JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin (11/4). Hasilnya kembali menangkap empat orang yang diduga melakukan tindak pidana suap diantaranya, Bupati Subang Ojang Sohandi dan ajudannya yang berinisial WI. Dua lainnya adalah anak buah Jaksa Agung yakni jaksa Kejati Jabar berinisial D, dan Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan Subang, berinisial L. Penangkapan tersebut diduga terkait kasus korupsi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Pemerintah Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Atas penangkapan empat orang tersebut, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Ahmad Ansyori menyesalkan kejadian itu dan meminta para penegak hukum memprosesnya. "Kami prihatin atas kasus tersebut, apabila terkait kasus korupsi BPJS," kata Ansyori kepada gresnews.com saat dimintai tanggapannya soal adanya oknum Dinkes Subang yang tertangkap KPK, Selasa (12/4).

Ansyori menjelaskan, bahwa kasus ini bisa dijadikan titik balik, momentum untuk memperbaiki penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional. Ada beberapa hal yang perlu untuk diperjelas, pertama, mencari simpul masalah yang muncul dari program BPJS ini. Kedua, memitigasi potensi risiko sejenis agar tak terulang lagi di masa mendatang.

"Jelas kasus ini berdampak pada pelayanan dan mempengaruhi reputasi BPJS Kesehatan, bahkan reputasi Jaminan Kesehatan Nasional," jelasnya.

Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Wacth Timboel Siregar mengatakan kasus korupsi yang melibatkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Subang, Jawa Barat, dan Kepala Pelayanan Kesehatan Dinkes Subang terkait pemotongan dana BPJS kesehatan sebesar Rp4,7 miliar merupakan satu bukti kelemahan sistem BPJS yang dapat dimanfaatkan oknum pemda.

Timboel menjelaskan bahwa Pemda Subang telah mengikutsertakan jaminan kesehatan daerah ke BPJS Kesehatan.  Alokasi dana yang disiapkan untuk program integrasi Jamkesda ke BPJS Kesehatan mencapai Rp16 miliar. "Namun dari dana tersebut ada Rp4,7 miliar yang tidak direalisasikan kerjasama dengan BPJS Kesehatan," kata Timboel kepada gresnews.com, Selasa (12/4).

Menurutnya, sebelum beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, tiap pemerintah daerah telah menyelenggarakan Jamkesda sendiri-sendiri. Pemda lah yang langsung berhubungan dengan pihak rumah sakit, terutama dalam pengurusan pembayaran Jamkesda. Pemda-pemda menyelenggarakan jamkesdanya secara sendiri-sendiri dengan langsung berhubungan dengan rumah sakit-rumah sakit.

Dari hasil evaluasi, sistem ini tak baik lantaran membuka peluang terjadinya korupsi antara pemda dengan pihak rumah sakit. Untuk itulah dibuat sistem baru dimana Jamkesda akan menjadi bagian dari Jamkesmas yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan.

Sebenarnya dengan diintegrasikannya jamkesda ke BPJS Kesehatan seharusnya potensi korupsi tersebut bisa ditekan dimana dana harus langsung ditransfer ke BPJS sebagai iuran Jamkesda. "Adanya kasus korupsi Subang ini menjadi celah bagi pemda untuk tetap mengorupsi dana jamkesda," jelasnya.

TUNGGAKAN UTANG - Ia menyebutkan hingga saat ini masih banyak pemda yang menunggak pembayaran iuran Jamkesdanya ke BPJS kesehatan. "Terjadinya penunggakan iuran ini menjadi celah untuk terjadinya korupsi yang dilakukan Dinas Kesehatan-Dinas Kesehatan," tegasnya.

Menurutnya, selama ini BPJS kesehatan mengalami kesulitan menagih piutang-piutang tersebut. Dari sisi penerapan sanksi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminstratif tidak bisa diterapkan kepada pemda-pemda karena PP 86 tersebut hanya digunakan untuk pemberi kerja di luar penyelenggara negara.

Selain itu, mengingat masih banyaknya piutang BPJS ke pemda-pemda maka sudah seharusnya BPJS dengan bantuan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan penagihan secara proaktif. "Saya yakin dengan lebih proaktifnya BPJS menagih piutangnya maka kasus-kasus korupsi seperti yang terjadi di Subang akan lebih banyak lagi terkuak," ucapnya.

Sementara itu, BPJS Kesehatan harus juga melibatkan pihak kepolisian untuk menagih piutangnya tersebut dan bila tidak dibayarkan dan ada indikasi korupsi maka pihak kepolisian bisa langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Celah lainnya yang bisa dilakukan pemda, menurut Timboel, adalah biaya kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke puskesmas-puskemas tidak langsung dibayarkan tetapi dikumpulkan terlebih dahulu di kas daerah. Biaya kapitasi ini ditampung sementara di kas pemda.

"Selama ini sudah banyak pekerja kesehatan seperti dokter dan paramedis di puskesmas yang mengeluh tentang pembayaran kapitasi tersebut," ujarnya.

MENGENAL LEBIH JAUH KAPITASI - Kapitasi ini merupakan salah satu metode pembayaran fasilitas kesehatan yang dipilih untuk membayar fasilitas kesehatan primer atau disebut fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Kapitasi adalah sistem pembayaran oleh BPJS Kesehatan selaku pengelola dana kepada penyelenggara kesehatan primer (FKTP) yang besar biayanya tidak dihitung berdasarkan jenis dan atau jumlah pelayanan kesehatan untuk tiap pasien namun berdasarkan jumlah pasien yang menjadi tanggungan.

Sistem kapitasi ini tidak memperhitungkan jumlah pasien yang berobat di puskesmas. Sakit atau tidak sakit peserta BPJS akan tetap membayar di awal bulan biaya yang telah ditetapkan.

Besaran biaya kapitasi tiap puskesmas ini berbeda tergantung jumlah peserta yang terdaftar di puskesmas tersebut dan besaran kapitasinya. Misal di puskemas jumlah peserta BPJS yang terdaftar 10 ribu jiwa (kepala/kapita). Sedangkan besaran kapitasi Rp6.000, maka dana kapitasi yang diterima puskesmas tersebut Rp60 juta.

Masalah soal kapitasi ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi (besaran pembayaran per bulan yang dibayar di muka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan) Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Milik Pemerintah. Peraturan Presiden ini ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 April 2014.

"Peraturan Presiden ini mengatur mengenai Pengelolaan dan Pemanfatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah yang belum menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)," bunyi Pasal 2 Perpres tersebut.

Menurut Perpres ini, BPJS Kesehatan melakukan pembayaran Dana Kapitasi kepada FKTP milik Pemerintah Daerah, didasarkan pada jumlah yang terdaftar di FKTP sesuai data dari BPJS Kesehatan. Dana Kapitasi sebagaimana dimaksud dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan kepada Bendaharawan Dana Kapitasi JKN pada FKTP.

Guna mendapatkan Dana Kapitasi dimaksud, Kepala FKTP menyampaikan rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN tahun berjalan kepada Kepala Dinas Kesehatan setempat, dengan mengacu pada jumlah peserta yang terdaftar di FKTP dan besaran JKN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, dianggarkan dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kesehatan.

Adapun Bendahara Dana Kapitasi JKN pada masing-masing FKTP ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Kepala SKPD Dinas Kesehatan melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Selanjutnya, Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP sebagaimana dimaksud membuka Rekening Dana Kapitasi JKN.

"Pembayaran dana kapitasi dari BPJS Kesehatan dilakukan melalui Rekening Dana Kapitasi JKN pada FKTP, dan diakui sebagai pendapatan," bunyi Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 itu.

Pendapatan sebagaimana dimaksud digunakan langsung untuk pelayanan kesehatan peserta JKN pada FKTP. Dalam hal pendapatan kapitasi tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenaan, dana kapitasi tersebut digunakan untuk tahun anggaran berikutnya.

Perpres ini menegaskan, Kepala SKPD Dinas Kesehatan dan Kepala FKTP melakukan pengawasan secara berjenjang terhadap penerimaan dan pemanfaatan dana kapitasi oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP. 

PEMANFAATAN DANA - Mengenai pemanfaatan, Pasal 12 Perpres 32/2014 ini menegaskan, dana kapitasi JKN di FKTP dimanfaatkan seluruhnya untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.

"Jasa pelayanan kesehatan di FKTP ditetapkan sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari total penerimaan dana kapitasi JKN, dan sisanya dimanfaatkan untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan," bunyi Pasal 12 Ayat (4) Perpres ini.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan itu, akan diatur dengan Peraturan Menteri. "Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," bunyi Perpres yang diundangkan pada 21 April 2014 itu. 

BACA JUGA: