JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi yang memvonis terdakwa kasus videotron Hendra Saputra dengan pidana 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta diapresiasi banyak pihak. Hakim dinilai tidak hanya berpedang pada kepastian hukum semata, namun hakim dalam memutus perkara office boy yang dituduh korupsi ini, berdasarkan rasa keadilan.

Menurut Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Muzakkir dalam kasus ini hakim dihadapkan pada pilihan yang sulit antara mengedepankan kepastian hukum atau keadilan hukum.
Namun pada akhirnya keputusan yang diambil Hakim Ketua Nani Indrawati sudah tepat, memilih keadilan hukum yang dikedepankan. Sehingga berani mengambil putusan menghukum terdakwa 1 tahun penjara, padahal ancaman pidananya minimum 4 tahun penjara.

"Menurut saya hakim telah menegakkan hukum dan keadilan sudah tepat. Dan jika membebaskan terdakwa juga tidak tepat, karena telah memperoleh keuntungan dari penggunaan namanya," ujar Muzakkir ketika dihubungi Gresnews.com, Kamis (28/8).

Ia juga menghimbau kepada lembaga pengawas hakim untuk tidak mempersoalkan dan memeriksa para hakim tersebut dengan berbagai alasan. Biarlah keputusan ini menjadi wewenang hakim untuk menemukan keadilan dalam penegakan hukum.

Ahli hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fikar Hadjar, berpendapat senada. Ia menilai putusan yang diambil Majelis Hakim Tipikor terhadap prkara Hendra sudah tepat. Karena dalam menjatuhkan vonis, hakim tidak harus berpatokan kepada undang-undang, tetapi juga menciptakan kepastian hukum, unsur keadilan, serta bermanfaat dalam masyarakat.

"Penegakan hukum itu memang harus mengikuti hukum yang berlaku, tapi dalam praktek peradilan, hakim tidak hanya menjadi corong undang-undang," ujar Abdul dihubungi Gresnews.com, Rabu (27/8) malam.

Abdul juga menjelaskan, dari sudut kepastian hukum, ada pernyataan Hendra bersalah. Artinya walaupun sebagai office boy, tetapi Hendra melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu unsur kepastian hukum terpenuhi, meskipun ancaman sebenarnya yaitu empat tahun penjara. Tetapi karena hakim mengetahui siapa pelaku sebenarnya, maka putusan itu ´dikorting´ demi menciptakan keadilan.
Ia menambahkan, tidak adil jika seorang pegawai rendahan seperti Hendra harus menanggung hukuman yang dilakukan pemilik perusahaan yaitu Riefan Avrian.

Ia juga mengapresiasi Majelis Hakim Tipikor pimpinan Nani Indrawati yang dalam putusannya menempatkan Hendra sebagai justice collaborator. Karena dengan begitu, pelaku sebenarnya yaitu Riefan dapat terungkap. Apalagi dalam surat edaran Mahkamah Agung, hukuman bagi justice collaborator memang harus dikurangi. "Yang dilakukan hakim sudah tepat. Ini disebut hukum progresif yang tidak hanya menerapkan undang-undang tetapi mencari keadilan.

Abdul juga sependapat dengan pendapat Hakim Ketua Nani yang menyatakan putusan terhadap Hendra ini menjadi pelajaran bagi pihak yang rentan dimanfaatkan orang yang mempunyai kekuasaan. Dan juga sebaliknya, vonis ini juga menjadi pelajaran bagi para pemegang kekuasaan untuk tidak memanfaatkan anak buahnya untuk melakukan pelanggaran hukum. Karena dalam kasus ini, Riefan Avrian juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta.

Hal senada juga dikatakan pemerhati korupsi dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Hifzil Alim. Ia menyatakan mendukung keputusan Majelis Hakim Tipikor yang dalam pengambilan keputusan tidak hanya berpedoman dengan undang-undang, tetapi juga mencari kebenaran dalam persidangan.

Apalagi menurutnya, dalam fakta persidangan terungkap Hendra hanyalah korban dari ambisi bosnya untuk mendapatkan, serta mengambil untung dari proyek videotron di Kemenkop dan UKM tersebut. Dan keputusan yang diambil hakim bisa dibenarkan walaupun menyimpang dari undang-undang.

Namun Hifzil menyatakan tidak sependapat dengan keputusan hakim yang menyatakan hendra bertanggung jawab,  karena tanda tangan dokumen di proyek tersebut. Karena sebagai seseorang yang pendidikannya tidak tamat SD, tentu alasan Hendra dengan takut kehilangan pekerjaan menjadi masuk akal. "Tetapi hakim mencari terobosan dengan hanya menghukum Hendra 1 tahun dan denda Rp50 juta," katanya kepada Gresnews.com.

Hifzil berpendapat, Majelis Hakim memang menjerat Hendra dengan pasal 2 UU Tipikor, tetapi unsur yang dijatuhkan yaitu pasal 3. Karena dalam pasal tersebut hukuman minimal bagi pelaku korupsi pidana 1 tahun dan denda Rp50 juta.

BACA JUGA: