JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah merampungkan penyidikan terhadap empat tersangka kasus kredit fiktif di Bank DKI Jakarta yang merugikan negara Rp230 miliar. Namun meski telah melimpahkan berkas perkara ke tahap penuntutan, tidak berarti kasus ini dianggap selesai. Penyidik justru kian gencar membidik keterlibatan direksi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta  ini.

"Berdasarkan bukti-bukti yang ada sudah ditemukan siapa-siapa yang bertanggung jawab dari jajaran direksi," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Waluyo dalam keterangannya yang diterima gresnews.com, Jumat (8/4).

Kamis (7/4), Kejati DKI telah melimpahkan berkas perkara kasus kredit fiktif modal kerja ke PT Likotama Harum  ke tahap penuntutan. Antara lain berkas tersangka  Dulles Tampubolon selaku Group Head Kredit Komersial Korporasi Bank DKI dan tersangka Hendri Kartika Andri  sebagai  Acccount Oficer Korporasi Bank DKI. Kedua berkas tersangka itu diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Sementara satu tersangka lainnya yakni pimpinan Divisi Risiko di Grup Manajemen Risiko Bank DKI Gusti Indra Rahmadiansyah juga kini telah ditahan.

Waluyo mengatakan, mereka diduga melakukan penyimpangan dalam pemberian kredit modal kerja pada saat PT Likotama Harum mengajukan permohonan kredit modal kerja. Padahal Likotama tidak memenuhi persyaratan sesuai pedoman pemberian kredit perusahaan,  tetapi persetujuan diloloskan oleh dewan direksi sehingga kredit dicairkan. Setelah pencairan kredit dana bukan untuk permodalan pekerjaan tetapi disalurkan kepada pihak lain. Ternyata PT Likotama juga tidak pernah mengerjakan proyek-proyek seperti dalam pengajuan kredit sehingga pekerjaan tersebut tidak selesai.

"Dan saat ini Kejati sedang mendalami peranan jajaran direksi," jelas Waluyo.

Sebelumnya, Corporate Secretary Bank DKI, Zulfarshah mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang saat ini disidik Kejati DKI Jakarta. Pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Termasuk  pemeriksaan para direksi Bank DKI.

Perlu diketahui, kasus pembobolan Bank DKI Jakarta yang terjadi pada 2013 silam itu ternyata ikut berdampak pada likuiditas Bank DKI. Kesehatan Bank DKI saat itu terganggu. Hal itu bisa dilihat dari persentase kredit macet atau nonperforming loan Bank DKI yang meningkat.

Pada kuartal pertama 2015, kredit macet Bank DKI hampir menyentuh 5 persen atau Rp 1,3 triliun, meningkat dibandingkan kuartal pertama tahun lalu yang hanya 2 persen.

ABAIKAN KETENTUAN - Kasus-kasus pembobolan bank dengan cara kredit fiktif jamak terjadi. Meskipun perbankan telah membentuk unit manajemen risiko untuk menangkal fraud seperti tersebut. Dugaannya aksi tersebut juga melibatkan orang dalam.

Kasus pembobolan Bank DKI ini terjadi ketika PT Likotama Harum sebagai nasabah Bank DKI, mengajukan kredit penambahan plafon modal kerja Rp230 miliar. Permohonan kredit itu disertai dengan agunan berupa aset kantor senilai Rp130 miliar, dan jaminan asuransi pada Jasindo senilai Rp 10 miliar.

Dalam pengajuan kredit tertanggal 18 April 2013 tersebut, PT Likotama Harum meminta tenggat waktu pengembalian selama satu tahun. Terhitung sejak 6 Juni 2013 sampai 6 Juni 2014. Pemberian kredit modal kerja tersebut untuk menggarap pekerjaan pembangunan jembatan Selat Rengit, Kepulauan Meranti, Riau senilai Rp 212 miliar.

Dana kredit itu juga rencananya untuk membiayai pembangunan pelabuhan di kawasan Dorak, Selat Panjang, Riau Rp 83,5 miliar, untuk pembangunan Gedung RSUD Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, dan pengadaan konstruksi bangunan sisi utara Kabupaten Paser, Kalimantan Timur senilai  Rp389,9 miliar.

Proposal permohonan kredit tersebut ditangani Bank DKI melalui Group Komersial Korporat (GKK) dan Group Resiko Kredit (GRK). Bank DKI juga mendasari pemberian kredit dengan merujuk Buku Pedoman Perusahaan (BPP) Kredit nomor 425 tanggal 30 Desember 2010. Penetapan kredit Likotama Harum dilakukan oleh Dewan Direksi beserta Direktur Utama Bank DKI saat itu.

Berdasarkan hasil penyelidikan jaksa, pencairan kredit kerja yang diterima Likotama Harum, justru dipakai untuk mensuplai dana pekerjaan yang digarap perusahaan lain. Diantaranya, setelah diteliti, pengalihan pekerjaan dari PT Likotama Harum kepada PT Mangkubuana Hutama Jaya juga tidak rampung. Selain itu dalam penyelidikan, jaksa menemukan adanya dugaan penyimpangan terkait tidak adanya upaya Bank DKI mengklaim asuransi yang dijadikan agunan kredit.

BACA JUGA: