JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung belum juga mengajukan gugatan perdata atas kasus gagal bayar obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,4 triliun. Kejaksaan beralasan sebagai Jaksa Pengacara Negara belum menerima surat kuasa khusus (SKK) dari Kementerian Keuangan.

"Kita pengacara negara, selama ada SKK kita dampingi untuk kita gugat secara perdata," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi di Kejaksaan Agung, Kamis (30/7).

Tanpa SKK tersebut, kata Bambang, JPN tidak bisa berbuat apa-apa. Namun jika SKK untuk melakukan gugatan telah diterima, JPN siap melakukan gugatan terhadap gagal bayar Sjamsul Nursalim tersebut.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk mengusut kasus BLBI harus disertai pertimbangan matang agar tidak mudah digugat melalui praperadilan. "Lihat nanti, jangan juga dilakukan penyidikan, ternyata nanti dikalahkan di praperadilan. Kami pelajari dulu," kata Prasetyo.

Sjamsul Nursalim merupakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp27,4 triliun. Setelah dilakukan sita aset dan lainnya, Sjamsul Nursalim ternyata masih belum melunasi kewajiban kurang bayar sebesar Rp4,758 triliun setelah diterbitkannya Surat Keterangan Lunas (SKL).

SKL sendiri adalah kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2004 oleh Megawati Soekarnoputri saat masih menjabat Presiden RI. Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Presiden (inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Inpres itu menjanjikan para obligor yang melunasi utang BLBI dibebaskan dari tuntutan hukum, sesuai SKL yang diterbitkan.

Kasus itu bermula dari adanya dugaan penyalahgunaan dana BLBI yang dikucurkan pada sejumlah bank di Indonesia. Dalam proses penyidikan, Kejagung menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana BLBI dan bahkan telah diterbitkan surat penahanan.

Namun upaya penahanan Sjamsul gagal, karena Jaksa Agung Marzuki Darusman kala itu mengabulkan permohonan izin berobat Sjamsul ke Kokura Memorial Hospital, Osaka, Jepang, selama tiga minggu. Usai berobat, Sjamsul malah bersembunyi di Singapura sampai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan SKL untuk Sjamsul.

KPK, yang juga mengusut kasus BLBI, malah menangkap Ketua Tim Penyelidik BLBI BDNI, Urip Tri Gunawan. Ia diduga menerima suap dari kerabat Sjamsul Nursalim sebesar US$660 ribu setara Rp6,1 miliar. Urip lalu divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

KPK sendiri saat ini masih mendalami dugaan penyalahgunaan para penerima dana BLBI dan telah memanggil banyak pihak. Rini Soemarno yang saat itu menjabat Menteri Perdagangan juga telah dipanggil KPK. Bahkan KPK berencana memanggil Presiden saat itu Megawati Soekarnoputri.

Wakil Ketua KPK saat itu Bambang Widjojanto menegaskan KPK tetap akan mengusut skandal BLBI termasuk kemungkinan menjerat Sjamsul Nursalim. KPK, kata Bambang, tidak akan menghentikan kasus tersebut. "Belum sampai putus akhir, sekarang masih berjalan," tandasnya.

Bambang juga pernah mengatakan tidak kesulitan untuk memeriksa debitur BLBI Sjamsul Nursalim jika keterangannya diperlukan. Pemeriksaan tersebut akan dilakukan terkait penyelidikan atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) beberapa obligor BLBI.

"Untuk menuntaskan kasus ini, kalau memeriksa kasus dia (Sjamsul), ya harus dipanggil kan. Cuma sekarang sih so far belum ada permohonan itu," ujar Bambang di Jakarta, Selasa (23/12).

Hanya saja, kasus ini kemudian lenyap begitu saja seiring pergantian pucuk pimpinan di KPK. Pada masa kepemimpinan KPK yang sekarang, kasus BLBI tak lagi terdengar perkembangannya.

KASUS SAMADIKUN - Peneliti di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi menilai, meskipun SKK belum juga diterima JPN, Kejaksaan bisa membuka kembali kasus BLBI. Salah satunya dengan menerbitkan surat perintah penyidikan baru dengan pengusutan tindak pidana pencucian uang di pusaran korupsi ini.

Apung juga meminta penegak hukum untuk menuntaskan kasus BLBI, karena akan segera memasuki masa kedaluwarsa. "Pintu masuknya lewat terpidana Samadikun Hartono yang telah ditangkap setelah 13 tahun buron," kata Apung.

Saat ini Kejaksaan Agung tengah menginventarisir aset-asetnya untuk disita. Samadikun diperintahkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp169 miliar.

Kejaksaan Agung juga sudah memperingatkan Samadikun Hartono agar segera melunasi uang pengganti sebesar Rp169 miliar tahun ini. Jika tidak segera dilunasi, Kejaksaan mengancam akan menyita dan melelang aset milik Hartono yang saat ini dalam penyitaan pihaknya.

Peringatan tegas ini disampaikan kejaksaan menyusul tidak dipatuhinya tenggat pembayaran cicilan pertama pada 31 Mei 2016. Kendati belakangan mereka membayar cicilan sebesar Rp21 miliar.   

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah mengatakan, meski Samadikun sudah membayar cicilan pertama, namun tim eksekutor tetap berharap Samadikun melunasi kewajibannya, untuk membayar uang pengganti Rp169 miliar secepatnya.

"Tentu, secepatnya dibayar uang pengganti (sebelum masa pidana Samadikun Hartono selama empat tahun selesai dijalani)," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kamis (16/6) malam.

Armin memastikan jika Samadikun tidak melunasi uang penggantinya dalam waktu cepat maka semua asetnya akan disita dan dilelang guna menutupi kewajibannya membayar uang pengganti Rp169 miliar. Sebab saat ini Kejaksaan sudah menyita sejumlah aset miliknya, seperti sertifikat tanah dan bangunan, di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat.

Aset ini ditaksir nilainya Rp50 miliar. Tim eksekutor juga akan menyita aset-aset Samadikun lainnya. "Aset-asetnya kita sita, kita lelang untuk bayar uang penggantinya," tandas Arminsyah.

Sebelumnya Jaksa Agung HM Prasetyo meminta Tim Eksekutor menolak cara mencicil uang pengganti Hartono. Sebab Kejaksaan Agung menilai dari aset yang dimiliki Samadikun, ia mampu melunasinya kewajiban itu dengan sekali bayar. "Saya perintahkan tim jaksa untuk tidak menyetujui cara mencicil itu," kata Prasetyo beberapa waktu laku.

Direktur Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi (Uheksi) Ahmad Zainuri menegaskan ancaman Prasetyo kepada Samadikun karena batas waktu pencicilan, 31 Mei 2016 tidak dilunasi oleh sang koruptor tanpa alasan. Padahal, keluarga Samadikun telah sepakat akan membayar cicilan pertama pada  31 Mei 2016.

Tim eksekutor dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat mengultimatum Samadikun, buronan 13 tahun itu untuk melunasinya. Jika sampai, 31 November tidak melunasi kewajiban tahun pertama Rp42 miliar, maka semua asetnya akan disita dan dilelang.

Seperti diketahui, Samadikun mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp2,557 triliun pada 1998 yang kemudian disalahgunakan. Akibatnya, negara dirugikan Rp169 miliar. Samadikun kemudian melarikan diri sebelum putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1696 K/Pid/2002, 28 Mei 2003 yang menjatuhkan hukuman empat tahun penjara  kepadanya dieksekusi.

BACA JUGA: