JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpidana kasus korupsi wisma atlet yang juga terdakwa kasus pencucian uang Muhammad Nazaruddin diketahui gemar mencuci uangnya untuk membeli aset properti. Mulai dari tanah dan bangunan, juga apartemen. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini juga gemar membeli perhiasan, kendaraan mewah, yang uangnya diduga berasal dari hasil korupsi.

Tak hanya sampai di situ, Nazar juga mencoba peruntungan dengan memborong sejumlah saham perusahaan ternama. Tercatat, beberapa perusahaan besar sahamnya pernah dibeli oleh mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR ini.

Seperti saham-saham milik PT Garuda Indonesia, PT Bank Mandiri, PT Krakatau Steel, PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Niaga, PT Gudang Garam, PT Berau Coal Energi, PT Jaya Agra Wattie, hingga obligasi sukuk negara ritel (surat berharga syariah). Bahkan, beberapa diantaranya Nazar masih memiliki saham di perusahaan tersebut.

Nazar membeli saham di beberapa perusahaan ternama itu melalui Permai Grup miliknya yang membawahi beberapa perusahaan diantaranya PT Putra Pacific Metropolitan, PT Permai Raya Wisata, PT Extratech Technologi Utama, PT Darmakusumah, hingga melalui istrinya, Neneng Sri Wahyuni.

Ulah Nazar yang dengan mudahnya mencuci uang dengan jual-beli saham di beberapa perusahaan besar tentunya menjadi pertanyaan tersendiri. Apakah perusahaan-perusahaan tersebut bisa dijerat tindak Pidana Pencucian Uang?

Ahli Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengatakan bahwa setiap perusahaan seharusnya mengetahui darimana asal dana yang digunakan untuk membeli saham pada perusahaan itu sendiri. Hal ini untuk mencegah suatu perusahaan terlibat dalam pencucian uang para koruptor.

Menurut Yenti, setiap perusahaan harusnya meneliti dengan seksama darimana uang itu berasal. Bukan hanya menerima jika ada salah satu perusahaan ingin membeli sahamnya.

"Harusnya mereka menanyakan, punya rasa curiga (asal uang dari korupsi). Apalagi BNI masak gak curiga, bukankah mereka harus menerapkan know your customers?" kata Yenti kepada gresnews.com, Sabtu (12/12).

Yenti mengatakan terlepas dari perusahaan itu mengetahui atau tidak uang hasil korupsi, para korporasi itu seharusnya sudah bisa dijerat dengan pasal pencucian uang. Sebab, dalam hal ini mereka turut terlibat membantu Nazar untuk mencuci uangnya.

Jika Nazar disebut aktif mencuci uangnya dan dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka para korporasi itu bisa dijerat dengan Pasal 5 dalam undang-undang yang sama.

"Mereka (korporasi) seharusnya hati-hati dan penegak hukum harus menyelidiki apakah perusahaan-perusahaan itu memang gak patut mengetahui. Karena dalam TPPU ada yang bersifat aktif pasal 3 dan 4 dan TPPU pasif pasal 5," pungkas Yenti.

Selain itu, para "calo" atau perantara pembelian saham Nazar juga bisa dikenakan pidana yang sama. Nazar membeli saham beberapa perusahaan itu melalui lembaga sekuritas seperti Mandiri Sekuritas, Recapital Sekuritas, Bahana Sekuritas dan juga CIMB Sekuritas.

"Bisa siapa saja yang penting mereka menerima aliran hasil korupsi dan mereka harus patut menduga," ujar Yenti yang juga panitia seleksi calon pimpinan KPK ini.

HUKUMAN BAGI KORPORASI - Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang, hukuman kepada korporasi yang diduga terlibat dalam kasus ini cukup berat. Jika memang terbukti terlibat, korporasi itu bisa didenda Rp100 miliar.

Berikut bunyi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang itu:

"Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Kemudian dalam Pasal 7:
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100 miliar.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
 
Pasal 8 "Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan"

Pasal 9:
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
HARUS BERANI JERAT KORPORASI - KPK selama ini memang belum pernah menjerat korporasi dalam suatu tindak pidana korupsi maupun pencucian uang. Hal ini tentu saja disayangkan oleh Yenti. Sebab menurutnya, pihak korporasi harus diminta pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang terjadi.

Yenti pun membandingkan kinerja KPK dengan Bareskrim Polri dalam menjerat korporasi. "KPK itu belum mau menangani TPPU pasif, kalau kepolisian malah sudah," ujar Yenti.

Menurut Yenti, tindakan KPK yang belum menjerat pihak korporasi itu merupakan hal aneh yang sepatutnya tidak dilakukan. "Ya iyalah...aneh aja kok gak berani padahal polisi malah sudah berani. (Contohnya) kasus Malinda Dee, kasus narkotika," imbuhnya.

Dikonfirmasi terpisah, pelaksana tugas KPK Indriyanto Seno Adji belum mau berkomentar mengenai hal ini. "Kalau tentang Nazar, saya harus cek ke tim dulu. Belum bisa saya jawab," ujar Indriyanto.

Sementara itu, salah satu jaksa KPK mengatakan pihaknya memang tidak bisa menjerat perusahaan yang menjadi penampung uang yang diduga berasal dari hasil korupsi Nazaruddin. Menurut jaksa itu, penegak hukum hanya bisa menjerat orang-orang yang diduga mengetahui asal muasal perolehan dana untuk pembelian saham.

"Ini kan pencucian uang, jadi perusahaannya gak dikenakan, kecuali terhadap orang-orang yang memang tahu sumber perolehannya (gate keeper)," ujar jaksa itu kepada gresnews.com.

Menurut jaksa, perusahaan tersebut sama sekali tidak tahu menahu bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham berasal dari hasil korupsi. Mereka selama ini hanya melakukan orientasi bisnis semata.

Meskipun begitu, terkait saham-saham yang masih tersisa di beberapa perusahaan KPK tentu akan menyitanya. "Saham yang belum terjual ada yang disita, dan hasil dari goreng-goreng saham dibelikan properti dan lain-lain juga disita," tutur jaksa.

BACA JUGA: