimbangan hakim MA untuk kemudian melakukan langkah hukum yakni PK," kata Saut.

Nasib pekerja kebersihan JIS itu sempat berbeda dengan dua guru JIS Neil Bantlemen dan Ferdinant Tjiong. Dua guru itu sempat dinyatakan bebas di tingkat banding. Namun di tingkat kasasi, MA malah menghukum keduanya 11 tahun penjara.

BACA JUGA: