JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang kasus tindak pidana pencucian uang pembelian saham PT Garuda Indonesia dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin mengungkap sejumlah modus dan trik perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyamarkan setoran fee kepada perusahaan milik mantan bendahara Partai Demokrat tersebut. Modus itu terungkap saat pemeriksaan sejumlah saksi yang dihadirkan dalam sidang itu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (24/2).

Para saksi itu diantaranya adalah Wakil Direktur Keuangan Anugrah Group Yulianis, staf keuangan Oktarina Fury, dan kurir keuangan Budi Widarsa. Ketiga orang ini adalah anak buah Nazaruddin. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memanggil Bertha Herawaty yang merupakan seorang notaris.

Yulianis menjadi saksi kunci dalam sidang kali ini. Sebab, dialah yang mencatat segala pengeluaran dan penerimaan uang di beberapa perusahaan Nazaruddin. Tak heran, Yulianis menjadi tumpuan jaksa untuk membuktikan dakwaannya terhadap mantan anggota DPR itu.

Yulianis sendiri tak segan menyerang mantan atasannya tersebut pada sidang kali ini. Salah satu contohnya saat ditanya oleh jaksa mengenai aliran uang yang didapat Nazar untuk membeli saham di beberapa perusahaan besar.

"Saya tahu beberapa. Garuda (Indonesia), Krakatau (Steel), (Bank) Mandiri, (Bank) BNI, (Bank) BRI. Kalau (Bank) Niaga, Gudang Garam, itu belakangan, saya enggak tahu," kata Yulianis, Rabu (24/2).

Menurut Yulianis, saham-saham itu dibeli dari imbalan pengerjaan proyek yang dikerjakan baik perusahaan BUMN yang dibiayai negara maupun perusahaan lainnya. Uang tersebut disimpan dalam empat buah brankas yang ada di beberapa ruangan di kantornya.

Secara umum, Yulianis menyebut ada dua kategori brankas tersebut, yaitu eksternal dan internal. Brankas eksternal uangnya didapat dari fee proyek yang dikerjakan perusahaan BUMN, sedangkan brankas internal didapat dari keuntungan perusahaan Nazar yang mengerjakan proyek pemerintah.

"Brankas in untuk operasional sehari-hari, uangnya itu dari proyek yang dibiayai APBN, kan uangnya masuk ke rekening kantor. Kalau brankas eks, itu adalah fee, plus selisih nilai proyek eks dan in dari proyek yang dikerjakan. Misalnya begini, kita ada dua kontrak, yang satu itu 40 persen, yang kedua maksimal 7 persen, setiap dibayar catatnya 7 persen di kasir. Selisih kontrak itu ditaruh di brankas in," terang Yulianis.

FEE PROYEK PEMERINTAH  - Selain menerangkan aliran dana untuk membeli saham di beberapa perusahaan, Yulianis juga menjelaskan perusahaan BUMN kerap kali meminta proyek dari Nazaruddin. Seperti PT Duta Graha Indah, PT Pembangunan Perumahan, PT Waskita Karya PT dan PT Nindya Karya.

Yulianis bahkan menyebut, imbalan proyek itu sudah dimulai sejak 2009. Beberapa perusahaan mempunyai "gaya" yang berbeda dalam memberikan imbalan. Misalnya, PT Duta Graha Indah (DGI) yang saat ini sudah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjinering (NKE), pemberian fee melalui orang khusus yakni El Idris.

"Fee ada yang cash, ada yang cek. Kalau DGI, ngasih beberapa cek sama kita, biasanya Oktarina, saya yang terima dari Idris, nanti saya kasih ke Oktarina, saya bilang kapan akan dicairkan, nanti Oktarina akan konfirmasi ulang," kata Yulianis.

Sedangkan untuk PT Pembangunan Perumahan (PP) lebih suka memberikan dalam bentuk dolar Amerika Serikat melalui salah seorang stafnya yang bernama Lukman. Untuk PT Nindya Karya, biasanya memberikan uang dalam bentuk tunai melalui Heru Sulaksono.

"Memang ada berapa proyek yang diberikan ke DGI?" tanya Jaksa KPK Kresno Anto Wibowo. Yulianis pun menjelaskan bahwa DGI mendapat sekitar 13 atau 14 proyek dari Nazaruddin. Dan sebagai kompensasi DGI harus membayar fee sebesar 7,5 hingga 22 persen untuk masing-masing tergantung dari nilai proyek itu sendiri.

"BAP 21 Maret 2013, saksi menjelaskan fee yang diberikan beberapa perusahaan, DGI ada 10 proyek, PP ada 6 proyek, Waskita Karya ada 3 proyek, AK ada 2 proyek, Nindya Karya 3 proyek," ujar Jaksa Kresno yang mengkonfirmasikan Bukti Pemeriksaan Acara (BAP) yang langsung dibenarkan Yulianis.

Tak sampai di situ, Yulianis juga mengungkap akal bulus perusahaan BUMN khususnya DGI untuk mengeluarkan duit untuk pembayaran fee. DGI mengakali pembayaran tersebut dengan membuat kontrak palsu. Mereka berpura-pura seolah membeli barang untuk membangun sesuatu, padahal pembelian itu hanyalah fiktif belaka untuk menutupi pengeluaran fee untuk Nazaruddin.

"Kita bikin kontrak palsu, seperti pembelian barang. Pura-puranya kan mereka lagi bangun sesuatu, entah beli semen, mesin ulir. DGI belinya dari PT Mahkota atau PT Anak Negeri. Kalau PT Pembangunan Perumahan belinya dari PT Pacific," tutur Yulianis.

BACA JUGA: