JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tengah melakukan program zero outstanding terhadap sejumlah kasus yang mangkrak di lembaganya. Sejumlah kasus mangkrak yang telah mengendap lama itu akan diputuskan nasibnya, apakah akan dihentikan perkaranya melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau akan dilanjutkan.

Kejagung mengaku tengah menginventarisir kasus-kasus korupsi yang mengendap di Kejagung untuk diambil sikap. Kejagung menyatakan akan mengikis tunggakan kasus yang hingga kini tidak jelas penanganannya.

Jaksa Agung HM Prasetyo menyampaikan, jajaran jaksa pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) sedang melakukan program zero outstanding. Langkah ini untuk memperjelas sejumlah kasus-kasus korupsi lama yang tidak ada kejelasan.

"Jadi kita harus berasumsi bahwa nggak semua kasus yang ditangani harus keluar di persidangan tergantung alat bukti," kata Prasetyo.

Prasetyo tidak menjelaskan kasus-kasus apa saja yang akan diteliti. Namun Prasetyo menegaskan jaksa akan melihat kelengkapan alat buktinya. Jika alat bukti cukup akan dilanjutkan, sebaliknya jika alat bukti kurang lengkap akan dihentikan perkaranya.

Sementara Jampidsus Arminsyah mengemukakan alasan suatu kasus tidak dilanjutkan penanganannya. Pertama, alat bukti, penyelidik akan melihat ada tidaknya tindak pidana untuk bisa dilanjutkan ‎ke penyidikan. Jika di penyidikan, juga akan dilihat alat buktinya.

"Ya kalau nggak ada, selesai," kata Armisnyah.

Saat ini tim jaksa mulai bekerja menginventarisir kasus-kasus lama itu. Armin juga enggan menyebut kasus-kasus apa saja yang bakal dievaluasi untuk dihentikan penanganannya.

KASUS MANGKRAK - Dalam 10 tahun terakhir ada sejumlah kasus korupsi yang mangkrak dan tak jelas penuntasannya di Gedung Bundar. Di antaranya kasus Bank Mandiri dengan debitor PT Lativi Media Karya. Tiga tersangka yakni Abdul Latief, Hasyim Sumiana dan Usman Dja’far tak tersentuh.

Lalu kasus pembobolan dana Bali Tour Development Corporation (BTDC) di Bank Permata, Kenari, Jakarta Pusat, dengan tersangka Dwika Noviarti (Kepala Bank Permata Cabang Kenari) dan Direktur Keuangan BTDC Solichin juga tak jelas penuntasannya.

Dalam kasus jaringan sampah di Dinas PU DKI Jakarta, Kejaksaan Agung juga tengah meneliti berkas perkara mantan Kepala Dinas PU DKI Jakarta Ery Bhasworo untuk tidak dilanjutkan. Padahal tersangka lain terbukti bersalah.

Demikian juga dengan kasus BJB Tower dengan tersangka Dirut PT Comradindo Lintasnusa Perkasa Tri Wiyasa. Status Tri Wiyasa tak jelas setelah Pengadilan Jakarta Selatan menerima gugatan praperadilan Tri Wiyasa atas penetapan tersangka.

Kemudian kasus bioremediasi Chevron. Satu tersangkanya, Alexia Tirtawidaja hingga kini masih buron. Sementara eksekusi uang pengganti sebesar Rp100 miliar baru dibayar Rp1 miliar. Namun jaksa sepertinya diam saja.

Kasus penyalahgunaan frekuensi PT IM2 anak usaha PT Indosat. Saat ini masih ada empat tersangka yang belum dilimpahkan ke pengadilan yakni Johnny Swandy Sjam, Hari Sasongko dan korporasi PT Indosat Tbk dan PT IM2 Tbk.

Ada juga kasus-kasus baru yang penanganannya tak jelas. Bahkan kasus-kasus ini terancam akan dihentikan penyidikannya. Di antaranya kasus penjualan cessie PT Victoria Securities International. Ada empat orang yang sempat mendapat pencekalan. Pemilik PT Bank Panin Mukmin Ali Gunawan juga telah diperiksa. Namun saat ini belum satu pun dari mereka yang ditetapkan tersangka.

Kemudian kasus manipulasi restitusi pajak oleh PT Mobile-8. CEO MNC Grup Harry Tanoesoedibjo juga telah diperiksa. Namun kasus ini juga belum ada penetapan tersangka.

Terakhir kasus dugaan Papa Minta Saham yang terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Dalam kasus Freeport ini, Kejaksaan telah meminta keterangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin serta Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Namun kasus ini juga tak jelas kelanjutannya.

HARUS TRANSPARAN - Evaluasi kasus-kasus lama oleh Jampidsus,  menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar harus dilakukan secara transparan. Apalagi kasus-kasus tersebut telah masuk penyidikan dengan penetapan tersangka. Namun kasus itu kemudian tiba-tiba dihentikan.

"Harus transparan, kalau SP3 kasus itu disampaikan sebagai informasi publik, bukan rahasia," kata Fickar beberapa waktu lalu.

Sebab penghentian suatu penyidikan kasus dugaan korupsi apalagi sudah menetapkan tersangka menimbulkan pertanyaan, pasalnya kasus puluhan miliar bisa dihentikan secara tiba-tiba dengan alasan tidak ada unsur kerugian negara. Semestinya SP3  diperlakukan sama seperti saat berkas perkara P21 yang selalu disampaikan ke publik.

"Mestinya satgassus bisa lebih komprehensif supaya tidak ada SP3 di tengah jalan. Kan kesannya mencari-cari kalau ujungnya di-SP3. Mestinya kalau enggak ada buktinya jangan dipaksakan," kata Fickar.

BACA JUGA: