JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berlangsung sejak belasan tahun lalu ternyata tidak bisa dilupakan begitu saja. Apalagi bila mengingat kerugian negara yang disebabkan dalam perkara ini terbilang sangat signifikan yaitu sekitar Rp600 triliun.

Kerugian dalam kasus ini tidak hanya disebabkan oleh para debitur saja, tetapi ada andil pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Salah satunya terkait dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya, yang diteken oleh Megawati.

Isi dari Inpres tersebut adalah pemberian jaminan kepastian hukum atau tindakan debitur terkait BLBI. Mereka bisa saja terlepas dari jeratan hukum jika mampu membayar kembali aset-asetnya. Padahal, pengembalian kerugian keuangan negara tidak bisa menghilangkan suatu perbuatan pidana.

Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho meminta agar Presiden Joko Widodo membatalkan Inpres tersebut. Karena dengan adanya peraturan itu bisa menghalangi penuntasan kasus korupsi BLBI. "Dalam konteks BLBI silang sekngkarut. Tidak tuntas 5-10 tahun lalu. Di era Jokowi, tidak ada kata tuntaskan kasus BLBI. Jangan-jangan ada upaya lupakan kasus BLBI," kata Emerson di kantornya, Minggu (1/5).

Emerson mengatakan, menurut catatan lembaganya, penanganan BLBI tertunda tanpa alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Dari kasus-kasus itu, baru 16 yang masuk proses pengadilan, 11 kasus dihentikan, dan 38 kasus lain masih tidak ada kejelasan apakah dilanjutkan ataupun tidak.

"Kedua, diduga kasus ini ditujukan melindungi korupsi sesungguhnya. Menarik juga, dinilai tanggung jawab tetapi tidak diproses, dihentikan di penyidikan," pungkasnya.

Kemudian pada 2007, Kejaksaan Agung membentuk tim khusus namun setahun kemudian tim itu dihentikan karena dianggap tidak ada unsur melawan hukum. Kemudian sejak 2008 tidak ada kasus BLBI yang diproses setelah era Sjamsul Nursalim, debitur lain tidak ada yang diproses.

BUKA LAGI KASUS BLBI - Emerson juga menyatakan, pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) yang berujung pada penerbitan Surat Penghentian Perkara Penyidikan (SP3) juga salah kaprah. Akibat pemberian tersebut, setidaknya ada 11 kasus korupsi BLBI yang dihentikan.

"Presiden perintahkan Menkeu umumkan kewajiban debitur BLBI. Setelah 2006 itu tidak jelas siapa saja debitur yang selesaikan utangnya. Masuk bunga enggak," tuturnya.

Selain itu proses lelang aset para debitur juga tidak menuai kejelasan dan bahkan berlarut-larut. Data kasus korupsi pada 2005 juga tidak diikuti dengan berapa jumlah kasus yang dihentikan, namun tiba-tiba muncul kasus cessie Bank Bali. "Kasusnya Setya Novanto di-SP3 jelang diangkat Ketua DPR," imbuhnya.

"Kami minta Jokowi perintahkan buka kembali kasus-kasus yang dihentikan perlu sinkronisasi utang-utang mereka. 10 tahun terakhir ini lunasi utangnya," imbuh Emerson.

KPK sebenarnya ketika rezim Antasari Azhar sudah membuka peluang untuk melakukan supervisi kasus BLBI. Namun, karena ada kriminalisasi terhadap Antasari dan hal itu berulang pada pimpinan Abraham Samad, maka pengusutan kasus tersebut kembali mandek.

"Tahun 2008 saat Antasari dia bentuk empat tim pengkajian, 2014 juga dibentuk tim penyelidikan BLBI KPK. Setelah ada kriminalisasi tidak terdengar lagi. Debitur terselamatkan krimanalisasi KPK," imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Chaerul Imam mengatakan pada masa itu memang ada perjanjian Master of Settlement and Acqusition Agreement (MSAA) yaitu perjanjian mengembalikan BLBI dengan jaminan aset.

Dan dari perjanjian itu saja, kasus pidana terkait BLBI bisa digugurkan. Pemerintah seperti Menteri Keuangan, Gubernur BI dan juga Kapolri pada saat itu ikut menandatangani perjanjian tersebut. Hanya Kejaksaan Agung yang ketika itu dipimpin oleh Andi Ghalib menolaknya.

"Sudah terjadi pidana bisa digugurkan dengan kertas MSAA. Tidak mau tandatangan cuma satu, Jaksa Agung kebetulan Andi M Ghalib, itu menguntungkan kita. Menkeu, Gubernur BI, Kapolri tandatangan. Kalau kejaksaan tuntut terus tetap orang diusut. Ganjalan yuridis banyak tidak tuntas," ujar Chaerul.

Namun, sikap keras tersebut justru membuat pemerintah berang. Beberapa pejabat Gedung Bundar yang terus mengusut kasus tersebut akhirnya dipindahkan, termasuk Chaerul sendiri. Padahal, pihaknya ketika itu hanya menginginkan agar kasus tersebut benar-benar jelas dan bisa mempidanakan orang yang bersalah.

BACA JUGA: