JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung memperingatkan Samadikun Hartono, terpidana korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Modern, segera melunasi uang pengganti sebesar Rp169 miliar tahun ini. Jika tidak segera dilunasi, Kejaksaan mengancam akan menyita dan melelang aset milik Hartono yang saat ini dalam penyitaan pihaknya.

Peringatan tegas ini disampaikan kejaksaan menyusul tidak dipatuhinya tenggat pembayaran cicilan pertama pada 31 Mei 2016. Kendati belakangan mereka membayar cicilan sebesar Rp21 miliar kemarin.   

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah mengatakan, meski Samadikun sudah membayar cicilan pertama, namun tim eksekutor tetap berharap Samadikun melunasi kewajibannya, untuk membayar uang pengganti Rp169 miliar secepatnya.

"Tentu, secepatnya dibayar uang pengganti (sebelum masa pidana Samadikun Hartono selama empat tahun selesai dijalani)," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kamis (16/6) malam.

Armin memastikan jika Samadikun tidak melunasi uang penggantinya dalam waktu cepat maka semua asetnya akan disita dan dilelang guna menutupi kewajibannya membayar uang pengganti Rp169 miliar. Sebab saat ini Kejaksaan sudah menyita sejumlah aset miliknya, seperti sertifikat tanah dan bangunan, di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Aset ini ditaksir nilainya Rp50 miliar. Tim eksekutor juga akan menyita aset-aset Samadikun lainnya.

"Aset-asetnya kita sita, kita lelang untuk bayar uang penggantinya," tandas Arminsyah.

Sebelumnya Jaksa Agung HM Prasetyo meminta Tim Eksekutor menolak cara mencicil uang pengganti Hartono. Sebab Kejaksaan Agung menilai dari aset yang dimiliki Samadikun, ia mampu melunasinya kewajiban itu dengan sekali bayar.

"Saya perintahkan tim jaksa untuk tidak menyetujui cara mencicil itu," kata Prasetyo beberapa waktu laku.

Direktur Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi (Uheksi) Ahmad Zainuri menegaskan ancaman Prasetyo kepada Samadikun karena batas waktu pencicilan, 31 Mei 2016 tidak dilunasi oleh sang koruptor tanpa alasan. Padahal, keluarga Samadikun telah sepakat akan membayar cicilan pertama pada  31 Mei 2016.

Tim eksekutor dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat mengultimatum Samadikun, buronan 13 tahun itu untuk melunasinya. Jika sampai, 31 November tidak melunasi kewajiban tahun pertama Rp42 miliar, maka semua asetnya akan disita dan dilelang.

Seperti diketahui, Samadikun mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp2,557 triliun pada 1998 yang kemudian disalahgunakan. Akibatnya, negara dirugikan Rp169 miliar. Samadikun kemudian melarikan diri sebelum putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1696 K/Pid/2002, 28 Mei 2003 yang menjatuhkan hukuman empat tahun kepadanya dieksekusi.

KEJAR SETORAN - Ngototnya Kejaksaan Agung agar Samadikun tak membayar secara mencicil cukup beralasan. Diketahui Samadikun yang buron dan menetap di Singapura memiliki sejumlah aset di Singapura, bahkan dikabarkan sempat mengembangkan bisnisnya di Vietnam. Dengan keleluasan membayar secara mencicil bisa diibaratkan memberikan keistimewaan terhadap buronan koruptor ini.

Terlebih jangka waktu selama empat tahun ke depan akan berdampak menurunnya nilai setoran ke kas negara sebagai PNBP. Untuk itu demi meningkatkan setoran PNBP, uang pengganti Samadikun harus dibayar lunas tahun ini.

"Dia punya kemampuan kita punya dugaan. Jangan menunda-nunda ‎karena alasan regulasi," tegas Prasetyo.

Seperti diketahui PNBP Kejaksaan Agung periode Januari hingga September sebesar Rp512 miliar. PNBP ini sudah memenuhi target yang hanya Rp160 miliar.

Ada 26 item sumber PNBP Kejaksaan Agung selama medio Januari-September 2015. Di antaranya pendapatan uang sitaan tindak pidana pencucian uang yang ditetapkan pengadilan sebesar Rp93 miliar. Pendapatan uang sitaan hasil korupsi sebesar Rp29 miliar. Pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi sebesar Rp79 miliar. Pendapatan hasil sitaan dan rampasan dan harta peninggalan sebesar Rp71 miliar. Pendapatan hasil lelang pidana korupsi sebesar Rp41 miliar dan penjualan dokumen pelelangan sebesar Rp1 miliar.

Untuk bisa memperbesar setoran PNBP-nya Kejaksaan Agung juga bisa segera mengeksekusi uang pengganti kasus korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) sebesar Rp1,3 triliun. Namun Kejaksaan hingga kini belum juga bergerak untuk mengeksekusi perkara tersebut.

Begitu juga dengan eksekusi uang pengganti kasus bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia sebesar Rp100 miliar yang juga tidak dilakukan Kejaksaan Agung. Jaksa hanya mengeksekusi Rp1 miliar.

Lebih jauh tunggakan pengembalian dari uang pengganti sebesar Rp4 triliun yang tak tertagih oleh Kejaksaan Agung dari kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Obligor BLBI lainnya adalah David Nusa Wijaya yang merupakan terpidana kasus korupsi BLBI sebesar Rp1,3 triliun pada tahun 1998-1999. Pada tahun 2003, MA memvonis David hukuman pidana denda Rp30 juta dan membayar uang pengganti ke negara Rp1,2 triliun.

Data yang dihimpun gresnews.com, proses pengembalian kerugian negara dari tangan para koruptor saat ini masih belum optimal. Dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 2001, nilai kerugian negara yang harus dikembalikan mencapai Rp168,1 triliun. Namun Kejaksaan baru bisa mengembalikan 9 persennya atau sekitar Rp15 triliun.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) kurun 2004-2014, piutang uang pengganti kerugian negara yang belum disetorkan kejaksaan terus terakumulasi dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2004, total piutang uang pengganti yang belum disetor sebesar Rp6,66 triliun. Setiap tahun jumlahnya meningkat hingga mencapai Rp13,14 triliun pada akhir 2013.

BACA JUGA: