JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua calon jemaah haji daftar tunggu dan seorang mahasiswa meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar diberikan kesempatan yang sama dalam menunaikan Ibadah Haji. Karena itu mereka meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat  (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang PenyelenggaraanIbadah Haji (UU PIH) bertentangan dengan UUD  1945.
 
Sebab pemohon yang terdiri dari Fathul Hadie Utsman, Sumilatun, dan JN. Raisal Haq, ini merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi: "Setiap warga negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat: a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan b. mampu membayar BPIH".
 
Alasannya, telah terjadi ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan orang Islam mana yang berhak menunaikan ibadah haji. Apakah yang sudah berhaji boleh menunaikan ibadah lagi atau tidak.  Sementara norma tersebut masih memperbolehkan seseorang yang sudah pernah menunaikan ibadah untuk kembali naik haji. Padahal jumlah kuota tidak sebanding dengan jumlah jemaah daftar tunggu.  
 
"Kami meminta kepada Mahkamah agar menyatakan norma tersebut inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai khusus untuk orang Islam yang belum pernah haji yang boleh naik haji," tutur kuasa hukum pemohon, Fathul Hadie Utsman saat membacakan pokok-pokok perpohonan pengujian UU PIH di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (27/1).
 
Sedangkan yang sudah pernah naik haji, lanjut Fathul, tidak boleh naik haji manakala masih terdapat calon yang masih belum dapat kuota atau daftar haji tunggu (waiting list).
 
Menurut Fathul, pasal-pasal tersebut juga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum terkait Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Syarat mampu membayar BPIH, lanjutnya,  menandakan telah terjadi pemaksaan kehendak karena adanya kewajiban bagi calon jemaah haji daftar tunggu untuk membayar setoran awal ke rekening Menteri Agama/Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Setoran awal sebesar Rp25 juta itu tanpa ada akad atau perjanjian, jaminan dan persyaratan yang jelas, sedangkan pelaksanaan Ibadah Hajinya masih sekitar antara 15-25 tahunan ke depan.
 
Mestinya kata dia, pengertian membayar BPIH itu harus diterjemahkan sebagai BPIH pada tahun berjalan. "Seperti pasal-pasal yang lain menyebutkan bahwa calon jemaah haji harus membayar BPIH setelah mendapat persetujuan dari presiden dan DPR, dan sesuai dengan kuota yang ditetapkan," jelasnya.
 
Menurutnya, yang diharuskan dibayar calon jemaah haji adalah BPIH tahun berjalan, bukan setoran awal BPIH. Selama ini kata Fathul, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) diperbolehkan menarik (memungut) biaya tambahan kepada calon jemaah haji yang dibimbingnya di luar dana BPIH yang telah ditetapkan. Sedangkan penyelenggaraan ibadah haji bersifat nirlaba dan bukan merupakan ajang untuk mengambil keuntungan dari ibadah haji dan umrah.
 
"Telah terjadi ketidakpastian hukum karena biaya bimbingan sudah diperhitungkan dalam BPIH, tetapi KBIH masih menarik biaya tambahan kepada calon jemaah haji," tuturnya.
 
Selain merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 4 tersebut, mereka juga meminta MK menguji Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat  (2) UU PIH dengan UUD 1945. Sebab mereka beranggapan, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
 
Dalam berkas permohonan berbeda, mereka juga mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Mereka meminta MK menyatakan Pasal 5, Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 10 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 50 bertentangan dengan UU 1945.
 
Menaggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi memberikan nasihat agar pemohon mempertegas pemisahannya antara kasus konkret yang dialami dengan kerugian konstitusional pemohon.
 
"Jangan ada nuansa keperdataan yang Saudara alami yang  tentunya bisa menjadi bukan wilayahnya Mahkamah Konstitusi," jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan nasihat.
 
Ia mencontohkan, syarat yang disebutkan Pasal 4 ayat (1) mampu membayar BPIH dipersoalakan pemohon karena masih ada KBIH yang menarik atau memungut biaya tambahan kepada calon jemaah haji di luar dana BPIH. "Dalam Undag-Undang PenyelenggaraanIbadah Haji ini KBIH normatifnya meang tidak boleh memungut kan?," terang Suhartoyo. Tetapi ketika kemudian ada implementasi yang salah, lanjutnya, itu soal implementasi bukan soal konstitusionalitas undang-undangnya. Sebab UU PIH sudah rigid mengatur ketentuan BPIH.
 

BACA JUGA: