JAKARTA - GRESNEWS.COM - Paska pengeboman teroris di Jalan Thamrin rencana revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2013 tentang Terorisme tak terbendung. Meski dinilai terburu-buru karena tanpa evaluasi, pemerintah menegaskan segera merevisi UU Terorisme ini. Draft revisi pun tengah digodok oleh Pemerintah.

Tahun-tahun sebelumnya dorongan merevisi UU Terorisme telah diusulkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Polri karena merebaknya ISIS di Indonesia. Namun usulan tersebut meredup begitu saja. Namun bom Thamrin seperti jadi pemantik mempercepat revisi beleid tersebut. Pemerintah terus menyelesaikan draftnya yang ditarget selesai pekan depan.

Wakapolri Komjen Budi Gunawan menyampaikan ada dua urgensi revisi UU Terorisme ini. Pertama terkait perluasan lingkup unsur pidana. Dengan UU yang ada saat ini, polisi memiliki keterbatasan dalam menindak. Di antara yang bakal diperluas terkait pencucian otak seperti ajakan-ajakan, ajaran-ajaran berisi edaran-edaran tentang slogan termasuk yang di media sosial akan dikenakan pidana.

"Sering kita lihat tentang pembuatan bom, anjuran-anjuran semua bisa dikenakan," kata Budi Gunawan di Mabes Polri, Jumat (22/1).

Hal lain yang diperluas terkait masa penangkapan dan penahanan yang akan ditambah. Hal tersebut untuk mendalami dugaan keterlibatan dalam kegiatan teror.

Urgensi kedua, terkait lingkup pencegahan. Dalam konteks pencegahan terorisme akan diperjelas siapa bertanggung jawab di bidang pencegahan, penanggulangan dan deradikalisasi.  Seperti diketahui, saat ini ada dua lembaga yang berperan aktif terkait terorisme yakni BNPT untuk pencegahan dan Polri untuk penindakan. Namun kedua lembaga ini kurang bersinergi.

Sejak awal usulan revisi UU Terorisme ini memunculkan pro dan kontra. Ada pihak yang khawatir revisi itu akan membuat polisi bertindak sewenang-wenang. Apalagi rencana revisi ini karena ada peristiwa bom Thamrin.

"Elit negeri ini punya kebiasaan buruk, jika terjadi sesuatu UU yang langsung disalahkan dan diusulkan direvisi. Padahal UU itu belum terlalu lama usianya," kata Ketua Presediun Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada gresnews.com, Jumat (22/1).

Menurutnya yang harus dilakukan aparat keamanan konsisten menjalankan tugasnya yakni melumpuhkan dan memproses hukum teroris. Namun yang terjadi selama ini polisi cenderung menjadi algojo yang mengeksekusi mati tersangka dan menyiksa orang-orang yang diduga terlibat. Akibatnya muncul dendam berkepanjangan.

Sikap Densus yang menjadi algojo di luar dugaan sudah melahirkan generasi terorisme yang penuh dendam. "Ini persoalan utamanya, sedangkan UU hanya sekadar lembaran kertas yang tidak akan berarti jika polisi tidak taat dan tidak konsisten dengan tugas profesionalnya," kata Neta.

Kasus Bahrun Naim misalnya, semula dia bukan teroris. Naim hanya teknisi komputer yang suka mengkritisi sikap Densus di media-media online Islam. Di tahun 2010 Naim tiba-tiba ditangkap di jalanan dan disiksa. Naim dituduh menyimpan senjata dan peluru. Saat itu juga difacebooknya muncul sikap simpati anak anak muda pada nasib Naim.

Mereka mencaci maki Densus. Akhirnya Naim divonis 2,5 tahun. Lepas dari penjara Naim ke Suriah. Lalu bergabung dengan ISIS. Begitu juga dengan anak Imam Samudra yang masih remaja ke Suriah. Proses deradikalisasi gagal yang terjadi dendam kesumat kian marak dan menjadi kayu bakar terorisme.
DERADIKALISASI - Terus berulangnya aksi teror bukan semata lemahnya UU Terorisme. Tapi juga gagalnya deradikalisasi terhadap mantan teroris. Saat ini deradikalisasi digawangi oleh BNPT dan lembaga pemasyarakatan.

Karenanya Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan mendorong proses deradikalisasi ke depan harus dilakukan secara gabungan. Sebab ini sangat berkaitan dengan proses penyadaran gerakan radikal. Penyadaran kembali teroris agar tidak menganut ajaran radikal bukanlah persoalan yang mudah.

"Masalah deradikalisasi bukan hal yang gampang apalagi mengembalikan ideologi. Makanya saya katakan berpuluh kali menyangkut masalah terorisme yakni masalah ideologi dan keyakinan, kalau sudah keyakinan ini kan bukan hanya ranah Polri saja tetapi seluruh komponen harus dilibatkan," paparnya.

Pemerintah kemudian berencana membangun blok khusus untuk terpidana teroris. Sehingga dengan blok khusus tersebut, program deradikalisasi kepada mereka lebih efektif dan terpidana tidak leluasa menyebarkan ajaran radikal ke yang lain.

BACA JUGA: