JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua guru taman kanak-kanak Jakarta Intercultural School (JIS) Ferdinant Michel alias Ferdinant Tjiong (warga negara Indonesia) dan Neil Bantleman alias Mr. B (warga negara Kanada) kembali meringkuk di balik jeruji besi, setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Tim dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menangkap Ferdi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, dini hari tadi. Sementara posisi Neil masih ditelusuri tim jaksa.

"Sudah kami eksekusi salah satu terpidana berdasarkan putusan kasasi," kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan Chandra Saptaji dalam keterangannya, Kamis (25/2).

Putusan MA itu diketok Rabu, 24 Februari 2016. Komposisi majelis hakim yang memutus perkara kedua terdakwa adalah sama, yakni: DR. Salman Luthan, SH., MH, H. Suhadi, SH., MH, dan Artidjo Alkostar, DR., SH., LL.M. "Amar putusan: kabul," demikian tercantum dalam situs Direktori Putusan Mahkamah Agung yang diakses gresnews.com. Rabu (24/2) malam.

Juru Bicara MA Suhadi kepada gresnews.com mengatakan pertimbangan majelis hakim menerima kasasi jaksa berdasar bukti, kedua guru JIS terbukti melakukan perbuatan cabul. Dan majelis hakim membenarkan putusan pengadilan tingkat pertama. "Artinya terdakwa sudah bisa dieksekusi," kata Suhadi.

Disoal putusan Pengadilan Tinggi yang memutus bebas, Suhadi mengatakan itu soal penafsiran. Namun kenyataannya, Hakim Agung berpandangan lain dan memberatkan putusan kedua guru. "Itu penafsiran soal permbuktiannya," kata Suhadi.

Diketahui, pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan kedua terdakwa. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan bagi Neil dan Ferdinant. Dan pada tingkat kasasi MA memvonis 11 tahun penjara.

Sayangnya, hingga saat ini gresnews.com belum mendapat tanggapan kuasa hukum dua guru JIS, Hotman Paris Hutapea dan Patra M Zen. Telepon dan pesan singkat dari gresnews.com belum dijawab.


PROSES HUKUM -
Pada April 2015 lalu menjadi mimpi buruk Neil dan Ferdi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) akhirnya memvonis bersalah dua guru ini. Neil dan Ferdi divonis pidana 10 tahun penjara dan membayar denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Vonis dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim di PN Jaksel yang diketuai oleh Nuraslam Bustaman dengan anggota Achmad Rivai, SH. dan H. Baktar Jubri Nasution.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan terdakwa, baik Neil maupun Ferdi, terbukti bersalah sesuai dakwaan primer Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Apa yang dilakukan Neil, menurut majelis hakim, tidak sepantasnya dilakukan oleh Neil sebagai seorang pendidik. Perbuatan Neil dan Ferdi juga dinilai telah mencoreng nama baik pendidikan di Indonesia.

Dalam pertimbangan yang memberatkan, hakim mengatakan Neil dan Ferdi dalam keterangannya kerap berbelit-belit selama persidangan. Begitu juga adanya materi persidangan yang terpublikasi di luar sidang melalui media massa.

Pihak Neil dan Ferdi mengaku kecewa atas putusan tersebut. Keduanya menyatakan banding atas vonis tersebut. "Neil dan Ferdi sangat, sangat kecewa dan kaget luar biasa dengan putusan majelis hakim ini. Mereka tidak menyangka dengan bukti-bukti yang sangat lemah yang disodorkan oleh JPU, majelis hakim akan mengambil keputusan ini. Karena itu mereka akan terus berjuang mencari kebenaran," kata Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum kedua guru JIS, di Jakarta, Kamis (2/4/2015).

Hotman menambahkan, putusan pengadilan ini sangat memalukan penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya majelis mengesampingkan seluruh saksi tanpa dasar yang jelas, tapi juga kontradiktif dalam pertimbangan hukumnya sendiri. Dengan mendengarkan pertimbangan hakim maka guru manapun juga bisa saja divonis melakukan pelecehan seksual terhadap murid.

Kasus yang melibatkan Neil dan Ferdi, dinilai Mahareksa Dillon, kuasa hukum kedua guru JIS lainnya, sangat tidak wajar, tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan terlihat sangat dipaksakan. Terbukti selama persidangan, JPU tidak berhasil menunjukkan alat bukti yang kuat baik mengenai saksi fakta, lokasi dan waktu terjadinya peristiwa yang dituduhkan ini.

"Bahkan, secara medis, anak yang dilaporkan mengalami kekerasan seksual diketahui kondisi anusnya normal," kata Dillon.

Fakta medis berikutnya adalah keterangan Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) di persidangan yang dihadirkan sebagai ahli. Menurut Dr Lufti, MAK atau anak pertama yang mengaku menjadi korban sodomi, tidak pernah mengidap penyakit herpes. Laporan adanya nanah di anus MAK bukan disebabkan oleh virus melainkan diduga bakteri.

Dr Lutfi juga menyatakan, hasil pemeriksaan UGD yang digunakan oleh ibu MAK untuk melaporkan kasus dugaan sodomi anaknya ke polisi baru pemeriksaan awal. Hotman Paris mengatakan, berdasarkan keterangan ahli, untuk menentukan ada tidaknya sodomi harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dan hal itu tidak pernah dilakukan oleh ibu MAK. "Dengan hasil pemeriksaan yang absurd itulah ibu MAK berkoar-koar tentang sodomi yang dialami anaknya ke polisi dan media. Padahal fakta medis dan fakta peristiwanya tidak pernah ada," imbuh Hotman.

Bahkan pihak JIS juga mengungkapkan, seiring dengan pelaporan kasus dugaan tindak kekerasan seksual di JIS, ibu MAK yang berinisial TPW juga menggugat secara perdata JIS di PN Jakarta Selatan. Awalnya, nilai gugatan sebesar US$12 juta. Namun kemudian, TPW meningkatkan tuntutannya menjadi US$125 juta atau senilai Rp1,5 triliun seiring dengan tuduhan keterlibatan dua guru JIS dalam kasus ini.

Kedua guru melakukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya membuat lega Neil dan Ferdi. Keduanya diputus bebas pada Agustus 2015.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan dua guru JIS yang menjadi terdakwa yakni Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak kekerasan seksual terhadap dua muridnya. Majelis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutus perkara Neil dan Ferdi tidaklah bulat berpendapat.

Dari tiga hakim yang menyidangkan perkara tersebut yakni Silvester Djuma dengan hakim anggota Mochamad Djoko dan Sutoto Hadi, satu hakim yakni Mochamad Djoko menyatakan dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda. Djoko menyatakan sependapat dengan hakim tingkat pertama yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan putusan itu telah tepat dan benar.

Dalam pertimbangannya, Djoko memaparkan bahwa keterangan saksi Cristopher alias Alex, DA, MA (saksi korban) keterangannya tidak begitu saja disampaikan. Meski keterangan ketiga saksi korban tidak disumpah, tapi apabila ditinjau dari psikologi anak, ketiga saksi tersebut kecil kemungkinan akan berbohong. Karena akan takut pada dirinya sendiri.

"Menimbang bahwa ditinjau dari teori keherensi, keterangan ketiga saksi korban apabila dihubungkan dengan saksi lain yang disumpah maka keterangan ketiga saksi korban itu berhubungan," katanya.

Tapi kini Neil dan Ferdi harus menjalani hukuman setelah kasasi jaksa itu dikabulkan MA. Neil dan Ferdi harus kembali menginap di hotel prodeo.

BACA JUGA: