JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan mengarahkan saksi yang menyeret nama mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto masih menggantung. Berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, namun  tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan.

Muncul desakan agar Kejaksaan Agung menghentikan kasus Bambang ini. Sebab penetapan tersangka terhadap Bambang oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dinilai dipaksakan. Namun Kejaksaan Agung belum memutuskan untuk menghentikan kasus tersebut atau melanjutkannya ke pengadilan. Kejaksaan menyatakan masih mempertimbangkan kasus ini.

"Saya sudah katakan kita masih pelajari lagi," kata Jaksa Agung Mohamad Prasetyo, Jumat (22/1). Padahal telah lima bulan berkas perkara kasus ini  diteliti jaksa penuntut umum Kejari Jakarta Pusat.

Bambang ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan menyuruh saksi memberi keterangan palsu di Sidang Mahkamah Konstitusi pada  2010 silam. Saat itu, Bambang adalah kuasa hukum Ujang Iskandar, calon Bupati Kotawaringin Barat. Penetapan tersangkanya berlangsung beberapa hari setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan kini Wakil Kepala Polri sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi.

Bambang dikenakan Pasal 242 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.

Selain Bambang, Bareskrim juga menetapkan rekannya, Zulfahmi Arsyad. Namun, dia telah masuk persidangan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah divonis tujuh bulan penjara, 8 September 2015 lalu.

Pada 18 September lalu, penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri telah menyerahkan Bambang secara fisik beserta alat buktinya alias tahap dua ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jaksa Agung mengatakan ada tiga opsi atas kasus Bambang ini. Pertama, melanjutkan ke persidangan, kedua, meneliti kembali berkasnya untuk dihentikan, atau ketiga dikesampingkan demi hukum (depoonering).

"Ya kita akan lihat mana yang paling tepat," kata Prasetyo.

SIKAP KOMISI KEJAKSAAN - Wakil Ketua Komisi Kejaksaan Erna Ratnaningsih mengatakan, kasus Bambang yang saat ini berada di tangan kejaksaan menjadi perhatian lembaganya. Sejak digelarnya sidang Zulfahmi, Komisi Kejaksaan telah melakukan pemantauan.

Nama Bambang Widjojanto tak disebut dalam putusan hakim saat memvonis Zulfahmi. Karenanya, jaksa akan menimbang betul ketika Bambang akan dimajukan ke pengadilan dalam kasus yang sama. "Itu akan jadi pertimbangan jaksa penuntut," kata Erna kepada gresnews.com, Minggu (24/1).

Sementara Komisioner Komisi Kejaksaan Indro Sugianto mengatakan, kasus Bambang sejak awal tidak murni hukum. Ada instrumen kepentingan tertentu yang masuk. Karenanya penyelesaiannya harus di luar hukum.

Ada dua mekanisme yang bisa dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Pertama, Kalau pun kasus  dihentikan oleh Kejaksaan, Indro menilai bukan intervensi hukum. Tetapi itu untuk mengembalikan proses hukum yang benar. "Karena ada proses yang membelokkan, maka harus dipotong," kata Indro.

Ada dua mekanisme yang bisa dilakukan Kejaksaan Agung. Pertama, menerbitkan Surat Keterangan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3). Itu telah diatur pada Pasal 140 ayat 1 KUHAP. SKPP dilakukan karena tidak cukup bukti, bukan pidana dan demi kepentingan hukum. Kedua, melakukan depoonering dengan alasan untuk kepentingan masyarakat.

SUARA AKADEMISI - Para akademisi  sebelumnya meminta Presiden Joko Widodo menghentikan kasus Bambang Widjojanto. Para akademisi itu di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Andalas Saldi Isra, Guru Besar Unpad Komariah Emong, Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed Hibnu Nugroho, Dosen Fisipol UI Bambang Widodo Umar dan Dosen Fakultas Hukum UI Gandjar Laksmana.

Ada tiga alasan yang disampaikan para akademisi. Pertama, saat kasus disangkakan pada Bambang, dia sedang berprofesi sebagai advokat. Kedua, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai lembaga advokat telah dua kali memberikan surat rekomendasi yang menyebutkan kasus Bambang adalah pelanggaran kode etik bukan pidana. Ketiga, Ombudsman RI menemukan perkara Bambang tidak didahului serangkaian proses penyelidikan.

Presiden Joko Widodo saat itu langsung menanggapi. Jokowi menyatakan akan mempertimbangkan masukan akademisi tersebut. Namun kasus Bambang masih tak jelas penyelesaiannya, di bawa ke pengadilan atau dihentikan.

BACA JUGA: