JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah permisalan yang tepat atas nasib Eko Budiwiyono. Setelah dicopot sebagai Direktur Utama Bank DKI Juni 2015, kini Eko harus menghadapi proses hukum kasus dugaan kredit fiktif yang merugikan negara sebesar Rp267 miliar.

Eko bersama mantan Direktur Pemasaran Bank DKI Mulyanto Wibowo ditetapkan sebagai tersangka, Rabu (20/4). Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan cukup bukti dugaan keterlibatan keduanya. Sebagai direksi saat itu, Eko dan Mulyanto diduga ikut berperan menggelontorkan kredit kepada PT Likotama Harum.

Eko dan Mulyanto pun dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang mengatakan, keduanya diduga ikut berperan dalam membuat sejumlah pengucuran kredit fiktif. Para pelaku disinyalir mengetahui dan ikut membantu dalam hal pengucuran sejumlah dana sehingga kredit bodong itu bisa cair dengan cepat.

"Kan ada data-data yang tidak benar. Mereka tidak memeriksa, sehingga ada dugaan pembiaran," kata Sudung di Gedung Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (20/4).

Data yang dimaksud Sudung adalah data yang menyebut bahwa PT Likotama disebut sebagai pemenang tender, padahal tender itu tak pernah ada. Dalam fakta sebenarnya, para penyusun analisis dan pemutus kredit sudah mengetahui bahwa PT Likotama bukan pemenang lelang sebenarnya. PT Likotama juga hanya menyerahkan fotokopi kontrak atau SPK sebagai jaminan dan bukan dokumen aslinya.

Dari hasil penyidikan pihak Kejati DKI, diketahui cacat administrasi PT Likotama tersebut tak diindahkan oleh pihak Bank DKI. Ada prosedur pengajuan kredit yang dilanggar sesuai pedoman perusahaan, dan direksi ikut menyetujui pemberian kredit kepada Likotama.

"Setelah pencairan kredit itu, bukan digunakan sebagai modal oleh PT Likotama melainkan disalurkan kepada pihak lain," kata Sudung.

Bahkan, kata Sudung, PT Likotama tidak pernah mengerjakan proyek sesuai perjanjian pengajuan kredit. Proyek dimaksud, malah dikerjakan oleh perusahaan lain, dan fatalnya pekerjaan itu tidak selesai-selesai.

Kini Sudung masih menyelidiki soal adanya aliran dana atau kick back untuk kedua tersangka itu. Pasalnya, kemungkinan besar keduanya juga ikut menerima aliran uang. "Nanti masih kami lihat ya. Minggu depan kami periksa dulu ya sekaligus akan mencekalnya bepergian ke luar negeri," tegasnya.

Sebelumnya, Kejati DKI Jakarta telah menetapkan empat tersangka dalam perkara yang sama. Keempat tersangka itu adalah Kepala Kredit Komersial Korporasi Bank DKI Dulles Tampubolon, Account Officer Korporasi Bank DKI Hendri Kartika, Pimpinan Divisi Risiko Kredit di Grup Manajemen Risiko Bank DKI Gusti Indra Rahmadiansyah, dan pemilik PT Likotama Harum dan PT Mangkubuana Hutama Jaya (MHJ) Supendi.

Perkara atas nama Dulles, Hendri, dan Supendi saat ini telah disidangkan dan mulai masuk tahap penuntutan. Sementara Gusti Indra masih disidik oleh Kejati DKI Jakarta sampai saat ini.

ADA PEMBIARAN - Perlu diketahui, kasus pembobolan Bank DKI Jakarta yang terjadi pada 2013 silam saat Bank DKI dipimpin Eko. Selama 2,5 tahun rupanya kinerja Bank DKI makin mengecewakan. Banyak kredit macet sehingga ikut berdampak pada likuiditas Bank DKI.

Kesehatan Bank DKI saat itu terganggu. Hal itu bisa dilihat dari persentase kredit macet atau nonperforming loan Bank DKI yang meningkat.

Pada kuartal pertama 2015, kredit macet Bank DKI hampir menyentuh 5 persen atau Rp1,3 triliun, meningkat dibandingkan kuartal pertama tahun lalu yang hanya 2 persen. Tak heran jika Juni 2015 lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank DKI direksi dirombak.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencopot Direktur Utama Bank DKI Eko Budiwiyono dari jabatannya. Eko diganti dengan mantan Direktur Teknologi dan Operasional Bank Mandiri Kresno Sediarso.

Saat itu Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) DKI Jakarta Catur Laswanto mengatakan perombakan dilakukan dengan alasan karena performa Bank DKI di tahun 2014 mengalami penurunan drastis. Kinerja Bank DKI menurun signifikan, terlihat dari tingginya rasio kredit yang bermasalah.

Belakangan, terbukti penurunan kinerja itu terjadi lantaran dana kredit bank milik Pemprov DKI itu banyak digangsir para petingginya. Salah satunya adalah kasus kredit fiktif ke PT Likotama.

Kasus kredit fiktif Bank DKI ini dipercaya tidak akan terjadi tanpa adanya peran orang dalam. Buktinya, PT Likotama yang nyata-nyata tidak layak mendapat fasilitas kredit malah diloloskan.

Para penyusun MAK (Memorandum Analisis Kredit) dan pemutus kredit telah mengetahui bahwa PT Likotama bukan pemenang lelang sebenarnya. "Sebagai direksi mereka tidak cek datanya, mereka ikut menyetujuinya," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Waluyo.

Lebih jauh Waluyo menjelaskan, kasus ini bermula saat PT Likotama Harum sebagai nasabah Bank DKI, mengajukan kredit penambahan plafon modal kerja Rp230 miliar. Permohonan kredit itu disertai dengan agunan berupa aset kantor Rp130 miliar dan jaminan asuransi pada Jasindo Rp10 miliar.

Dalam pengajuan kredit tertanggal 18 April 2013 tersebut, PT Likotama Harum minta tenggat waktu pengembalian selama satu tahun. Terhitung sejak 6 Juni 2013 sampai 6 Juni 2014. Pemberian kredit modal kerja tersebut untuk menggarap pekerjaan pembangunan jembatan Selat Rengit, Kepulauan Meranti, Riau senilai Rp212 miliar.

Dana kredit itu juga rencananya untuk membiayai pembangunan pelabuhan di kawasan Dorak, Selat Panjang, Riau Rp83,5 miliar. Dana itu rencananya juga akan dipakai untuk pembangunan Gedung RSUD Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, serta pengadaan konstruksi bangunan sisi utara Kabupaten Paser.

Proposal permohonan kredit tersebut ditangani Bank DKI melalui Grup Komersial Korporat (GKK) dan Grup Risiko Kredit (GRK). Bank DKI juga mendasari pemberian kredit dengan merujuk Buku Pedoman Perusahaan (BPP) Kredit nomor 425 tanggal 30 Desember 2010.

Penetapan kredit Likotama Harum ini dilakukan oleh Dewan Direksi beserta Direktur Utama Bank DKI saat itu. Hingga tenggat waktu Likotama tak memenuhi janjinya.

Berdasarkan hasil penyelidikan jaksa, pencairan kredit kerja yang diterima Likotama Harum, justru dipakai untuk menyuplai dana pekerjaan yang digarap perusahaan lain. Termasuk PT Likotama menyalurkan dana hasil pencairan kredit di Bank DKI kepada pihak lain.

Setelah diteliti, pengalihan pekerjaan dari PT Likotama Harum kepada PT Mangkubuana Hutama Jaya juga tidak beres karena pekerjaan yang dibebankan tidak selesai. Dalam penyelidikan, jaksa menemukan adanya dugaan penyimpangan terkait tidak adanya upaya Bank DKI mengklaim asuransi yang dijadikan agunan kredit ketika terjadi kerugian.

Terkait kasus ini, Corporate Secretary Bank DKI Zulfarshah mengatakan menyerahkan sepenuhnya proses hukum yang saat ini disidik Kejati DKI Jakarta. "Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Termasuk pemeriksaan para direksi Bank DKI," katanya.

BACA JUGA: